Peran G20 dalam Mitigasi Krisis Iklim Global
Negara anggota G20 berperan besar dalam menjamin keberlangsungan kelestarian lingkungan di masa depan. Lebih dari 80 persen emisi karbon dunia berasal dari emisi gas rumah kaca negara-negara G20.

Perdana Menteri India Narendra Damodardas Modi (tengah) disaksikan Presiden Joko Widodo (kanan) dan Presiden Amerika Serikat Joe Biden (kiri) menyampaikan pandangannya saat pembukaan KTT G20 Indonesia 2022 di Nusa Dua, Bali, Selasa (15/11/2022).
Forum G20 bukan sekadar pertemuan negara-negara dengan kekuatan ekonomi dan populasi besar di dunia. Forum ini sekaligus dapat menjadi ajang peneguhan komitmen terkait pengelolaan lingkungan melalui pengendalian emisi karbon. Apalagi, G20 menyumbang emisi karbon bagi dunia mencapai lebih dari 80 persen.
Pada puncak acara pergelaran G20 tahun ini yang diselengarakan di Pulau Bali, Indonesia, 15-16 November, terkonfirmasi ada 17 kepala negara yang hadir. Kecuali, pemimpin Rusia, Brasil, dan Meksiko. Tantangan terbesar forum ini sekarang adalah penguatan ekonomi global pascapandemi serta ketegangan geopolitik akibat perang Rusia-Ukraina.
Sebagai tuan rumah sekaligus pemegang presidensi G20, Indonesia telah berusaha menguatkan komunikasi antaranggota agar mencapai sejumlah kesepakatan demi kebaikan dunia. Setidaknya ada tiga target prioritas tahun ini, yaitu arsitektur kesehatan global, transformasi ekonomi digital, dan transisi energi berkelanjutan.
Harapannya, kesepakatan yang dihasilkan dalam forum G20 yang beranggotakan 19 negara dan kawasan Uni Eropa itu mampu membawa perbaikan kondisi bagi masyarakat dunia secara luas. Mengingat para anggota G20 merepresentasikan sekitar 65 persen populasi dunia, 75 persen perdagangan global, dan 85 persen cakupan produk domestik bruto dunia.
Dominansi kekuatan ekonomi dan modal populasi yang besar tersebut mampu mendorong banyak perubahan, baik di tingkatan masing-masing negara, kawasan, maupun tataran global. Salah satu hal yang terimbas signifikan dari kemajuan ekonomi dan perkembangan populasi itu adalah efek buangan emisi karbon. Secara teori, emisi karbon akan terus meningkat seiring dengan kemajuan sejumlah sektor, seperti industrialisasi, pertanian, pemenuhan energi, dan aktivitas harian masyarakat. G20 merupakan organisasi negara-negara yang sangat masif melakukan berbagai aktivitas kegiatan tersebut. Oleh sebab itu, keberhasilan dalam mereduksi emisi karbon dunia turut ditentukan oleh keseriusan G20.
Penambahan emisi karbon kelompok G20 tercatat sangat besar secara global. Pada 2020, dari total emisi karbon yang tercatat di seluruh dunia hingga mencapai 35,26 miliar ton itu, sekitar 84 persennya disumbang oleh negara-negara anggota G20. Kontribusi emisi karbon sekitar 29 miliar ton ini sebagian besar disumbang oleh buangan dari energi fosil, industri, penggunaan lahan, dan lain sebagainya.
Baca Juga: Urgensi Mitigasi Emisi GRK

Besarnya emisi karbon tersebut kian membuktikan bahwa negara-negara kelompok G20 memiliki peran sentral dalam menjaga kelestarian lingkungan dunia. Apabila semua anggota sepakat menurunkan emisi karbon, perbaikan terhadap kualitas lingkungan global tentu akan berjalan sangat akseleratif.
Apabila diteliti lebih dalam lagi, selama empat dekade terakhir ada tiga negara G20 yang memiliki tren kenaikan emisi karbon yang sangat tinggi. Ketiganya mencetak rekor kenaikan emisi karbon lebih dari 60 persen. Negara tersebut adalah China dengan peningkatan emisi karbon sebesar 70,08 persen, Indonesia 63,11 persen, dan India 62,16 persen. Periode kenaikan terbesar gas rumah kaca (GRK) tersebut muncul antara tahun 1990 dan 2010.
Secara umum, ketiga negara itu tengah bertransformasi secara signifikan, khususnya di bidang ekonomi. Pertumbuhan ekonomi ketiga negara tersebut terbilang relatif sangat tinggi dibandingkan dengan negara lainnya. Meskipun demikian, menjaga laju emisi karbon tetap harus dipertimbangkan. Jangan sampai dinamika kemajuan ekonomi ini justru berefek buruk sangat besar bagi lingkungan. Oleh karena itu, perlu melakukan sejumlah langkah mitigasi guna mereduksi laju emisi karbon. Di antaranya dengan mengimplementasikan sejumlah kebijakan, regulasi, serta penggunaan teknologi hijau yang ramah lingkungan.
Sejumlah upaya tersebut merupakan bentuk tanggung jawab dan kepedulian negara-negara G20 dalam menjaga kelestarian kehidupan di bumi. Tanpa kepedulian tersebut niscaya segala aspek kemajuan ekonomi yang didapat justru berimbas negatif bagi lingkungan dan penduduk dunia. Hadirnya sejumlah ancaman kehidupan, seperti krisis iklim, bencana alam, wabah penyakit, kelaparan, dan konflik sosial adalah bukti dari efek negatif pemanasan global (global warming) yang dipicu oleh peningkatan emisi GRK.
Minim energi terbarukan
Bahasan tentang emisi karbon tidak lepas dari transformasi bidang energi yang dilakukan oleh sejumlah negara anggota G20. Penggunaan energi baru terbarukan (EBT) menjadi salah satu solusi nyata untuk menjawab tantangan krisis iklim masa mendatang. Contoh sumber EBT itu di antaranya tenaga surya, angin, air, panas bumi, biofuel, arus laut, biomassa, nuklir, dan hidrogen.
Kabar baiknya, penggunaan EBT di sejumlah negara G20 terus mengalami peningkatan setidaknya dalam empat dekade terakhir. Sepanjang tahun 1990, bauran EBT di negara G20 hanya 8,06 persen, tetapi selang 40 tahun kemudian persentase baurannya meningkat hingga 14,77 persen.
Hanya saja, peningkatan bauran EBT tersebut tidak berjalan merata di semua negara angota G20. Dari 20 negara peserta, hanya dua yang terlihat menunjukkan keseriusan tinggi dalam peningkatan sumber EBT, yakni Brasil dan Kanada. Pada 2020, bauran EBT di Brasil mencapai 43,69 persen, sedangkan di Kanada hingga 29,02 persen.
Adapun negara lain memiliki bauran energi antara EBT dan energi fosil hanya berkisar 5 hingga 15 persen. Bahkan, ada tiga negara yang tingkat bauran energi terbarukannya kurang dari 2 persen, seperti Korea Selatan (1,48 persen), Afrika Selatan (1,04 persen), dan Saudi Arabia (0,01 persen).
Baca Juga: Optimisme Pencapaian Bauran Energi Baru Terbarukan

Fenomena tersebut menunjukkan kesenjangan antarnegara G20 dalam upaya menyediakan energi bersih di negara masing-masing. Oleh sebab itu, diperlukan semangat yang tinggi dan visi yang sama antaranggota G20 dalam mereduksi emisi karbon, terutama dari sisi penyediaan energi.
Idealnya, penguatan bauran energi tersebut dilakukan semua negara G20 secara bersamaan dan saling bekerja sama agar berdampak signifikan bagi lingkungan. Kolaborasi dari sisi ilmu pengetahuan, teknologi, dan pendanaan sangat diperlukan untuk mendorong bauran EBT dengan mengandalkan potensi yang ada di masing-masing negara.
Indonesia menjadi salah satu negara yang juga sangat memerlukan kolaborasi itu karena laju bauran EBT-nya tergolong relatif lambat. Padahal, Indonesia memiliki potensi sumber EBT yang sangat berlimpah dibandingkan dengan negara lainnya. Hingga 2021, bauran EBT di Indonesia masih berkisar 12 persen. Meskipun sudah memiliki target bauran EBT sebesar 23 persen pada 2025, target ini akan sulit tercapai apabila tidak ada daya upaya yang serius dan progresif. Kolaborasi dengan negara lain menjadi kunci penting dalam langkah realisasi bauran EBT di Indonesia.
Oleh sebab itu, dalam mendorong penggunaan energi bersih di Indonesia dan negara-negara lainnya, perlu membangun kerja sama yang kuat antaranggota G20. Setidaknya masing-masing negara menyediakan regulasi yang mendukung investasi EBT sehingga investor (asing) tertarik untuk mengembangkan EBT di setiap negara G20.
Harapannya, harga energi dari sumber EBT kian kompetitif dengan harga energi dari sumber fosil. Dengan demikian, akan semakin banyak masyarakat yang beralih menggunakan sumber energi yang lebih bersih. Harus diakui untuk dapat mengajak masyarakat beralih menggunakan energi yang ramah lingkungan itu tidaklah mudah. Ketergantungan yang tinggi terhadap energi fosil selama ini telah membuat pola persepsi masyarakat terhadap keandalan energi baru terbarukan menjadi relatif masih rendah.
Target bersih karbon
Secara global, ada kesepakatan antarnegara-negara di dunia tentang pembatasan emisi karbon dalam rangka menahan laju krisis iklim. Perjalanan kesepakatan tersebut dimulai tahun 1992 di Brasil yang akhirnya melahirkan Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) dan Protokol Kyoto tahun 1997.
Komitmen pembatasan emisi karbon diperkuat kembali pada 2015 melalui Paris Agreement. Setiap negara bertanggung jawab menjaga pemanasan global tidak melebihi 2 derajat celsius dibandingkan dengan masa praindustri. Salah satu skema utama untuk mencapai kondisi bersih karbon atau karbon netral adalah melalui perumusan dokumen Nationally Determined Contributions (NDC).

Baca Juga: Langkah Dunia Atasi Dampak Perubahan Iklim di 2022
Berdasarkan kesepakatan melalui dokumen NDC, setiap negara termasuk negara-negara G20 harus memiliki langkah dan strategi dalam mencapai karbon netral mulai tahun 2050. Dalam dokumen NDC tersebut memuat strategi masing-masing negara untuk menahan laju emisi, termasuk target waktu dalam pencapaian karbon netral atau net zero emission. Sebagian besar negara-negara G20 menetapkan target karbon netral di negaranya akan tercapai pada 2050. Sebagian lagi masih ada yang membutuhkan waktu lebih lama, seperti Indonesia yang menargetkan karbon netral akan tercapai mulai 2060.
Sayangnya, di antara sejumlah negara yang serius dalam menyusun program NDC itu, ada pula negara lain yang tampaknya bersikap sebaliknya. Cenderung tidak peduli dan bahkan tidak bersungguh-sungguh mencapai status bersih karbon. Dua negara dengan status kritis atau sangat jauh dari target yang ditetapkan adalah Rusia dan Turki. Keduanya memiliki regulasi dan strategi yang berantakan dan tidak terukur.
Sementara itu, negara kontributor emisi karbon terbesar di dunia, yaitu China dan Amerika Serikat, juga bernasib sama. Keduanya dinilai tidak akan mampu menahan emisi karbon hingga netral pada 2050 nanti. Pun demikian dengan Indonesia yang dinilai masih berkomitmen relatif rendah dalam membatasi emisi karbon. Kelemahan terbesar Indonesia adalah terkait kebijakan dana pengelolaan iklim dan terjadinya perubahan lahan hutan yang sangat masif dari waktu ke waktu.
Di antara negara-negara G20, ada satu negara yang dinilai telah memiliki usaha yang cukup dalam mencapai karbon netral, yaitu Inggris. Target tersebut akan dicapai pada 2050. Inggris menjadi negara dengan komitmen terkuat, khususnya perumusan kebijakan dan pembatasan emisi di dalam negeri melalui kegiatan-kegiatan domestik.
Pada akhirnya, forum G20 memang tidak hanya dapat dilihat dari sisi ekonomi ataupun besaran populasi semata. Ada tanggung jawab besar bagi semua anggota G20 untuk menjaga kelestarian ekologi dunia karena besarnya sumbangan emisi karbon hingga sekitar 84 persen dari emisi GRK global. Pengendalian emisi karbon yang dijalankan secara baik akan membawa perbaikan bagi lingkungan dan kehidupan manusia di masa mendatang.
Kehadiran para kepala negara dalam forum G20 adalah kesempatan emas untuk merumuskan dan menguatkan kembali langkah-langkah strategis pengendalian emisi karbon. Pasalnya, setiap permasalahan sosial, ekonomi, budaya, ataupun pertahanan dan keamanan secara tidak langsung berkaitan erat dengan aspek ekologi. Oleh sebab itu, mitigasi emisi karbon menjadi suatu kewajiban bagi negara-negara di dunia agar tidak menimbulkan ancaman bagi semua bangsa di masa depan. (LITBANG KOMPAS)