Prabowo Subianto dan Kalkulasi Perluasan Dukungan Sang Petarung
Memiliki pendukung yang loyal namun tersegmen pada kelompok masyarakat tertentu menjadi kekuatan dan sekaligus kelemahan bagi Prabowo Subianto.
Sebagai kekuatan, tidak banyak pendukung Prabowo yang cepat berpaling pilihan. Umumnya, para pendukung masuk dalam kategori strong voter, yang tidak bergeming, setia pada sosok Prabowo. Memiliki banyak pendukung seperti ini tentu saja modal politik berharga dalam pertarungan.
Peningkatan dukungan pada Prabowo sepanjang keikutsertaannya dalam Pemilu Presiden, misalnya, ditopang oleh tingginya loyalitas para pendukungnya. Hasil survei pasca pemilu (exitpoll) yang dilakukan Litbang Kompas, sesaat setelah Pemilu 2019 berakhir, menunjukkan jika 89,5 persen pemilih Prabowo tergolong loyal, lantaran pada Pemilu 2014 lalu, mereka juga memilih Prabowo. Jelas, ini suatu derajat loyalitas yang tinggi, yang tidak dapat ditandingi oleh lawannya, Presiden Joko Widodo. Saat itu, loyalitas dukungan Presiden Joko Widodo sebesar 74,1 persen saja.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Menariknya, loyalitas pendukung Prabowo terbangun dari kesamaan identitas sosial. Pendukungnya tersegmentasi, seperti cenderung berjenis kelamin laki-laki, berusia muda (22-30 tahun), kalangan menengah, baik dari sisi pendidikan maupun penghasilan, bertumpu pada kalangan yang tidak bekerja, pensiunan, dan terbesar justru berasal dari kalangan abdi negara, yang bekerja sebagai ASN ataupun pegawai BUMN.
Segmen dukungan yang paling kontras pada sisi identitas keagamaan, yakni bertumpu pada pemilih Islam, dengan afiliasi seperti Muhammadiyah dan aliran Islam selain Nahdlatul Ulama. Dari sisi etnisitas, tersegmen pada kelompok etnis Aceh dan Minangkabau, Palembang, Melayu, Sunda, Betawi, Bugis/Makassar, Banjar, dan Madura.
Begitu pula dari sisi penguasaan wilayah, umumnya para pendukung Prabowo semakin terkonsentrasi di luar Jawa, seperti hampir setiap provinsi Sumatera, Nusa Tenggara Barat. Sementara di Jawa, provinsi Jawa Barat menjadi pusat konsentrasi dukungan.
Basis dukungan yang tersegmentasi, nyatanya punya keterbatasan. Sekalipun loyal, namun modal demikian justru makin sulit bagi Prabowo memperluas dukungan dari lapis kelompok masyarakat yang lain. Inilah kelemahan yang melekat.
Hasil dari dua pertarungan pemilu lalu, menunjukkan sekalipun jumlah dukungan terhadap Prabowo meningkat, tidak menjaminkan kemenangan ia raih. Fakta demikian menunjukkan, loyalitas dan segmentasi dukungan tidak cukup menjadi bekal kemenangan, khususnya dalam pertarungan dua calon presiden.
Baca juga Kompaspedia: Profil Partai Gerindra
Dalam persaingan, Jokowi relatif diuntungkan lantaran peningkatan dukungan terhadap dirinya tidak hanya didapat oleh kalangan yang menjadi strong voter, namun juga dari berbagai kalangan yang relatif beragam identitas sosialnya.
Dalam Pemilu 2024 mendatang, dengan mempertahankan basis dukungan seperti sebelumnya, peluang kemenangan masih serba kurang meyakinkan. Tampaknya, perluasan dukungan Prabowo hanya dapat diperoleh jika ia mampu menguasai sisi lain yang belum tergarap, yaitu kalangan pemilih pemula dan kalangan pemilih di luar segmen pendukungnya.
Dengan menarik dukungan politik dari para pemilih pemula, kalangan yang baru pertama kali mengikuti pemilu, sosok Prabowo potensial. Hasil berbagai survei opini publik yang dilakukan sejak pemilu 2018 lalu, misalnya, kerap mengkonfirmasikan jika para pemilih mula cukup signifikan menjatuhkan pilihan pada Prabowo. Karakternya yang mencerminkan ketegasan, keberanian, dan patriotik, menjadi daya tarik. Hingga saat ini, para pemilih pemula pun masih punya kecenderungan sama dalam memilih tokoh pilihan.
Hanya saja, berharap dari penambahan dukungan para pemilih mula ini tampaknya masih belum menjaminkan kemenangan. Merujuk pada kondisi pemilu lalu, misalnya, sekitar lima juta saja (2,5 persen) jumlah pemilih pemula. Proporsi tersebut, ditambah jumlah pemilih yang terkuasai sebelumnya, masih belum cukup menjaminkan kemenangan. Apalagi dalam segmen pemilih mula ini, kehadiran tokoh-tokoh politik muda seperti Ganjar Pranowo, Ridwan Kamil, Sandiaga Uno, juga menjadi daya tarik rujukan calon presiden dalam Pemilu 2024 mendatang.
Itulah mengapa, langkah paling realistis dalam memperluas dukungan hanya dapat dilakukan dengan merebut simpati dukungan dari para pemilih yang pada pemilu sebelumnya tidak memilih Prabowo. Ia harus meraih dukungan dari kalangan yang sebelumnya menjadi para pemilih Presiden Joko Widodo. Pertanyaannya, seberapa besar peluang keberhasilannya?
Inilah kalkulasi politik paling problematik bagi Prabowo. Kesediaannya untuk bermitra dan mengakhiri persaingan politik dengan Jokowi pasca Pemilu 2019 lalu memang terbilang langkah strategis. Setidaknya, dengan strategi tersebut, panggung politik Prabowo tetap terjaga. Ia tetap menjadi pusat perhatian publik.
Begitu pula, sejalan penunjukkan sebagai Menteri Pertahanan, akumulasi modal politiknya masih berlanjut. Yang juga penting, keputusan tersebut dapat saja membuat faktor “Jokowi”, yang terepresentasikan dalam para pendukung Jokowi, potensial berpaling pada dirinya dalam pemilu mendatang.
Hanya saja persoalannya, dalam kondisi masyarakat yang cenderung terbelah dalam dua pemilu presiden lalu, apakah dapat dimungkinkan bagi Prabowo untuk meraih simpati dukungan kalangan pemilih di luar karakteristik pendukungnya tanpa ditinggalkan oleh para pemilih sebelumnya?
Dengan membandingkan hasil survei Litbang Kompas yang dilakukan sejak tahun 2019 dan survei di April 2021 lalu, belum tampak tanda perubahan dukungan. Begitu juga, belum tampak pula adanya perluasan dukungan. Pemilih Prabowo, misalnya, masih terkonsentrasi pada kalangan laki-laki. Ia kurang banyak didukung oleh kalangan perempuan.
Baca juga: Kalkulasi Loyalitas Dukungan Sang Petarung
Dari sisi usia, kecenderungan berusia muda. Konsentrasi mencolok lainnya, dari sisi identitas keagamaan dan partai politik. Hasil survei menunjukkan pendukung Prabowo berasal dari kalangan beragama Islam, khususnya mereka yang mengaku berafiliasi di luar Nahdlatul Ulama.
Sementara, dari sisi afiliasi partai politik, selain terkonsentrasi pada para pemilih Gerindra, Prabowo juga banyak didukung oleh para pemilih PKS, PAN, Golkar, dan Demokrat. Semua ini menunjukkan basis identitas pendukung Prabowo masih cenderung eksklusif.
Akan tetapi, survei yang dilakukan di bulan Oktober 2021 dan semakin dikuatkan pada survei Juni 2022, mulai menunjukkan adanya kecenderungan perubahan karakteristik pendukung Prabowo. Jika pada survei-survei sebelumnya pendukung Prabowo secara demografis, identitas sosial, maupun politik tergolong khas, terkonsentrasi pada satu satuan identitas tertentu, kini cenderung luruh. Dari sisi jenis kelamin, misalnya, jika survei-survei sebelumnya secara konsisten menempatkan Prabowo sebagai sosok yang banyak dirujuk oleh kelompok laki-laki, kali ini perbdaningan laki-laki dan perempuan saling mendekati.
Kondisi yang kurang lebih sama juga tampak pada sisi domisili responden. Sebelumnya, kekuatan dukungan Prabowo tampak dari responden yang berdomisili di luar Pulau Jawa. Namun kali ini, komposisinya mulai berimbang. Jika ditelusuri lebih jauh, terjadi kecenderungan penyusutan dukungan di provinsi-provinsi wilayah Sumatera yang selama pemilu lalu menjadi basis kemenangan Prabowo.
Perubahan-perubahan sosio demografis yang terjadi pada para pendukung Prabowo ini menarik dikaji. Sebagai sesuatu modal politik, tentu saja menyusutnya para pendukung yang selama ini terbilang menjadi basis kekuatan dirinya, sangat merugikan. Kondisi ini pula yang ditenggarai sebagai ancaman penyebab penurunan proporsi dukungan.
Namun uniknya, pada sisi lain, penyusutan yang terjadi justru semakin membentuk konfigurasi dukungan Prabowo yang lebih merepresentasikan kekuatan sosio demografis masyarakat di negeri ini. Artinya, jika sebelumnya basis dukungan terhadap Prabowo bersifat tersegmentasi pada kalangan tertentu, kini menjadi cenderung lebih cair.
Beberapa kondisi yang menguatkan situasi semacam itu juga terjadi pada sisi identitas politik dari para pemilih Prabowo. Pada survei-survei sebelumnya, masih tampak jika konsentrasi pendukung terlihat berasal dari kekuatan politik yang memang menjadi basis kekuatan Prabowo.
Dari sisi partai politik, misalnya, dari total seluruh responden yang mengaku memilih Prabowo, selain dari Gerindra, umumnya terkonsentrasi pada partai-partai yang berseberangan politik dengan pemerintah pada Pemilu 2019 lalu. Namun hasil survei saat ini, justru menunjukkan adanya perubahan dukungan yang cukup signifikan dari partai-partai seperti PDI P dan Golkar. Dari total pendukung Prabowo, terdapat sekitar 14,1 persen yang mengaku menjadi pemilih PDI P pada pemilu lalu.
Perubahan basis dukungan Prabowo setahun terakhir ini semakin melegimasikan dirinya sebagai sosok yang potensial dipilih oleh setiap lapis kalangan masyarakat, yang tidak lagi tersekat-sekat dalam kesamaan identitas sosial. Hanya saja, dengan dukungan pemilih yang lebih semakin inklusif tersebut, apakah cukup menjaminkan peluang kemenangannya dalam Pemilu 2024 mendatang? Langkah politik apa lagi yang harus ia lakukan? (Bersambung).
Edisi selanjutnya: Kalkulasi Kemenangan Sang Petarung