Survei Litbang "Kompas": Harapan Baru bagi Usaha Mikro dan Kecil
Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2022 memberi asa baru bagi usaha mikro dan kecil serta koperasi. Namun, sejumlah problem perlu dibenahi agar realisasinya berdampak pada pertumbuhan ekonomi nasional.
Oleh
BAMBANG SETIAWAN
·5 menit baca
Kebijakan pemerintah yang mewajibkan kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah membelanjakan minimal 40 persen dana APBN dan APBD untuk membeli produk lokal hasil usaha mikro dan kecil atau UMK serta koperasi akan berdampak besar pada perekonomian publik.
Inpres Nomor 2 Tahun 2022 tentang Percepatan Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri dan Produk Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Koperasi berisi perencanaan, pengalokasian, dan perealisasian minimal 40 persen nilai anggaran barang/jasa untuk memakai produk UMK dan koperasi dari hasil produksi domestik.
Selain itu, inpres itu juga mendukung pencapaian target belanja APBN dan APBD minimal Rp 400 triliun untuk produksi domestik dengan prioritas hasil UMK dan koperasi. Pemerintah juga mendorong UMK lebih banyak masuk ke pasar daring dan katalog lokal sembari menghapus persyaratan yang menghambat penggunaan produk lokal.
Masyarakat luas yang masih terdampak secara ekonomi akibat pandemi Covid-19 menyambut kebijakan itu dengan antusias. Hasil survei Litbang Kompas, 18-20 Agustus 2022, merekam antusiasme publik merespons rencana pemerintah itu. Sebanyak 61,6 persen setuju dengan kewajiban yang dibebankan kepada pemerintah daerah agar membelanjakan minimal 40 persen dari APBD untuk membeli produk lokal hasil UMK dan koperasi. Bahkan, 21,4 persen sangat setuju.
Selain setuju, publik juga merasa yakin kebijakan ini dapat terlaksana. Keyakinan itu, yang dapat dibaca sebagai harapan, dilontarkan oleh 53,9 persen masyarakat. Bahkan, 5,2 persen sangat yakin. Bermodal antusiasme dan harapan demikian besar ini tentu lembaga negara dan pemerintah daerah diharapkan segera mewujudkan.
Keberhasilan mengungkit pelaku usaha agar naik kelas sembari menarik kalangan yang mulai tertarik untuk segera merealisasikan usaha menjadi kunci bagi pertumbuhan ekonomi lebih besar, yaitu nasional. Berbagai jurus pun dikembangkan pemerintah, di antaranya katalogisasi produk lokal dan mendorong pelaku UMK dan koperasi memasarkan produknya ke pasar daring.
Dalam setahun ke depan, pemerintah menargetkan sejuta produk UMK dan koperasi masuk ke daftar produk yang siap dipasarkan secara online dalam katalog elektronik lokal (e-katalog). Sejumlah birokrasi perizinan usaha dan persyaratan masuk katalog juga telah dipangkas.
Keputusan pemerintah pusat ini cukup berdampak pada perubahan kinerja pemda. Dalam waktu singkat, terjadi peningkatan pesat dalam katalogisasi produk lokal, dari 123 pemda yang menayangkan produk dalam katalog lokalnya pada Juni 2022 menjadi 514 (dari 542 pemda) yang melakukannya hingga 31 Agustus 2022.
Dari jumlah itu, 41 persen pemda telah bertransaksi, seperti dikatakan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) Abdullah Azwar Anas dalam acara Kompas Collaboration Forum bersama Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi) di Kebun Raya Bogor, Jawa Barat, Sabtu (3/9/2022).
Target awal rencana kerja pemerintah (RKP) 2022 agar memasukkan 95.000 produk ke dalam e-katalog juga telah jauh terlampaui dengan capaian 1.036.268 produk yang telah terdaftar pada 1 September 2022. Kini, jumlah penyedia produk dalam katalog lokal mencapai 20.351 pelaku usaha dan sebanyak 12.239 merupakan pelaku UMK.
Publik pun optimistis menanggapi rencana katalogisasi produk hasil UMK dan koperasi. Walaupun saat ini 78,3 persen belum tahu bahwa sejumlah produk UMK dan koperasi telah dimasukkan oleh pemerintah daerahnya ke dalam e-katalog, 65,7 persen yakin bahwa pemerintah mampu memenuhi target sejuta produk tayang dalam e-katalog.
Keyakinan itu tak berlebihan mengingat berbagai kemudahan yang makin dirasakan masyarakat untuk memulai atau menjalankan usaha. Sebanyak 55,2 persen responden, misalnya, merasa bahwa perizinan kini makin mudah diurus. Mayoritas (61,5 persen) juga puas dengan kebijakan pemerintah daerah dalam mendukung UMK dan koperasi agar naik kelas.
Senada dengan upaya pemerintah menggenjot pertumbuhan ekonomi lewat pengembangan UMK dan koperasi, gelombang fanatisme lokal yang mulai menghargai produk dengan keunikan domestik juga meluas. Pasar produk lokal menjadi terbuka makin luas dengan pangsa yang makin beragam. Meski mayoritas (60,6 persen) masyarakat masih menganggap mutu produk lokal baru cocok untuk pasar lokal, mulai banyak yang menilai sudah layak untuk naik kelas ke level nasional atau internasional, terutama produk makanan.
Citra produk lokal di mata konsumen kini sudah menguat. Selain makanan, cukup banyak produk-produk lokal lain yang juga makin diminati, seperti produk dari kulit (tas dan sepatu), pakaian, perhiasan, dan kerajinan. Di mata publik, saat ini produk lokal mendapat kesan kuat sebagai komoditas yang murah (29,7 persen), tradisional/khas/unik (22,5 persen), enak (20,1 persen), dan berkualitas tinggi (10 persen).
Aral di hulu sampai hilir
Upaya pemerintah mendorong perekonomian dengan mengembangkan sistem pembelian produk lokal hasil UMK dan koperasi perlu diikuti dengan sejumlah langkah dan kerja keras agar cepat terealisasi. Beberapa problem yang dihadapi UMK dan koperasi di tingkat hulu sampai hilir masih memerlukan pendampingan pemerintah pusat dan daerah.
Di tingkat hulu, persoalan utama dalam pengembangan UMK adalah aspek permodalan. Mayoritas (55,7 persen) masyarakat dan pelaku usaha UMK masih sulit mendapatkan modal usaha. Selain permodalan, pelaku UMK juga dihadapkan pada bahan baku yang makin mahal, kurangnya pelatihan, dan distribusi bantuan teknologi yang belum merata.
Di tingkat produksi, problem utama terletak pada bahan baku. Bahan baku dinilai sebagai bagian terpenting dari produksi sekaligus paling sering bermasalah bagi UMK. Walaupun relatif mudah didapatkan, harganya kerap kali tidak stabil. Problem lain berhubungan dengan output produksi. Walaupun keahlian dan upah tenaga kerja relatif tidak bermasalah bagi UMK, dengan peralatan kerja dan teknologi yang masih sederhana, produksi yang dihasilkan juga terbatas.
Di tingkat hilir, pelaku UMK masih perlu pendampingan dalam promosi produk, digitalisasi pasar, dan sertifikasi produk. Peluang luas pasar digital yang kini terbuka lebar masih belum maksimal dimanfaatkan pelaku usaha tradisional sehingga cakupan distribusinya masih sempit.
Upaya membuat produk lokal dapat naik kelas perlu lebih memanfaatkan teknologi komunikasi. Terlebih, kini konsumen makin terinformasi lewat platform media digital, terutama media sosial dan ”media sosial percakapan”. Pemerintah daerah juga perlu melakukan pendampingan promosi produk lokal dengan pemanfaatan media sesuai tren, selain mempercepat katalogisasi. (LITBANG KOMPAS)