Bersiap Menghadapi Lonjakan Inflasi dan Penurunan Laju Ekonomi
Pemerintah tampak bersiap menaikkan harga BBM subsidi. Meski berisiko besar bagi ekonomi makro, hal ini demi menjaga kesehatan keuangan negara dalam jangka panjang dan kemajuan ekonomi di masa depan.
Oleh
Budiawan Sidik A
·7 menit baca
Mengurangi subsidi bahan bakar minyak senantiasa akan berimbas pada kondisi makroekonomi suatu negara. Harga BBM bersubsidi yang kian mahal secara langsung akan berimbas pada peningkatan harga-harga secara umum. Akumulasi inflasi sejumlah sektor ini berpotensi memperlambat kinerja pertumbuhan ekonomi.
Pemerintah Indonesia sepertinya akan segera menerapkan kebijakan fiskal tersebut karena mahalnya harga minyak bumi di pasaran global hingga lebih dari 100 dollar AS per barel. Pada tahun ini pemerintah sudah mengeluarkan anggaran setidaknya Rp 500 triliun hanya untuk subsidi energi. Hal ini dilakukan karena negara masih berupaya menjadi bumper agar harga energi tidak naik di pasaran domestik. Namun, apabila kebijakan ini terus dilakukan, maka beban keuangan negara akan kian berat. Oleh sebab itu, opsi mengurangi subsidi BBM menjadi alternatif kebijakan yang urgent untuk segera diterapkan.
Berkaca pada sejarah sebelumnya, hampir setiap kenaikan harga BBM bersubsidi di Indonesia akan berimbas pada sejumlah parameter pertumbuhan ekonomi. Setidaknya akan berpengaruh pada besaran inflasi dan juga pertumbuhan ekonomi. Dari kurun 2007-2021, setidaknya ada tiga titik kenaikan harga yang berdampak relatif berat bagi perekonomian. Kenaikan harga BBM jenis premium dan solar pada tahun 2008, 2013, dan 2014.
Kebijakan fiskal tersebut memberi tekanan berat secara nasional berupa kenaikan inflasi yang besar dan pertumbuhan ekonomi yang melambat. Tekanan ekonomi ini berefek cukup lama karena juga berimbas pada kondisi tahun berikutnya. Pada tahun 2008, ketika terjadi kenaikan harga BBM subsidi sekitar 62 persen dari Rp 4.500 menjadi Rp 6.500 per liter menyebabkan terjadinya inflasi hingga dua digit. Inflasi tahunan pada 2007 yang sebesar 6,59 persen tiba-tiba melonjak drastis hingga mencapai 11,06 persen sepanjang tahun 2008.
Inflasi yang tinggi itu sejatinya sudah berusaha diredam dengan menurunkan harga BBM beberapa kali pada tahun 2008. Pada November, harga diturunkan menjadi Rp 5.500 dan dikurangi lagi menjadi Rp 5.000 per liter pada akhir tahun. Inflasi tetap saja melambung tinggi dan pertumbuhan ekonomi tahun 2008 susut sedikit di besaran 6,01 persen. Untuk kembali mendorong peningkatan daya beli masyarakat akibat tekanan inflasi itu, pemerintah pada awal tahun 2009 kembali menurunkan harga BBM bersubsidi menjadi Rp 4.500 seliter. Meskipun langkah ini berhasil menurunkan inflasi hingga sebesar 2,78 persen, tetapi pertumbuhan ekonomi tahun 2009 justru melambat hingga di bawah 5 persen.
Relatif rendahnya pertumbuhan ekonomi nasional itu bukan semata-mata karena kinerja perekonomian domestik yang buruk, melainkan merupakan serangkaian efek yang ditimbulkan dari pengaruh krisis ekonomi global yang bermula dari krisis keuangan di Amerika Serikat. Akibatnya, terjadi kesetimbangan pasar yang mendorong kenaikan harga sejumlah komoditas. Salah satunya harga energi yang turut mengakselarasi krisis di sejumlah negara. Hal ini menunjukkan bahwa stabilitas harga energi itu sangat penting menjaga kondusifnya perekonomian baik secara nasional maupun global.
Perisitiwa kenaikan harga BBM berikutnya yang memberi tekanan ekonomi bagi Indonesia juga terjadi pada tahun 2013. Kala itu BBM subsidi naik sekitar 44 persen dari Rp 4.500 menjadi Rp 6.500 per liter. Kenaikan harga BBM subsidi ini berimbas pada lonjakan inflasi tahunan dari sebelumnya sebesar 4,30 persen menjadi 8,38 persen. Peningkatan harga-harga ini menyebabkan daya beli masyarakat menurun sehingga menyebabkan permintaan barang dan jasa juga surut. Alhasil, perekonomian nasional pada tahun 2013 menurun menjadi kisaran 5 persen dari tahun sebelumnya yang lebih dari 6 persen. Fenomena ini menunjukkan bahwa peningkatan harga energi selalu memberikan tekanan negatif bagi perkembangan ekonomi nasional.
Tekanan berat perekonomian tahun 2013 itu bertahan lebih panjang lagi hingga akhir tahun 2014. Sebab, harga BBM subsidi kembali dinaikkan jelang akhir 2014 menjadi Rp 8.500 untuk harga premium dan Rp 7.500 untuk harga solar subsidi.
Terlemah terdampak
Setiap terjadi peningkatan harga energi, pihak yang lemah secara ekonomi cenderung akan terdampak paling parah. Di tataran global, negara yang memiliki tingkat kesejahteraan lebih tinggi relatif lebih tahan dengan gejolak peningkatan harga energi. Sebaliknya, negara yang tingkat kesejahteraannya relatif rendah cenderung akan semakin berat menghadapi tekanan harga energi global.
Negara maju yang memiliki tingkat pendapatan tinggi cenderung mampu mengendalikan gejolak harga energi dunia tersebut dengan berbagai pendekatan, baik itu kebijakan fiskal maupun moneter, sehingga mampu menjaga sejumlah indikator ekonomi makro secara baik. Di antaranya mampu menjaga tingkatan inflasi secara sehat sehingga tetap menjaga dinamisasi pertumbuhan ekonomi seperti yang direncanakan.
Berbeda halnya dengan negara dengan tingkatan ekonomi lebih rendah. Pada umumnya akan mengalami gejolak yang akhirnya mengganggu sejumlah target indikator makroekonomi domestik. Negara-negara kelas upper middle income, middle income, lower middle income, dan lower income umumnya akan mengalami lonjakan inflasi yang relatif tinggi.
Data IEA dan Bank Dunia tahun 2000-2021, setidaknya menunjukkan ada dua peningkatan harga minyak bumi global, yakni tahun 2008 sekitar 34 persen dan tahun 2011 kisaran 40 persen. Peningkatan harga energi pada tahun 2008 itu berimbas besar pada laju inflasi yang meroket tajam hingga 8,95 persen atau tertinggi selama dua dekade ini. Lonjakan inflasi ekstrem itu menyebabkan inflasi di negara-negara berkembang jauh lebih tinggi lagi menjadi di atas 10 persen. Bahkan, inflasi di negara lower income mencapai 12,25 persen.
Pada tahun 2011, inflasi tertinggi juga terjadi di negara-negara kelas ekonomi terendah. Rata-rata lebih dari 5 persen. Berbeda jauh dengan inflasi negara-negara maju yang rata-rata kurang dari 4 persen baik pada kenaikan harga tahun 2008 dan tahun 2011.
Tingginya inflasi di negara kelas lower middle income dan lower income tersebut menyebabkan pertumbuhan ekonomi di negara-negara bersangkutan anjlok cukup signifikan. Pada tahun 2008, pertumbuhan ekonomi negara lower middle income turun dari sebelumnya di atas 6 persen menjadi di bawah 5 persen per tahun. Pada tahun 2011, kembali mengalami penurunan dengan besaran serupa. Untuk negara lower income, kondisinya lebih parah lagi karena turbulensinya bisa sangat besar. Pada tahun 2008, pertumbuhan ekonominya turun dari sebelumnya di atas 6 persen menjadi kisaran di bawah 6 persen. Pada kenaikan harga BBM tahun 2011, situasinya jomplang sangat jauh di mana berimbas pada pertumbuhan ekonomi yang anjlok hingga di bawah 1 persen.
Indonesia bersiap
Saat ini, Indonesia sebagai kelompok negara lower middle income patut bersiap menghadapi kemungkinan tekanan berat perekonomian tersebut. Sebab, berkaca pada peristiwa kenaikan harga minyak global tahun 2008 dan 2011 itu, dampak secara ekonomi di Indonesia bervariatif. Tahun 2008, langsung berimbas pada kenaikan inflasi dan penurunan ekonomi nasional hingga tahun 2009. Untuk kenaikan minyak dunia tahun 2011, pemerintah Indonesia mampu mengulur efeknya hingga akhirnya harga BBM subsidi baru dinaikkan tahun 2013. Hal itu berkaitan dengan kemampuan fiskal negara untuk menjaga stabilitas ekonomi makro.
Kenaikan harga BBM tahun 2013 itu hampir mirip serupa dengan kondisi saat ini ketika pemerintah berusaha menjaga stabilitas ekonomi dengan menjaga tingkat harga BBM bersubsidi sejak awal tahun. Namun, karena keterbatasan anggaran negara, maka dengan sangat terpaksa pemerintah sepertinya akan segera menaikkan harga BBM bersubsidi.
Indikasinya terlihat dari kesiapan pemerintah dalam menyediakan anggaran bantuan langsung tunai (BLT) bagi masyarakat terdampak kenaikan harga BBM. Bahkan, Rabu (31/8/2022), pembagian BLT itu sudah mulai dibagikan di Kantor Pos Sentani, Jayapura, Papua, sebagai awal mula penyaluran di seluruh Indonesia. Anggaran yang disiapkan mencapai Rp 24,17 triliun yang ditujukan kepada 20,6 juta penerima manfaat dan 16 juta pekerja dengan penghasilan kurang Rp 3,5 juta per bulan. Menurut rencana, BLT ini akan diberikan untuk setiap penerima sebanyak Rp 600.000 yang disalurkan sebanyak dua kali.
Langkah tersebut merupakan upaya pemerintah untuk tetap menjaga daya beli masyarakat di tengah kenaikan harga BBM. Selain itu, untuk menjaga pertumbuhan ekonomi relatif tetap terjaga seperti yang diskenariokan, yakni di kisaran 5 persen hingga akhir tahun. Kebijakan fiskal ini pun akan dilengkapi dengan serangkaian kebijakan moneter agar inflasi tetap terkendali tidak melonjak tinggi.
Apa pun yang dilakukan pemerintah tersebut patut diapresiasi karena rencana kenaikan harga BBM subsidi saat ini merupakan serangkaian kebijakan yang sejatinya sudah ditahan sejak awal tahun 2022. Namun, apa daya, konflik Rusia-Ukraina yang belum juga mereda akhirnya membuat anggaran negara bengkak akibat tingginya harga minyak bumi dunia. Subsidi sangat penting bagi masyarakat, tetapi menjaga kesehatan keuangan negara juga sangat dibutuhkan demi pembangunan ekonomi lebih baik di masa mendatang. (LITBANG KOMPAS)