Akrobatik ”Generasi ’Sandwich’”
”Generasi ’sandwich’” menggambarkan posisi generasi yang memikul beban ganda. Generasi ini terus bertambah lantaran usia harapan hidup orang Indonesia terus meningkat.
”Generasi Sandwich” terimpit di antara dua generasi, atas dan bawah. Mereka harus berakrobat mengatur uang agar bisa menopang hidup orangtua, adik, anak, bahkan keponakan. Sebagian terpaksa mengorbankan urusan pribadi, termasuk menunda berumah tangga atau mengubur mimpi pensiun dini.
Elizabeth (26) adalah satu dari sekian anak muda usia produktif yang bernasib seperti isi roti sandwich. Terimpit di antara dua beban. Perempuan yang baru tiga tahun bekerja itu mesti menanggung uang bulanan orangtua, adik, dan mengongkosi hidupnya sendiri.
Seharusnya, dengan gaji Rp 11 juta per bulan, ia bisa menutup pengeluaran pribadi dan orangtuanya. Masalahnya, ada pengeluaran amat besar yang juga mesti ditanggungnya, yakni biaya renovasi rumah. Awalnya, orangtua meminta Elizabeth merelakan tabungannya sebesar Rp 75 juta. Ia mau tidak mau menuruti.
”Mau nolak, ntar dibilang enggak berbakti. Dikasih, itu tabungan aku bertahun-tahun,” katanya, Jumat (19/11/2021), setengah mengeluh. Ternyata, uang Rp 75 juta tidak cukup karena biaya renovasi mencapai Rp 150 juta. Untuk menutup kekurangannya, Elizabeth mesti berutang termasuk ke bank.
Kini, ia terlibat utang. ”Kalau ditanya berapa angsuran yang harus aku bayar, aku enggak bisa jawab saking pusing ngatur duit,” ujarnya.
Sebelumnya, Elizabeth sudah lama jadi tulang punggung keluarga. Dia harus membagi gajinya untuk mengongkosi kehidupan orangtua dan adik lelakinya. Uang bulanan untuk orangtua Rp 4 juta, rekening listrik orangtua Rp 1 juta, biaya transportasi adiknya Rp 1,5 juta, uang bensin ayah, dan masih banyak lagi.
Elizabeth sendiri hanya kebagian Rp 3,5 juta. Uang itu dipakai untuk uang kos Rp 1,5 juta per bulan dan kebutuhan makan serta biaya bensin sepeda motor tuanya Rp 2 juta. ”Hidup dengan Rp 2 juta sebulan berat sekali. Biasanya beli makanan lewat aplikasi, sekarang stop, mahal banget. Cukup makan di warteg dekat kos.”
Catur (32), karyawan perkebunan di Tebo, Jambi, juga menjadi tumpuan keluarga. Sejak bekerja tahun 2016, ia bersama kakaknya patungan membiayai ibunya yang hanya ibu rumah tangga dan telah berpisah dengan suaminya (ayah dari Catur). Sejak pandemi Covid-19, Catur mesti menanggung biaya hidup ibunya sendirian karena perekonomian kakak-kakak dan adiknya terdampak pandemi. ”Mungkin karena aku single, jadi enggak ada tanggung jawab ke istri dan anak, beban jatuh ke aku,” katanya.
Setiap bulan, Catur menerima gaji Rp 10 juta. Untuk kebutuhan pribadi, ia menyisihkan Rp 2 juta, untuk ibunya Rp 4 juta. ”Kalau untuk ibu, aku menganggap pengeluaran ini sebagai ibadah dan bakti.”
Bagaimana dengan sisa uangnya? Kadang, Catur bisa menabung sampai Rp 4 juta setiap bulan, kadang tidak. Pasalnya, ia sering menjadi sumber ”dana darurat” dalam keluarga. Ia kadang mesti membayar pajak mobil dan membantu kakak atau adiknya yang kisarannya Rp 500.000-Rp 1 juta.
Besarnya beban yang ditanggung membuat Catur belakangan mengeluh juga. Kalau pikiran benar-benar penat, ia malah berbelanja di akhir pekan sampai sisa gaji bulanan habis. ”Manusiawi, ya, karena aku juga ingin menyenangkan diri sendiri. Liburan, atau beli PS 5,” ujar Catur yang sempat berpikir untuk mengorbankan mimpinya menikah agar pengeluaran tidak bertambah.
Manusiawi, ya, karena aku juga ingin menyenangkan diri sendiri. Liburan, atau beli PS 5.
Beban berat juga ditanggung Saraswati (36), karyawan bidang pemasaran sebuah perusahaan teknologi. Gaji perempuan lajang ini cukup besar, di atas Rp 40 juta. Namun, beban yang mesti ditanggung juga besar. Ia mesti membiayai kedua orangtua dan keponakannya. Biaya yang ditanggung mulai biaya harian, cicilan mobil ayahnya, biaya jalan-jalan ibunya, dan uang pangkal masuk sekolah keponakannya. Pengeluaran untuk keluarga setiap bulan bisa tembus Rp 20 juta.
Saras sendiri mengaku, gaya hidupnya biasa saja. Ia tak terlalu senang jajan, ataupun belanja barang mahal. Dia juga tidak mempunyai obsesi memiliki aset tak bergerak, seperti rumah ataupun tanah. Uang sisa gaji juga mengalir ke tabungan untuk hari tua. Namun, dengan pengeluaran keluarga yang kian tinggi sejak pandemi, kecepatannya menabung terus melambat. Ia pun mesti memikirkan ulang rencana pensiun dini di usia 40 tahun. ”Sepertinya proyeksi pensiun mundur lima atau enam tahun,” katanya.
Situasi Chandra (36) tak jauh berbeda. Sejak tahun 2012, Chandra sudah menopang orangtuanya. Bisnis ayahnya meredup, menyisakan utang ratusan juta rupiah. ”Gue merasa harus ikut menyelesaikan masalah itu. Bokap jual mobil, kekurangannya gue patungan sama abang-abang gue,” katanya.
Tahun 2013 Chandra menikah dan mempunyai anak. Tanggungannya bertambah. Dia berhemat agar bisa memenuhi kebutuhan anak dan istri, juga menopang orangtuanya. Itu dijalani sekitar tiga tahun. Menjelang pandemi, setelah punya dua anak, Chandra bercerai. Salah satu keputusan sidang mewajibkan dia menanggung biaya pendidikan anak, ditambah kebutuhan sehari-hari Rp 4 juta per bulan. ”Kebutuhan sehari-hari ini tiap tahun bertambah, karena ada klausul inflasi 10 persen per tahun,” ujarnya.
Ketika pandemi, pendapatan orangtua dari apartemen hilang karena tak ada penyewa. Dia mesti jungkir-balik lagi untuk menanggung pengeluaran tambahan untuk orangtua, Rp 1,5 juta per bulan, di luar patungan bayar listrik, internet rumah, dan kebutuhan mendadak lain. Sejak pandemi, dia makin terjepit. Usaha rintisannya berupa pelantar gim daring kehilangan investor. Jabatan mentereng sebagai chief communication officer tak ada nilainya, alias tak bergaji.
Untuk kebutuhan sehari-hari, Chandra kerja dari proyek ke proyek, membuat konten video, atau jadi konsultan media. Penghasilannya jadi tak tetap, tetapi rata-rata per bulan Rp 25-Rp 35 juta. Lumayan, masih bisa mentraktir orangtuanya, memberi hadiah untuk anak-anaknya, juga menghadiahi diri dan pasangannya berlibur ke Bali.
Beban ganda
Elizabeth, Catur, Saras, dan Chandra hanya sebagian kecil dari berjuta-juta orang yang harus menjalani hidup sebagai generasi sandwich. Peneliti Senior Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada Sukamdi menjelaskan, dari sisi kependudukan, generasi terimpit di Indonesia tidak hanya mencakup generasi X, Y, ataupun milenial, dan Z. Warga lanjut usia (generasi baby boomer) yang masih dalam kategori usia produktif (64 tahun) juga banyak yang menjadi generasi sandwich karena mesti menanggung keluarga dengan usia di atasnya dan anaknya.
Konsep ini (generasi sandwich) menggambarkan posisi generasi yang memikul beban ganda.
”Konsep ini (generasi sandwich) menggambarkan posisi generasi yang memikul beban ganda,” kata Sukamdi.
Generasi terimpit ini, lanjut Sukamdi, akan terus bertambah lantaran usia harapan hidup orang Indonesia terus meningkat. Tahun 2020, usia harapan hidup 71,47 tahun. Lalu bertambah jadi 71,57 pada 2021. Sayangnya, masih ada banyak penduduk yang kurang beruntung yang hidupnya harus ditanggung oleh anaknya yang juga memiliki beban sendiri.
Sukamdi khawatir, membesarnya generasi terimpit bisa mengganggu bonus demografi tahap kedua mulai tahun 2025-2030. Pasalnya, penduduk usia produktif harus menanggung beban ganda. ”Ke depan, yang mesti ditanggung tidak hanya kebutuhan ekonomi, tetapi juga persoalan sosial dan kesehatan,” ujarnya.
Untuk menjawab persoalan ini, lanjut Sukamdi, pemerintah perlu mengupayakan perluasan kesempatan kerja, termasuk untuk warga lanjut usia, tanpa mengganggu peluang bagi generasi muda.
Jika ini berjalan, setidaknya beban generasi sandwich akan berkurang. (LSA/HEI)