Peledakan Jembatan Crimea dan Kemarahan Rusia
Jembatan Crimea merupakan simbol geopolitik dan sejarah bagi Rusia. Karenanya, peledakan jembatan Crimea dapat dianggap sebagai serangan terhadap wilayah kedaulatan Rusia dan berdampak pada munculnya "hak membalas".

Aparat Pemerintah Rusia mengumpulkan bukti-bukti kerusakan dan ledakan yang berada di Jembatan Crimea. Jembatan tersebut rusak akibat ledakan sebuah truk (8/10/2022).
âPada berbagai titik sejarah bahkan ketika jaman Tsar berkuasa, orang bermimpi untuk membangun jembatan ini. Kemudian mereka kembali merencanakannya tahun 1930-an, 1940-an, dan 1950-an. Dan akhirnya proyek ini, keajaiban ini, telah menjadi nyata. Terima kasih,â kata Vladimir Putin.
Pidato penuh kegembiraan dan kebanggaan yang direkam laman The Independent membuncah disampaikan Putin pada para pekerja dan warga Rusia 15 Mei 2018 saat peresmian jembatan Crimea. Setelah berpidato, Putin bergegas naik ke kabin pengemudi truk kontainer berwarna jingga terang, dan mengemudikan truk melintasi jembatan baru itu bersama puluhan truk lain.
Tampaknya, keberhasilan membangun jembatan yang merentang sepanjang sekitar 19 km di atas Selat Kerch ini membangkitkan kembali nuansa nasionalisme-patriotik Rusia. Analisis Center for Strategic and International Studies (CSIS), 18 Maret 2014 menunjukkan kuatnya dorongan dari elite Rusia untuk menguasai Semenanjung Crimea untuk alasan geopolitik, militer dan mengontrol politik Ukraina selatan setelah lengsernya Presiden Viktor Yanukovich yang pro Rusia.
Melibatkan sekitar 10.000 pekerja, mereka diberitakan bekerja non stop 24 jam sehari, 7 hari seminggu, agar jembatan mobil dua lajur dan rel kereta api barang itu secepatnya bisa diselesaikan. Cuplikan video opini publik menunjukkan warga Rusia menyamakan jembatan Crimea dengan astronot Yuri Gagarin yang menjadi manusia pertama keluar angkasa. Hasilnya, hanya dalam waktu 2 tahun atau setahun lebih cepat dari rencana semula, jembatan itu diresmikan Sang Presiden Vladimir Putin.

Asap tebal mengepul dari Jembatan Crimea menyusul ledakan hebat dari sebuah truk yang menjalar ke rangkaian kereta (8/10/2022).
Jembatan Crimea merupakan jembatan terpanjang di Rusia bahkan seluruh Eropa. Sudah sejak sebelum menduduki Crimea, pada 1997, Rusia sudah menggunakan kota pelabuhan Sevastopol menjadi pangkalan angkatan lautnya. Sejak berhasil menduduki Crimea dari perlawanan Ukraina pada 27 Februari 2014, Rusia membangun angkatan perangnya untuk membangun penahan âancaman invasiâ NATO ke arah timur.
Meskipun Rusia tak memiliki angkatan laut sebesar Amerika Serikat, termasuk ketiadaan kapal induk berpendarat pesawat tempur, Rusia tetap sangat memerlukan pangkalan untuk kapal selam nuklir andalannya. Saat ini Rusia ditengarai memiliki 58 kapal selam dengan 11 diantaranya bertenaga nuklir (nti.org). Selain itu Rusia masih memiliki ratusan kapal penjelajah, fregat dan kapal perusak yang sangat membutuhkan pangkalan yang tidak beku di musim dingin.
Kendali atas Crimea memberi Moskwa akses berkelanjutan ke pangkalan angkatan laut di Sevastopol, rumah bagi Armada Laut Hitam Rusia. Pelabuhan air hangat Sevastopol, pelabuhan alami, dan infrastruktur yang luas menjadikannya salah satu pangkalan angkatan laut terbaik di Laut Hitam. Armada Laut Hitam memberi Rusia kemampuan untuk memproyeksikan kekuatan di dalam dan sekitar Laut Hitam, serta menjadi simbol kembalinya kekuatan Rusia setelah era Uni Soviet.
Sulit dimungkiri jembatan Crimea telah menjadi simbol baru bagi warga Rusia yang mengembalikan kebanggaan bangsa Rusia atas kehancuran politik akibat bubarnya Uni Soviet, dan ketertinggalan pembangunan dan teknologi dari Eropa barat. Dengan adanya jembatan Crimea, kepentingan geopolitik, pembangunan ekonomi Semenanjung Crimea, dan agenda âpengendalianâ Ukraina menjadi lebih terbuka bagi Rusia.

Foto citra satelit yang dirilis Maxar Technologies (8/10/2022) yang memperlihatkan kerusakan bagian Jembatan Crimea setelah ledakan sebuah truk.
Batas Putin
Singkat kata, jembatan Crimea menjadi simbol baru kepentingan geopolitik dan sejarah bagi Rusia. Oleh karena itu peledakan jembatan Crimea dianggap Rusia menjadi âbabak baruâ dalam konflik bersenjata Rusia-Ukraina. Rusia mengklaim bahwa peledakan oleh Ukraina terhadap jembatan Crimea, 8 Oktober 2022 merupakan serangan terhadap âwilayah kedaulatan Rusiaâ yang berimplikasi pada klaim âhak membalasâ oleh Rusia.
Dengan nilai penting jembatan Crimea dari segi sosial ekonomi dan militer, maka tak heran ledakan besar yang bisa ditonton seluruh dunia dan berhasil meruntuhkan satu dari dua jalur jalan raya jembatan Krimea merupakan tamparan keras dan mimpi buruk bagi Putin.
Di sisi lain, jembatan Crimea adalah wilayah yang sebetulnya âabu-abuâ karena di satu sisi adalah wilayah yang de facto menjadi wilayah pendudukan Rusia sejak invasi Februari-Maret 2014, namun secara de jure masih diakui dunia internasional sebagai wilayah Ukraina. Pemerintah Rusia mendirikan dua wilayah administrasi berbentuk federal yakni The Republic of Crimea dan Sevastopol dengan populasi sekitar 2,4 juta jiwa (2021).
Dalam perang Rusia-Ukraina saat ini, ada sejumlah âgaris batasâ imajiner yang dinyatakan Presiden Rusia Vladimir Putin di masa awal âoperasi khususâ militer negaranya ke Ukraina. Garis batas itu diantaranya adalah serangan di wilayah teritorial Rusia, serangan terhadap warga sipil Rusia, campur tangan NATO secara langsung, dan deklarasi Ukraina sebagai anggota NATO.

Jika garis batas itu dilanggar, Vladimir Putin menyatakan akan menggunakan semua sumber daya perang Rusia untuk membalas, tentu saja termasuk menggunakan senjata nuklir. Janji dan ancaman penggunaan senjata nuklir jika jembatan kebanggaan Putin itu diserang sudah dinyatakan sejak awal sesaat aksi invasi kedua Rusia yang dilancarkan 24 Februari 2022.
Pada saat konflik karena perlawanan berat Ukraina dibantu negara barat saat ini, Jembatan Crimea menjadi salah satu urat nadi koridor mobilitas alat perang Rusia di wilayah selatan Ukraina. Dengan topangan itu, angkatan perang Rusia mampu membobol pertahanan Ukraina dari wilayah selatan terutama melalui Provinsi Kherson dan Zaporizhia.
Militer Ukraina sudah lama memiliki kemampuan menarget jembatan itu dengan roket HIMARS jenis ATACSM, namun menahan agenda itu karena tindakan itu bisa berisiko memantik garis merah Rusia. Pihak yang bertanggungjawab atas peledakan jembatan Crimea itu masih belum jelas karena faktanya hampir tak mungkin truk pembawa bahan peledak mampu melewati sensor X-ray yang ada di pintu jembatan.

Opini publik dan Surovikin
Tak hanya Putin yang murka, warga biasa pun kini mulai berubah pandangannya selepas hancurnya jembatan Crimea. Jajak pendapat atau polling yang dilakukan dengan metode convenience poll oleh kanal Youtube Russian Survey â1420â menunjukkan bahwa rata-rata warga Rusia mulai lebih lugas menunjukkan kemarahan kepada Ukraina. Sebelum ledakan jembatan Crimea, opini publik Rusia lebih bersifat moderat bahkan acuh tak acuh terhadap langkah politik dan militer yang dilakukan pemerintahnya.
Pergeseran opini umum di Rusia itu tampaknya memberi bahan bakar politik bagi Putin dalam menjalankan strategi militer yang lebih keras terhadap Ukraina. Hal itu tampak dari penggantian jenderal pimpinan tertinggi operasi militer ke tangan Sergey Surovikin yang dikenal lugas dan tanpa kompromi ketimbang pendahulunya, Jenderal Gennady Zhidko.
Saat muda, Surovikin sudah memerintahkan menembaki para pemrotes pro-demokrasi selama upaya kudeta Soviet 1991. Prajurit yang mundur juga ditembak mati. Dengan metodenya, Surovikin berhasil membalikkan arah perang di Suriah tahun 2017 sehingga Pemerintah Suriah bisa menguasai 50 persen wilayah.
Kondisi psikologi sosial yang relatif menerima bentuk âhukumanâ yang lebih kuat kepada Ukraina itu membuat sosok Surovikin yang sebetulnya tak populer dan dibenci pun akhirnya tetap diterima. Padahal publik Rusia paham, dengan dipasangnya Sergey Surovikin di komando perang Rusia-Ukraina, bakal ada tindakan tak masuk akal yang melebihi rasionalitas orang Rusia sendiri.

Hal itu segera terbukti dengan kebijakan âmobilisasi parsialâ untuk tentara cadangan, penghancuran obyek-obyek vital sipil Ukraina dan serangan baru melalui Belarusia. Rencana itu ditambah satu hal âluar biasaâ yakni rencana penggunaan âbom kotorâ oleh Rusia dengan sebelumnya meluncurkan operasi propaganda âfalse flag operationâ.
Menurut kalangan analis militer barat, dalam operasi false flag itu, Rusia menuduh Ukraina akan menggunakan bom kotor (dirty bomb) kemudian Rusia sendiri yang akan menjalankannya. Bom kotor adalah bom yang dicampur dengan bahan radioaktif jenis apapun, sehingga akan menimbulkan dampak luka radiasi yang parah dalam jarak jangkauan yang lebih luas dari bom konvensional.
Saat ini Rusia juga menemukan momentum serangan yang baru dengan menggunakan berbagai macam drone kamikaze dan reconaissance dari Iran untuk menyerang berbagai target militer maupun sipil di seantero Ukraina. Meski sifat kerusakan yang diakibatkan drone-drone itu tak sebesar rudal canggih Rusia, namun berhasil membuat kerusakan cukup masif dan menyibukkan pihak militer Ukraina.

Hukuman massal
Hasil dari semua âkaryaâ sang Surovikin ini memang sudah terlihat sangat berbeda dengan dua jenderal pendahulunya dalam memimpin perang Rusia-Ukraina ini. Minggu-minggu ini pasukan Rusia sudah mampu menahan gerak maju pasukan Ukraina di garis depan Bakhmut dan menetapkan pijakan bertahan pasukan yang lebih kuat di wilayah Kherson. Sementara pihak Ukraina sedang dibuat pusing kepala akibat hancurnya sarana vital listrik, gas, dan fasilitas umum akibat dibombardir drone dan rudal.
Sulit dimungkiri, bahwa strategi Presiden Rusia Vladimir Putin untuk menempatkan Jenderal Gennady Surovikin dan meminta bantuan drone kepada Iran merupakan langkah tepat. Setelah sebelumnya kalah unggul dalam âperang droneâ, kini Rusia di atas angin dengan keunggulan-keunggulan teknis drone buatan Iran. Terbukti sejak penggunaan drone Shaheed-136, Ukraina kesulitan menangkal serbuan drone buatan Iran itu.
Baca juga: Media Barat Sebut Hancurnya Jembatan Crimea Penanda Kekalahan Rusia
Keunggulan itu cukup membuat kalang kabut Ukraina, yang tampak dari berbagai kerusakan yang terjadi di ibukota Kyiv hingga kota-kota kecil yang sebelumnya tak tersentuh serangan rudal presisi Rusia. Sekitar 30 persen dari infrastruktur energi Ukraina kini hancur akibat serangan drone Iran dan rudal presisi. Akibatnya, kini jutaan warga Ukraina khususnya di kota-kota besar hidup dalam keterbatasan listrik yang akut, dan menghadapi musim dingin yang suram.
Betapapun, perang antara Rusia dan Ukraina ini masih terus berlangsung dan masing-masing pihak berteguh pada narasi nasionalisme dan patriotiknya masing-masing. NATO sudah mengirim sistem antiserangan udara NASSAMS dan IRIS-T untuk membantu melindungi kota-kota penting Ukraina. Kita masih akan melihat bagaimana hasil pertempuran ke depan akan berlangsung. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Arah Perang Rusia-Ukraina Mulai Berubah