Generasi ”Sandwich” Membayangi Semua Tingkatan Ekonomi
Fenomena generasi ”sandwich” berlangsung selama empat generasi. Sejak generasi ”baby boomers” hingga generasi Z. Hal ini terjadi akibat kebuntuan ekonomi untuk keluar dari lingkaran generasi ”sandwich”.
Oleh
Yohanes Advent Krisdamarjati
·5 menit baca
Fenomena generasi sandwich di Indonesia sudah berlangsung setidaknya selama empat generasi. Kondisi ini terjadi pada masyarakat kalangan bawah hingga atas. Di masa mendatang, setiap generasi berpotensi tertimpa beban ganda menanggung kehidupan dua generasi sekaligus.
Generasi sandwich merupakan konsep yang pertama kali dimunculkan pada 1980-an. Konsep tersebut terdapat dalam jurnal karya Dorothy Miller dan Elaine Brody yang dipublikasikan tahun 1981. Miller mengangkat topik tentang posisi seorang anak yang menanggung biaya hidup dan kebutuhan orangtua mereka. Sementara Brody mengangkat tema perempuan di AS dalam kondisi berbeban ganda, mereka harus mengurus anak dan suami, ditambah lagi kerabat atau keluarga lanjut usia.
Sebutan generasi sandwich melekat pada kelompok masyarakat berusia produktif yang memikul beban ekonomi generasi sebelumnya sekaligus anak dari keluarga mereka. Kelompok usia produktif adalah individu berusia 15 hingga 65 tahun. Artinya, pihak yang bisa menjadi beban ekonomi generasi sandwich merupakan dua generasi tidak produktif yang mengimpitnya, yakni berusia 0-14 tahun ditambah usia lebih dari 65 tahun.
Keberadaan generasi sandwich bukanlah fenomena baru. Apabila ditilik dari aspek historis, kemunculan generasi dengan posisi terjepit ini dipicu oleh dua hal. Penyebab pertama ialah lonjakan jumlah penduduk semenjak generasi baby boomers. Hal ini disebabkan oleh era perdamaian pasca-Perang Dunia II (1939-1945) hingga saat ini. Keamanan dan kestabilan politik global membuat harapan hidup manusia semakin tinggi.
Tingginya harapan hidup itu mendorong manusia hidup lebih lama di usia senja ketika sudah tidak produktif lagi. Hal ini memunculkan penyebab kedua dari keberadaan generasi sandwich, yaitu ketidaksiapan warga lansia secara finansial di masa tua. Kondisi demikian memaksa individu berusia produktif untuk menanggung kebutuhan hidup para warga lansia.
Jika dirunut, dari setiap generasi mulai dari baby boomers hingga generasi Z, sebagian dari mereka mengalami posisi sebagai generasi sandwich. Apabila warisan beban ekonomi ini tidak segera ditangani, potensi produktivitas masyarakat Indonesia dari bonus demografi pada kurun 2030-2040 dapat terseok akibat beban berat yang harus ditanggung.
Harian Kompas melalui jajak pendapat yang dilaksanakan pada 9-11 Agustus 2022 dengan melibatkan 504 responden dari 34 provinsi memperoleh gambaran kondisi terkini generasi sandwich di Indonesia. Secara keseluruhan, tujuh dari sepuluh responden menyatakan bahwa mereka adalah generasi sandwich. Temuan ini menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat berusia produktif menanggung beban ekonomi dua lapis.
Ditinjau dari kelompok generasinya, responden dari generasi Y (usia 24-39 tahun) adalah yang paling banyak berada pada posisi impitan ekonomi. Empat dari sepuluh responden generasi Y mengaku memberi bantuan ekonomi kepada orangtua atau mertua, saudara kandung, bahkan kerabat mereka.
Kelompok usia terbanyak kedua yang mengalami kondisi serupa adalah dari generasi X (usia 40-55 tahun). Apabila dicermati, generasi Y dan generasi X saat ini berada pada posisi memiliki orangtua yang menjelang atau sudah tidak pada usia produktif lagi. Keadaan ini dapat menjadi alarm bahwa penduduk dengan usia 24-55 tahun adalah yang paling rentan menjadi generasi sandwich.
Generasi yang juga dalam kondisi di ambang kerawanan adalah generasi Z (usia kurang dari 24 tahun). Dari kelompok usia tersebut sudah ada 16,3 persen yang mengaku menjalani hidup sebagai generasi sandwich. Bisa jadi angka ini akan meningkat seiring bertambahnya usia para generasi Z di masa mendatang.
Semua lapisan masyarakat
Hasil jajak pendapat menunjukkan bahwa beban ganda yang ditanggung oleh generasi sandwich terjadi pada semua lapisan sosial ekonomi. Masyarakat dengan kemampuan ekonomi kuat hingga lemah sama-sama mengalami kondisi serupa.
Perbedaannya terletak pada seberapa banyak generasi sandwich pada setiap kelas sosial ekonomi. Terdapat separuh responden dari kalangan menengah bawah yang mengaku menanggung kebutuhan hidup dua generasi. Responden dari kelompok sosial ekonomi inilah yang paling banyak menjadi generasi sandwich.
Selanjutnya, dari kalangan sosial ekonomi terbawah, yang mengalami kondisi impitan serupa sebanyak empat dari sepuluh responden. Dapat dikatakan mayoritas generasi sandwich berasal dari kalangan menengah bawah dan paling bawah.
Impitan ekonomi yang dipikul generasi sandwich dari dua kelas sosial ekonomi tersebut semakin jelas tergambar ketika membandingkan antara nilai belanja bulanan dan nilai bantuan yang diberikan. Mayoritas kalangan bawah dan menengah bawah mencatatkan belanja bulanan senilai kurang dari Rp 3 juta. Sementara itu, jumlah uang yang diberikan sebagai bantuan kepada anggota keluarga berada pada kisaran ratusan ribu hingga Rp 1 jutaan.
Melihat data tersebut, dapat dimaknai bahwa besarnya nilai tanggungan generasi sandwich dari kalangan bawah dan menengah bawah bisa mencapai sepertiga dari total kebutuhan belanja bulanan mereka sendiri. Dari kacamata ekonomi, fenomena tersebut menjadi peringatan potensi pelemahan daya beli akibat tanggungan yang harus diemban.
Nilai tanggungan yang besar dari perspektif ekonomi menjadi suatu beban yang perlu segera diatasi. Namun, dari kacamata sosial, para responden mengaku bahwa mengemban beban ekonomi ganda bukanlah kondisi yang patut dikeluhkan.
Bukan beban
Mayoritas responden jajak pendapat menyatakan bahwa kewajiban yang mereka tanggung tidak dipandang sebagai beban. Pernyataan ini disampaikan oleh responden dari semua kalangan sosial ekonomi. Apabila ditelisik lebih jauh lagi, pandangan generasi sandwich terhadap kondisinya dilatarbelakangi oleh budaya dan relasi kekerabatan khas masyarakat Indonesia.
Membiayai hidup atau memberi bantuan kepada orangtua dianggap sebagai tindakan yang mulia. Seorang anak sudah sepantasnya membalas budi kepada orangtua dan keluarga mereka. Pandangan ini membuat suatu kondisi ketergantungan pada generasi sandwich adalah hal yang lumrah terjadi di masyarakat.
Pandangan terhadap generasi sandwich tersebut sudah berlangsung selama empat generasi, yaitu sejak generasi baby boomers hingga generasi Z. Kondisi ini terjadi salah satunya akibat kebuntuan ekonomi untuk keluar dari lingkaran generasi sandwich.
Lingkaran yang dimaksud mengacu pada kondisi masyarakat usia produktif dengan penghasilan yang habis terbelanjakan akibat beban ekonomi ganda. Kondisi demikian akan menyulitkan persiapan dana hari tua untuk para generasi sandwich di masa mendatang. Fenomena ini terjadi secara jamak, tidak hanya pada kalangan ekonomi lemah, tetapi juga pada golongan masyarakat berpendapatan puluhan juta rupiah sebulan.
Melalui jajak pendapat ditemukan adanya beberapa responden yang menanggung biaya senilai belasan juta, bahkan puluhan juta rupiah, per bulan. Artinya, jeratan generasi sandwich terjadi pada orang dengan berbagai tingkatan pendapatan.
Hasil jajak pendapat memberikan alarm bahwa generasi sandwich bisa terjadi pada semua kalangan masyarakat dengan tingkatan beban ekonomi yang beragam. Apabila kondisi ini tidak segera dicarikan solusi secara cepat dan konkret, generasi mendatang akan mengalami kondisi yang serupa. (LITBANG KOMPAS)