Survei Litbang ”Kompas”: Pemerintah Diuji Pengendalian Harga
Kenaikan harga bahan bakar minyak menjadi ujian paling berat bagi masyarakat, tak terkecuali bagi pemerintah sendiri. Kesejahteraan masyarakat tetap harus menjadi prioritas.
Oleh
Gianie
·5 menit baca
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Daftar harga baru BBM tertera di salah satu SPBU Pertamina di Jakarta Barat, Senin (5/9/2022).
Kepuasan publik terhadap kinerja pemerintah bidang ekonomi masih di titik yang rendah. Pemerintah masih menghadapi ujian dalam pengendalian harga-harga kebutuhan pokok, terutama setelah keputusan menaikkan harga bahan bakar minyak.
Setelah pemerintah berhasil mengatasi persoalan minyak goreng yang berlangsung lebih dari setengah tahun sejak akhir tahun lalu, kepuasan terhadap kinerja ekonomi pemerintah belum terangkat. Sebab, persoalan energi muncul seiring dengan pulihnya perekonomian.
Hasil survei Kompas periode Oktober 2022 menunjukkan penilaian terhadap kinerja bidang ekonomi pemerintah masih cenderung sama dengan kondisi empat bulan yang lalu.
Kali ini tingkat kepuasan di bidang ekonomi berada di angka 50,8 persen, sementara di periode sebelumnya di angka 50,5 persen. Tingkat kepuasan ini lebih kurang sama dengan kondisi di awal periode kedua pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Meski tingkat kepuasan bidang ekonomi masih yang terendah dibandingkan kinerja bidang lainnya, kinerja bidang ini pada periode kali ini bukan pemicu utama penurunan kepuasan terhadap kinerja pemerintahan Presiden Jokowi secara keseluruhan.
Tingkat kepuasan terhadap kinerja pemerintahan Presiden Joko Widodo pada periode Oktober 2022 ini berada di angka 62,1 persen, turun dari sebelumnya yang di angka 67,1 persen. Pemicu utamanya adalah penilaian terhadap kinerja bidang penegakan hukum yang turun dari angka 57,5 persen menjadi 51,6 persen.
Sementara, kepuasan di bidang kesejahteraan sosial sedikit naik dari 73,4 persen menjadi 74 persen. Kepuasan di bidang politik dan keamanan juga naik dari 73,1 persen menjadi 74,6 persen.
Meski pemerintah dihadapkan pada tantangan pemulihan ekonomi dari pandemi dan mengantisipasi pemburukan kondisi global, peristiwa hukum yang datang bertubi-tubi dalam tiga bulan terakhir telah mengalihkan perhatian publik dari kondisi ekonomi yang dihadapi sehari-hari.
Pemerintah pada awal September menaikkan harga pertalite dari Rp 7.650 per liter menjadi Rp 10.000 per liter (31 persen). Harga solar naik dari Rp 5.150 per liter menjadi Rp 6.800 per liter (32 persen). Begitu juga dengan harga pertamax yang naik dari Rp 12.500 per liter menjadi Rp 14.500 per liter (16 persen).
Kenaikan ini didasarkan pada harga komoditas energi yang cenderung naik sejak tahun 2021. Setelah dunia berangsur pulih dari pandemi Covid-19, permintaan energi bertambah. Sementara, pasokannya terbatas yang diperparah oleh perang antara Rusia dan Ukraina.
Di tahun 2021, harga minyak mentah bergerak dari kisaran 58 dollar As per barel pada bulan Januari hingga mencapai puncak pada pertengahan Oktober di kisaran 84 dollar AS per barel. Sempat turun di kisaran 70 dollar AS per barel pada akhir November, tetapi merangkak naik kembali di tahun 2022.
KOMPAS/NIKSON SINAGA
Masyarakat berbelanja kebutuhan pokok di Pasar Petisah, Medan, Sumatera Utara, Senin (5/9/2022). Harga kebutuhan pokok serba naik di Kota Medan menyusul kenaikan harga BBM.
Di awal Juni 2022, harga minyak mentah mencapai titik puncak baru di angka 123 dollar AS per barel. Setelah itu harga perlahan turun di bawah 100 dollar AS per barel. Pada September 2022 saat pemerintah menaikkan harga BBM, harga minyak mentah dunia di kisaran 90-an dollar AS per barel.
Kenaikan harga minyak mentah ini membebani keuangan pemerintah karena pemakaian BBM, terutama pertalite dan solar, masih disubsidi. Pemerintah menyebut anggaran subsidi dan kompensasi BBM tahun ini naik tiga kali lipat menjadi Rp 502,4 triliun.
Angka ini sudah terlalu besar. Jika harga BBM bersubsidi dipertahankan, jumlah subsidi dan kompensasi diperkirakan mencapai Rp 698 triliun hingga akhir tahun. Hal ini menjadi tambahan belanja RAPBN 2023.
Di sisi lain, kenaikan harga BBM tentunya menaikkan biaya produksi dan mendorong inflasi. Di tengah kondisi finansial masyarakat yang masih terdampak pandemi, inflasi tinggi akan menurunkan daya beli masyarakat. Kehidapan masyarakat akan semakin sulit.
Pada awal Oktober, BPS melaporkan angka inflasi tahunan Indonesia mencapai 5,95 persen. Kenaikan harga tertinggi terdapat pada kelompok transportasi, yakni sebesar 8,88 persen.
Jika dilihat secara spesifik, kinerja bidang ekonomi yang menyebabkan ketidakpuasan publik masih cukup tinggi adalah dalam aspek pengendalian harga-harga barang dan jasa. Aspek ini mendapat penilaian ketidakpuasan sebesar 62 persen. Responden yang menyatakan puas hanya 31,5 persen, sama dengan penilaian di periode sebelumnya.
Aspek lainnya yang mendapat nilai kepuasan yang rendah terkait dengan penyediaan lapangan kerja atau mengatasi pengangguran. Publik masih melihat pemerintah belum berhasil dalam soal ini.
Hanya 38,3 persen responden yang menyatakan puas dengan kinerja pemerintah pada aspek ini. Angka ini juga sama dengan penilaian di periode sebelumnya. Sementara, sebanyak 54,7 persen menyatakan sebaliknya. Penilaian kedua aspek ini memberi gambaran pergulatan masyarakat yang masih sulit bangkit dari dampak pandemi.
Relatif masih samanya tingkat kepuasan publik terhadap kinerja bidang ekonomi periode ini terbantu oleh kebijakan pemerintah dalam memberi bantalan sosial kepada masyarakat untuk meredam dampak kenaikan harga BBM. Pemerintah memberikan bantuan langsung tunai kepada 20,65 juta keluarga kurang mampu dan bantuan subsidi upah kepada sekitar 16 juta pekerja.
Selain itu, ada juga bantuan angkutan umum, bantuan ojek daring, dan untuk nelayan oleh pemerintah daerah. Seluruh bantuan sosial ini diharapkan dapat mempertahankan daya beli masyarakat, berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi, dan menahan bertambahnya jumlah orang miskin.
Ke depannya, tantangan yang dihadapi masih soal pengendalian harga-harga dan mengatasi pengangguran. Tantangan semakin berat karena perekonomian global dibayangi resesi pangan, energi, dan keuangan yang tentunya akan berimbas ke Indonesia.
Sejauh mana pemerintah memprioritaskan kesejahteraan masyarakat dalam kebijakannya lewat pengalokasian anggaran akan memengaruhi kepuasan publik di penilaian berikutnya. (LITBANG KOMPAS)