Terbiasa Menikmati Murahnya Harga BBM Bersubsidi
Masyarakat Indonesia sangat terbiasa mengonsumsi BBM bersubsidi dari pemerintah. Dari seluruh konsumsi BBM, sekitar 90 persennya merupakan jenis bensin ataupun solar bersubsidi.
Masyarakat Indonesia terbiasa dengan harga bahan bakar minyak yang disubsidi pemerintah. Kebiasaan ini membuat masyarakat menilai bahwa harga BBM harus murah. Ironisnya, penikmat subsidi ternyata sebagian besar adalah golongan mampu.
Laporan dari Kementerian Keuangan menunjukkan, BBM bersubsidi di Indonesia rata-rata lebih dari 80 persennya dinikmati oleh golongan masyarakat ekonomi menengah ke atas. Setidaknya dari dua jenis BBM bersubsidi, yakni solar dan pertalite ternyata yang dinikmati oleh masyarakat tidak mampu relatif minim, yakni rata-rata kurang dari 20 persen.
Solar merupakan jenis BBM bersubsidi yang paling banyak dikonsumsi oleh golongan mampu. Per tahun hampir 1,70 juta kiloliter atau sekitar 95 persen dinikmati oleh kelompok mapan ini. Berbeda jauh dengan masyarakat ekonomi menengah bawah yang hanya menikmati sebesar 0,1 juta kiloliter setahun atau setara 5 persen dari kuota solar subsidi.
Hal serupa juga terjadi pada komoditas BBM jenis bensin dengan angka oktan RON 90 atau pertalite yang dikonsumsi golongan kaya hingga sebanyak 15,89 juta kiloliter/tahun. Angka ini terpaut jauh dengan konsumsi pertalite golongan tidak mampu yang hanya 3,90 juta kiloliter/tahun atau setara 20 persen dari kuota pertalite subsidi.
Baca juga: Energi Fosil Mendorong Ketidakpastian Ekonomi
Deskripsi tersebut menunjukkan mekanisme penyaluran BBM bersubsidi yang kurang tepat sasaran di lapangan. Subsidi yang sifatnya membantu meringankan masyarakat golongan ekonomi rendah justru sebagian besar diterima oleh pihak yang bukan berhak. Subsidi BBM justru berpotensi mendorong ketimpangan sosial antarmasyarakat semakin lebar.
Oleh sebab itu, rencana pemerintah terkait penyaluran subsidi BBM tersebut sebaiknya dipertimbangkan untuk dapat dimulai secara bertahap. Dalam laporan Nota Keuangan beserta RAPBN 2023, Kementerian Keuangan menyatakan bahwa transformasi penyaluran subsidi BBM tepat sasaran dengan membatasi penggunaan BBM bersubsidi oleh kendaraan pribadi mewah berkubikasi besar.
Seandainya rencana ini dilaksanakan, ada baiknya pemerintah mengkaji lagi terlebih dahulu terkait kriteria kendaraan yang berhak menerima subsidi BBM itu. Pasalnya, saat ini banyak sekali kendaraan berkubikasi mesin kecil, tetapi masuk dalam kategori kendaraan mewah berharga mahal. Dengan teknologi kian mutakhir, mobil berkubikasi mesin kecil tersebut tetap beroperasi secara efisien meski dengan asupan BBM beroktan relatif rendah.
Ketahanan energi
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN) sejatinya harga energi yang terjangkau itu merupakan kondisi yang memang ingin dicapai oleh pemerintah. Melalui regulasi itu pemerintah ingin menjamin ketersediaan energi dan akses masyarakat terhadap energi pada harga terjangkau dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan perlindungan terhadap lingkungan hidup.
Artinya, subsidi merupakan salah satu cara yang untuk menciptakan keterjangkauan harga tersebut. Hanya saja, subsidi yang sudah diberikan selama itu ternyata melenakan masyarakat. Konsumen cenderung tidak peduli dengan gejolak harga energi global yang berfluktuasi dan membebani keuangan negara. Masyarakat cenderung hanya menginginkan harga energi yang murah tanpa peduli seberapa berat pemerintah menyediakan alokasi subsidi itu.
Ironisnya, murahnya keterjangkauan harga energi saat ini justru menjadi indikator bernilai tinggi dalam menghitung ketahanan energi Indonesia. Untuk memantau kondisi ketahanan energi itu, pemerintah melakukan penilaian secara berkala untuk melihat tingkat kedinamisannya. Penilaian ini dilakukan berdasarkan empat aspek pendekatan yang dikenal dengan istilah ”4A”. Terdiri dari aspek affordability, accessibility, availability, dan acceptability.
Dari keempat aspek itu selanjutnya dilakukan penilaian dan pembobotan berdasarkan expert judgement dari sejumlah pakar atau ahli di bidangnya. Hasil penilaian dari sejumlah ahli terpilih menunjukkan tingkat ketahanan energi Indonesia berada pada kategori “tahan”. Pada tahun 2015-2018, rata-rata nilai ketahanan energi nasional berada pada kisaran angka 6. Meskipun masuk dalam kelompok ”tahan”, besaran nilai rata-rata tersebut masih pada standar yang relatif rendah karena mendekati batas minimal.
Dari semua kontributor penilaian ketahanan energi tersebut, aspek keterjangkauan (affordability) merupakan indikator yang paling berpengaruh terhadap penilaian itu. Selain memiliki bobot penilaian tertinggi hingga 46,7 persen, aspek keterjangkauan ini juga memiliki nilai skor tertinggi dalam penilaiannya.
Baca juga: Mengawal Subsidi di Tengah Kerentanan Ketahanan Energi
Pada tahun 2015-2018, rata-rata memiliki nilai skor di atas 6,5 yang memiliki makna ”tahan”. Skor ini mengalahkan ketiga aspek lainnya yang rata-rata memiliki nilai di bawah 6,50. Bahkan, untuk aspek ketersediaan (availability) memiliki skor pada kisaran poin 5 yang menandakan kondisi ”kurang tahan” karena tingginya ketergantungan pada energi impor.
Dari penilaian itu mengindikasikan bahwa tingginya kontribusi skor penilaian aspek keterjangkauan mendorong kondisi ketahanan energi di Indonesia secara umum masuk dalam kategori baik. Tingginya nilai aspek affordability ini salah satunya ditopang oleh indikator harga energi yang terjangkau oleh masyarakat.
Dalam menghitung keterjangkauan harga ini ada sejumlah parameter yang menjadi acuannya. Khusus untuk harga BBM dan LPG, kriteria penilaiannya menyertakan subsidi harga dari pemerintah maksimal 20 persen.
Kriteria tersebut bukan mustahil akan melonjak di atas parameter yang ditentukan, yakni subsidi melebihi 20 persen. Pada kasus lonjakan harga energi global saat ini terjadi alokasi subsidi yang jauh di atas kriteria penilaian ketahanan energi nasional. Misalnya saja, untuk harga pertalite RON 90 saat ini sebesar Rp 7.650 per liter, sedangkan harga keekonomiannya Rp 14.450. Artinya, pemerintah harus memberikan subsidi Rp 6.800 atau sekitar 53 persen untuk tiap liternya.
Demikian juga dengan solar dengan cetane number CN 48 yang harga per liternya ditetapkan Rp 5.150, sedangkan harga keekonomiannya sudah mencapai Rp 13.950 seliter. Pemerintah harus menyediakan alokasi subsidi hingga sebesar Rp 8.800 atau 63 persen untuk setiap pembelian satu liter solar.
Kebijakan alokasi subsidi tersebut tentu saja bernilai positif bagi sisi keterjangkauan harga. Namun, di sisi lainnya membebani keuangan negara. Apalagi, yang menikmati subsidi itu mayoritas golongan mampu yang jelas-jelas tidak perlu dibantu untuk memenuhi kebutuhan energinya.
Terbiasa disubsidi
Masyarakat Indonesia sudah sangat terbiasa mengonsumsi BBM bersubsidi dari pemerintah. Hal ini terlihat dari data Handbook of Energy and Economic Statistics of Indonesia (HEESI) 2021, Kementerian ESDM. Dari seluruh konsumsi BBM, sekitar 90 persennya merupakan jenis bensin ataupun solar bersubsidi.
Pada kurun 2017-2021, rata-rata per tahun sekitar 83 persen bensin yang dikonsumsi masyarakat Indonesia adalah jenis subsidi. Terdiri dari bensin RON 88 (premium) sekitar 27 persen dan bensin RON 90 (pertalite) sebanyak 56 persen. Jumlah konsumsi RON 88 terus menyusut seiring dengan produksi atau kuota bensin premium yang terus dikurangi.
Pada tahun 2021, konsumsi RON 88 tinggal sekitar 10 persen dari seluruh konsumsi BBM jenis bensin. Sebaliknya, untuk konsumsi RON 90 terus meningkat seiring kebijakan pemerintah dalam mendorong bahan bakar berefisiensi tinggi. Pada tahun 2021, konsumsi pertalite telah melonjak menjadi kisaran 71 persen dari seluruh konsumsi BBM jenis bensin.
Pada tahun 2022 ini, kemungkinan besar pertalite akan semakin mendominasi konsumsi bensin nasional seiring dengan ditetapkannya RON 90 sebagai Jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP) sejak Maret 2022 lalu.
Tingginya konsumsi bensin bersubsidi itu juga terjadi pada BBM jenis solar. Bahkan, persentasenya lebih besar lagi dibandingkan bensin. Pada tahun 2017-2021, konsumsi gasoil CN 48 atau solar angka setara 48 dan biogas oil atau biodiesel rata-rata mencapai 97 persen per tahun dari seluruh BBM jenis solar. Konsumen yang membeli solar dengan CN > 50 seperti Dexlite dan Pertamina Dex relatif sedikit, yakni kurang dari 3 persen setahun.
Baca juga: Menciptakan Subsidi Tepat Sasaran Berbasis Digital
Solar bersubsidi sebagian besar dikonsumsi dalam bentuk biodiesel yang menguasai lebih dari 90 persen dari seluruh permintaan BBM jenis solar saat ini. Artinya, kebijakan pemerintah yang tertuang dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 Tahun 2015 tentang kewajiban pemanfaatan biodiesel minimal sebagai produk campuran gasoil sebesar 30 persen pada tahun 2020 berimpas positif bagi pengurangan konsumsi solar CN 48.
Pada tahun 2017-2021, konsumsi solar CN 48 menyusut secara drastis menyesuaikan kebijakan pemerintah terkait mandatory biodiesel. Pada tahun 2017, konsumsi solar subsidi CN 48 mencapai 45 persen, tetapi pada tahun 2021 telah menjadi hanya sekitar 5 persen.
Kalkulasi konsumsi jenis-jenis BBM tersebut patut menjadi perhatian bersama. Mengingat tingginya konsumsi masyarakat Indonesia terhadap BBM bersubsidi. Pemerintah harus segera menerapkan kebijakan yang tepat terkait subsidi BBM ini, terutama di sektor transportasi.
Sebagai sektor yang mengonsumsi sekitar 90 persen BBM di Indonesia, sudah semestinya pemerintah menentukan kriteria yang tepat bagi kendaraan yang layak mendapatkan subsidi. Di antaranya, pemerintah dapat menentukan berdasarkan jenis kendaraannya (sepeda motor atau mobil); kubikasi mesinnya; harga atau nilai pajaknya; peruntukannya (pribadi atau umum); strata ekonomi pemiliknya; dan lain sebagainya.
Penentuan kriteria itu dirancang seadil mungkin dengan mempertimbangkan kepraktisan di lapangan agar tidak terjadi kesulitan saat pengisian BBM. Penggunaan teknologi sangat memungkinkan dalam mempermudah langkah kebijakan pengaturan subsidi tersebut. Apabila hal ini berhasil, niscaya subsidi dapat tersalurkan kepada pihak yang tepat sehingga mampu mendorong kemajuan ekonomi menjadi lebih baik. Subsidi yang tepat mencerminkan keadilan serta mempersempit jurang ketimpangan sosial antarmasyarakat. (LITBANG KOMPAS)