Sengkarut Kehidupan Anak Panti Asuhan
Jumlah anak yatim piatu di Indonesia cukup besar. Ada sekitar 106.000 anak tinggal di 4.800 panti asuhan atau lembaga kesejahteraan sosial anak. Mereka terkonsentrasi di Jatim, Jateng, dan Jabar.
Anak-anak yang tinggal di panti asuhan masih menghadapi sengkarut ketimpangan hak-hak dasar anak untuk tumbuh dengan baik. Memastikan kualitas layanan panti asuhan harus dilakukan pemerintah untuk memenuhi hak dasar tersebut, seperti melindungi dari tindak kekerasan, memberikan akses pendidikan, layanan kesehatan, serta tempat tinggal yang layak untuk mendukung pertumbuhan anak.
Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak-anak (Unicef) mencatat sedikitnya ada 153 juta anak yatim piatu di seluruh dunia. Sekitar 5,2 persennya tinggal di lembaga pengasuhan atau panti asuhan. Jumlah anak panti asuhan diperkirakan terus naik karena berbagai macam faktor.
Setiap harinya diperkirakan ada 5.700 anak yatim piatu baru karena konflik peperangan, bencana alam, kemiskinan, serta wabah penyakit. Populasi besar tersebut sangat membutuhkan penanganan yang menyeluruh sesuai dengan kebutuhan tumbuh kembang anak.
Sebagai upaya pemenuhan hak anak, termasuk anak yatim piatu, maka standar pelaksanaannya mengacu pada dokumen United Nations Convention on the Rights of the Child. Setiap negara diharuskan menjamin praktik perlindungan anak di lembaga pengasuhan berjalan sesuai standar hak asasi manusia.
Indonesia juga termasuk negara dengan jumlah anak yatim piatu cukup besar. Berdasarkan data terpadu kesejahteraan sosial tahun 2019, ada 106.406 anak tinggal di 4.800 panti asuhan atau lembaga kesejahteraan sosial anak. Jumlah panti asuhan terkonsentrasi di Pulau Jawa, khususnya Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat.
Hanya saja, sebagian anak panti asuhan tersebut masih menerima kenyataan pahit berupa ketimpangan besar secara sosial dan ekonomi dibandingkan anak-anak pada umumnya. Pasalnya, sebagian besar di antara anak-anak itu tidak mendapat perawatan layak dari orangtua atau keluarga.
Menurut Peraturan Menteri Sosial Nomor 1 Tahun 2020, anak asuh merujuk pada kondisi anak yang ditelantarkan orangtuanya. Sementara anak panti asuhan merupakan anak yang berasal dari keluarga tidak mampu untuk melaksanakan kewajiban dan tanggung jawab. Anak-anak yang membutuhkan perlindungan khusus juga dapat meminta pertolongan untuk tinggal di panti asuhan. Anak dapat masuk panti asuhan saat hak asuh orangtua dicabut dan posisi anak berada di antara konflik tersebut.
Keberadaan anak-anak telantar dan membutuhkan perlindungan khusus ini sangat membutuhkan pendampingan dan perawatan yang tepat sesuai kebutuhan usia anak-anak. Peran lembaga pengasuhan atau panti asuhan menjadi sentral. Peraturan Menteri Sosial Nomor 1 Tahun 2020 turut mengatur persyaratan kelembagaan panti asuhan yang di dalamnya juga tertulis prinsip-prinsip tentang pengasuhan.
Baca juga: Sumbangan Buku untuk Panti Asuhan
Sejumlah persyaratan krusial yang perlu dipenuhi lembaga pengasuhan adalah memiliki kebijakan perlindungan anak, menyediakan sumber daya manusia berkompeten, serta memiliki sumber dana yang tetap. Sebagai upaya menjamin pendidikan dan kesehatan, maka lembaga tersebut harus menyediakan fasilitas yang sehat dan aman bagi anak.
Pemerintah mengharapkan layanan prima lembaga pengasuhan untuk merawat anak-anak melalui pendidikan yang berkualitas dan kesehatan yang terjamin. Sayangnya, harapan tersebut sangat jauh dari kenyataan. Anak-anak panti asuhan lebih banyak harus menjalani kenyataan pahit karena tidak semua pengasuhan memiliki kualitas yang baik karena terkendala sejumlah hal dalam operasionalnya. Bahkan, tak sedikit pula anak-anak panti asuhan memiliki kisah pilu saat berada dalam pengasuhan.
Derita
Alih-alih mendapat keadilan pendidikan dan kesehatan layak, banyak dari anak panti asuhan malah menjadi korban pelecehan seksual, kekerasan fisik, hingga korban perdagangan anak. Panti asuhan yang seharusnya menjadi ruang aman bagi anak, ternyata justru menyebabkan anak-anak tersebut menderita, bahkan kehilangan nyawa.
Salah satu kasus panti asuhan yang berujung maut terjadi di Pekanbaru, Riau, pada tahun 2017 silam. Publik dikejutkan dengan kabar seorang anak berusia 18 bulan yang ditemukan tewas dalam keadaan mengenaskan. Ditemukan luka bekas penganiayaan di sekujur tubuhnya.
Tindak kekerasan terhadap anak panti asuhan juga terjadi di Cihampelas, Jawa Barat, pada 2021 lalu. Sebanyak tiga anak panti asuhan yang masih di bawah umur menjadi korban pelecehan seksual oleh pengurus panti asuhan. Salah satu korban bahkan sempat tiga kali melakukan percobaan bunuh diri karena putus asa. Kasus serupa terjadi di Ketapang, Kalimantan Barat, pada September 2022. Seorang anak berusia 13 tahun harus menjadi korban pelecehan seksual oleh pimpinan panti asuhan.
Kasus lainnya yang juga acapkali terjadi pada anak-anak tersebut adalah kekerasan fisik. Pada awal tahun 2022, sejumlah anak di panti asuhan di Kota Makassar, Sulawesi Selatan, mengaku sering mendapat hukuman berupa pukulan dengan menggunakan kabel atau kayu.
Baca juga: Polisi Diminta Segera Usut Kekerasan Seksual di Panti Asuhan
Kasus-kasus tersebut menggambarkan masih rendahnya perlindungan terhadap anak-anak panti asuhan. Selain kekerasan fisik, seksual, dan perdagangan anak, penghuni panti asuhan juga berisiko ditelantarkan serta mendapatkan pendidikan yang tidak memadai. Anak-anak panti asuhan seakan jauh dari akses pendidikan yang layak, termasuk jaminan kesehatan di lingkungan tempat tinggalnya.
Keterbatasan-keterbatasan yang dialami anak-anak di panti asuhan memiliki dampak terhadap tumbuh kembangnya baik secara mental maupun cara berpikir. Anak-anak pada fase pertumbuhan membutuhkan pengasuhan dengan tepat sehingga dapat tumbuh menjadi pribadi yang mandiri dan bermanfaat untuk lingkungan sekitarnya.
Peningkatan kualitas
Melihat banyaknya risiko yang membayangi anak-anak panti asuhan, maka kualitas panti asuhan menjadi salah satu faktor penentu keberhasilan perkembangan anak-anak. Peran pemerintah pusat hingga daerah dalam menyediakan layanan layak di panti asuhan menjadi sebuah keharusan. Ketimpangan yang terjadi dapat segera ditelusuri dengan mengaudit kualitas layanan panti asuhan.
Standar layanan panti asuhan sebenarnya sudah diatur dalam regulasi secara nasional, termasuk aturan khusus dari Kementerian Sosial RI. Oleh karena itu, penyelenggara layanan tersebut harus mematuhi regulasi tersebut.
Sedikitnya ada tiga kebutuhan dasar anak-anak untuk dapat tumbuh dengan baik di panti asuhan. Pertama adalah kualitas petugas panti asuhan dalam mengasuh dan mendidik anak di lingkungan panti asuhan. Kedua, pendidikan dasar yang memadai dan terbuka akses lebar untuk menempuh pendidikan formal bagi anak-anak panti. Ketiga, layanan kesehatan dan lingkungan tempat tinggal yang bersih.
Urgensi audit sekaligus pembenahan panti asuhan menjadi lebih layak makin menguat seiring banyaknya kasus ”penelantaran” dan juga tragedi memilukan. Padahal, secara kelembagaan, panti asuhan memiliki tanggung jawab memberikan pelayanan kesejahteraan sosial pada anak telantar.
Pelayanan kesejahteraan sosial yang dimaksud adalah pengasuhan menggantikan orangtua dalam pemenuhan kebutuhan fisik, mental, dan sosial. Oleh karena itu, di dalam Peraturan Menteri Sosial Nomor 1 Tahun 2020 terdapat delapan syarat pengoperasian panti asuhan. Mulai dari kebijakan perlindungan hingga fasilitas memadai yang sehat dan aman bagi anak.
Peningkatan kualitas panti asuhan menjadi titik krusial mengingat fungsinya sebagai pusat pelayanan kesejahteraan sosial anak, pusat data, dan konsultasi kesejahteraan anak, serta pengembangan keterampilan anak.
Peningkatan kualitas ini dapat dimulai dari pengadaan fasilitas yang memadai. Tahap awal adalah memastikan adanya fasilitas yang mendukung privasi anak-anak. Panti asuhan menyediakan ruang-ruang yang memberikan kenyamanan bagi anak. Misalnya kamar tidur dan kamar mandi dipisahkan berdasarkan jenis kelamin, sekaligus toilet yang aman dan bersih. Untuk tujuan pengawasan, pihak panti asuhan perlu menyediakan tempat tinggal bagi pengasuh agar tetap dapat memantau aktivitas anak.
Baca juga: Donasi Pembaca “Kompas” untuk Semangat Anak Panti Asuhan di Bandung
Pengadaan fasilitas selanjutnya berupa ruang komunal yang digunakan untuk berinteraksi antarpenghuni panti asuhan. Fasilitas tersebut adalah ruang makan, tempat beribadah, ruang kesehatan, ruang belajar, perpustakaan, serta ruang olahraga dan berkesenian.
Untuk mencegah munculnya kekerasan dari pengelola panti, peningkatan kualitas pengurus dan pengasuh di lingkungan panti asuhan tersebut juga harus menjadi perhatian pemerintah serta yayasan atau pengelola panti. Pengurus dan pengasuh harus memiliki jumlah yang mencukupi dan kompetensi keahlian yang sesuai kebutuhan. Salah satu aspek penentu kompetensi pengasuh adalah bagaimana mereka mampu memberikan pendidikan yang sesuai kebutuhan psikologis anak.
Ketimpangan hak-hak dasar anak yang masih dialami anak panti asuhan membutuhkan dukungan perbaikan dari segenap pihak, baik itu pemerintah, pengelola panti, maupun masyarakat. Selain memenuhi hak-hak dasar, dukungan itu juga untuk memberikan perlindungan dari tindak kekerasan. Harapannya, layanan kesejahteraan bagi anak panti asuhan dapat membuat mereka dapat tumbuh dengan baik, mandiri, dan bermatabat. (LITBANG KOMPAS)