Hari Literasi Nasional tahun 2022 akan menjadi kesempatan untuk memikirkan kembali pentingnya ruang belajar literasi untuk membangun ketahanan dan memastikan pendidikan yang berkualitas, adil, dan inklusif untuk semua.
Oleh
MB Dewi Pancawati
·5 menit baca
Perempuan menjadi kunci tumbuhnya literasi dalam keluarga. Oleh karena itu, penting untuk meningkatkan literasi bagi perempuan dengan memberikan ruang seluas-luasnya untuk berkembang, mengingat literasi dasar perempuan masih jauh di bawah laki-laki dan belum mencapai target nasional.
Peringatan Hari Aksara Internasional yang juga diperingati sebagai Hari Aksara Nasional atau Hari Literasi Nasional setiap 8 September menjadi pengingat akan pentingnya budaya membaca dalam kehidupan manusia. Membaca dan menulis merupakan kemampuan dasar yang harus dimiliki seseorang untuk dapat mengakses ilmu pengetahuan yang lebih luas.
Untuk mengukur kemampuan penduduk dalam membaca dan menulis, serta menjadi acuan dalam melihat sejauh mana penduduk suatu daerah terbuka terhadap pengetahuan atau tidak digunakan angka melek huruf (AMH) sebagai indikator.
Perempuan menjadi kunci tumbuhnya literasi dalam keluarga.
Indikator melek huruf ini mengindikasikan adanya kemampuan literasi dasar yang dimiliki penduduk yang dapat berguna untuk mengakses informasi dan pengetahuan serta memperluas ilmu pengetahuan yang dimiliki.
AMH bahkan menjadi salah satu indikator yang menjadi target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) pada pilar sosial keempat Pendidikan Berkualitas dengan target pada tahun 2030 menjamin semua remaja dan proporsi kelompok dewasa tertentu, baik laki-laki maupun perempuan, memiliki kemampuan literasi dan numerasi.
Secara nasional, dalam lima tahun terakhir AMH penduduk Indonesia usia 15 tahun ke atas telah menunjukkan peningkatan, dari 95,22 persen pada tahun 2015 menjadi 96 persen pada tahun 2020. Artinya, masih ada 4 dari 100 penduduk usia 15 tahun ke atas yang belum bisa membaca dan menulis. Sayangnya, capaian dari tahun 2018 hingga 2020 belum bisa mencapai target yang ditetapkan pemerintah.
Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2020 tersebut, tercatat ada 23 provinsi yang sudah mencapai target di atas 96,10 persen. Tertinggi adalah Provinsi Sulawesi Utara, dengan 99,79 persen penduduknya sudah bisa membaca dan menulis, diikuti DKI Jakarta (99,69 persen), dan Maluku (99,42 persen).
Sementara masih ada 11 provinsi (32,4 persen) yang capaian AMH-nya masih di bawah capaian nasional, termasuk tiga provinsi di Pulau Jawa, yaitu DI Yogyakarta (95,09 persen), Jawa Tengah (93,62 persen), dan Jawa Timur (92,5 persen). Bahkan Jatim berada di urutan ketiga terendah setelah Papua (77,9 persen) dan Nusa Tenggara Barat (87,6 persen).
Sebagai daerah yang menerima manfaat infrastruktur dan akses pendidikan yang lebih baik daripada daerah di pulau lain, sangat disayangkan rapor merah juga didapat Jatim dalam pencapaian literasi.
Laporan Indeks Aktivitas Literasi Membaca 2019, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mencatat, Jatim berada di peringkat ke-26 dengan skor 33,19. Angka ini jauh di bawah rata-rata nasional sebesar 37,32.
Apabila ditelisik lebih dalam, literasi dasar yang terpantau dari indikator AMH ini terlihat masih tertinggal untuk penduduk di perdesaan, penduduk termiskin, kelompok disabilitas, dan kelompok perempuan.
Dalam kurun waktu lima tahun, AMH perempuan berada di kisaran 93-94 persen. Artinya, masih ada 6 dari 100 perempuan di Indonesia yang belum bisa baca tulis. Sementara AMH laki-laki mencapai 97 persen dan sudah melampaui target.
Hanya ada satu provinsi dengan capaian AMH perempuan yang lebih besar dibandingkan dengan laki-laki, yaitu Provinsi Gorontalo dengan AMH perempuan sebesar 98,86 persen, sedangkan laki-laki sebesar 98,64 persen. Sementara tiga provinsi dengan AMH terendah, capaian AMH penduduk perempuannya bahkan belum mencapai angka 90 persen.
Kesenjangan AMH antara laki-laki dan perempuan semakin tampak di wilayah perdesaan. AMH perempuan yang tinggal di wilayah perdesaan tahun 2020 di angka 91,65 persen, lebih rendah 4,07 persen dibandingkan dengan AMH laki-laki di perdesaan sebesar 95,72 persen.
Disparitas kemampuan membaca dan menulis antara laki-laki dan perempuan tersebut menggambarkan masih adanya persoalan akses perempuan dalam memperoleh pendidikan.
Merujuk data Susenas 2020, rata-rata lama sekolah penduduk perempuan adalah 8,6 tahun atau setara dengan kelas 8 SMP/sederajat, bahkan di perdesaan 7,26 tahun atau hanya menempuh pendidikan hingga kelas 7 SMP/sederajat. Wajib belajar 9 tahun pun belum bisa dituntaskan.
Kesetaraan di dalam literasi ini bagi perempuan juga merupakan salah satu isu penting di dalam Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. Indonesia sudah meratifikasinya dengan terbitnya UU Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskiriminasi terhadap Wanita
Literasi memang harus dimaknai secara luas, tidak hanya masalah keberaksaraan (melek huruf), tetapi dengan kemampuan baca tulis yang baik, maka semakin terbuka lebar akses terhadap pengetahuan. Semakin rendah kemampuan literasi seseorang, semakin kecil peluang mengakses pengetahuan dan informasi yang dibutuhkan dalam kehidupannya.
Apalagi perempuan memegang peran utama dalam menumbuhkembangkan budaya literasi dalam lingkungan keluarga. Ibulah yang pada umumnya memperkenalkan aksara untuk pertama kali kepada anak. Lebih jauh, dengan literasi baik yang ditumbuhkan dari keluarga, akan menumbuhkan sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas dan siap bersaing.
Peran perempuan dalam meningkatkan literasi di lingkungan keluarga semakin urgen mengingat Indonesia masih menghadapi tantangan kompetensi literasi yang rendah.
Hasil Asesmen Nasional tahun 2021 terhadap 6,5 peserta didik di kurang lebih 259 satuan pendidikan menemukan, 1 dari 2 peserta didik belum mencapai kompetensi minimum literasi dan terbesar adalah di jenjang SD dan SMP yang masih memerlukan intervensi khusus.
Hal tersebut perlu mendapat perhatian yang serius karena kompetensi literasi yang rendah dapat berdampak pada kesulitan akses pendidikan yang lebih tinggi dan lebih jauh pada kualitas sumber daya manusia masa depan.
Apalagi di era digital di mana arus informasi mengalir tanpa batas. Kompetensi literasi yang baik dibutuhkan agar dapat menyaring informasi yang benar dan bermanfaat.
Peran perempuan dalam meningkatkan literasi di lingkungan keluarga semakin urgen mengingat Indonesia masih menghadapi tantangan kompetensi literasi yang rendah.
Di samping itu, perempuan harus melek literasi karena sebagai ibu membutuhkan akses informasi terkait layanan kesehatan seperti kesehatan reproduksi, kesehatan anak, pendidikan seksual, termasuk layanan hukum juga informasi politik. Meningkatkan kemampuan literasi perempuan dapat mengurangi kerentanan perempuan pada kemiskinan bahkan membentengi dari tindak kekerasan.
Peringatan Hari Literasi Nasional tahun ini yang mengambil tema ”Transforming Literacy Learning Spaces” atau ”Transformasi Ruang Belajar Literasi” menjadi momentum untuk meningkatkan literasi pada perempuan.
UNESCO juga menyebutkan perayaan Hari Literasi Nasional tahun 2022 akan menjadi kesempatan untuk memikirkan kembali pentingnya ruang belajar literasi untuk membangun ketahanan dan memastikan pendidikan yang berkualitas, adil, dan inklusif untuk semua, tak terkecuali bagi perempuan. (LITBANG KOMPAS)