Menciptakan Subsidi Tepat Sasaran Berbasis Digital
Pemberian subsidi menjadi satu upaya menjaga stabilitas perekonomian. Namun, perlu pengaturan agar subsidi tersalur sesuai target yang diharapkan. Pendataan secara digital menjadi salah satu solusinya
Pendataan penerima manfaat menjadi langkah awal penyaluran BBM subsidi agar tepat sasaran. Upaya ini sejalan dengan pendekatan subsidi berdasarkan target sekaligus meringankan beban APBN. Meskipun demikian, pendataan tersebut diharapkan tidak menyulitkan masyarakat.
Mulai 1 Juli 2022, PT Pertamina membuka pendaftaran bagi kendaraan beroda empat yang berhak mendapatkan BBM bersubsidi. Pendaftaran ini khusus bagi konsumen BBM bersubsidi jenis solar dan bensin tertentu. Secara teknis, pendaftaran dilakukan dengan menggunakan aplikasi “MyPertamina” dan mengisi lembaran formulir di situs “subsiditepat.mypertamina.id”.
Hal tersebut bertujuan untuk memastikan distribusi BBM subsidi menjadi lebih tepat sasaran. Pendaftaran pada aplikasi itu sifatnya baru uji coba dan belum menjadi sebuah ketetapan yang diimplementasikan saat ini. Meskipun demikian, kebijakan uji coba pendaftaran dan pendataan itu sempat membuat gaduh masyarakat.
Ada beberapa hal yang membuat masyarakat bingung dan ragu-ragu dengan penerapan kebijakan tersebut. Banyak hal yang belum diketahui masyarakat terkait pemberlakuan aturan itu sehingga menimbulkan banyak protes dari masyarakat. Sejumlah informasi yang diterima juga terkesan simpang siur sehingga menimbulkan kesalahpahaman.
Sejatinya, keraguan dan penolakan tersebut pada dasarnya adalah hal yang lumrah. Pasalnya, selain menimbulkan kesulitan teknis, aturan itu juga belum memastikan siapa saja konsumen yang layak menerima subsidi BBM. Hal ini tentu saja mengusik ketenangan masyarakat terutama yang selama ini memang mengkonsumsi BBM bersubsidi. Bisa jadi, penolakan itu bersumber dari ketakutan sejumlah konsumen yang ragu dapat membeli BBM seperti yang biasa mereka lakukan sebelumnya.
Meskipun demikian, munculnya keraguan dan penolakan dari masyarakat tersebut harus disikapi bijak oleh pemerintah. Regulator harus menyampaikan informasi yang menyeluruh dan detil mengenai langkah kebijakan yang akan diberlakukan terkait pengendalian subsidi tersebut. Selain itu, pemerintah harus terbuka terhadap kesulitan yang dihadapi keuangan negara dan juga risiko-risiko yang mungkin terjadi secara makro ekonomi apabila subsidi tidak diatur sesegera mungkin.
Bagaimanapun juga, rencana pendataan pengguna BBM bersubsidi tersebut merupakan langkah penting dalam transformasi penyaluran subsidi energi. Dari sebelumnya berbasis komoditas beralih pada penyaluran berbasis penerima manfaat. Fase uji coba ini nantinya akan dievaluasi dan dibenahi sehingga harapannya tercipta perbaikan sistem yang dapat dimanfaatkan dalam jangka panjang. Subsidi tersalurkan secara tepat sasaran dan diterima oleh pihak yang benar-benar berhak.
Subsidi BBM
Dalam APBN, terdapat porsi belanja subsidi yang terdiri dari subsidi energi dan subsidi nonenergi. Subsidi energi dibagi lagi menjadi subsidi BBM dan LPG tabung 3 kilogram serta subsidi listrik. Berdasarkan APBN 2022, besaran subsidi energi mencapai Rp 134,03 triliun atau sebesar 14,2 persen dari total APBN. Dari jumlah tersebut, sekitar 57 persennya atau senilai Rp 77,55 triliun diperuntukkan untuk subsidi BBM dan LPG tabung 3 kilogram. Jumlah itu meningkat dibanding 2021 yaitu sebesar Rp 66,94 triliun.
Jumlah subsidi yang meningkat tersebut kian melonjak lagi setelah peristiwa invasi militer Rusia ke Ukraina sejak akhir Februari 2022 lalu. Harga minyak dunia melonjak rata-rata hingga di atas 100 dollar AS/barrel hingga saat ini. Akibatnya, beban anggaran negara untuk subsidi energi turut membengkak karena angkanya jauh dari asumsi makro ABPN 2022 yang mengalokasikan harga Indonesia Crude Price (ICP) sebesar 63 dollar AS/barrel. Disparitas harga ICP dan harga minyak dunia itu mendorong penyesuaian anggaran keuangan negara khususnya subsidi sektor energi agar sejumlah target pembangunan nasional tahun 2022 ini dapat tetap tercapai.
Pada Mei 2022, pemerintah melakukan penyesuaian subsidi dan kompensasi energi dari semula Rp 134 triliun menjadi Rp 208,9 triliun. Kompensasi energi meningkat dari Rp 18,5 triliun menjadi Rp 293,5 triliun. Jumlah tersebut ditujukan untuk kompensasi BBM Rp 52,5 triliun dan kompensasi listrik Rp 41 triliun.
Penambahan subsidi dan kompensasi itu merupakan langka pemerintah untuk mengendalikan situasi ekonomi makro. Harga energi relatif terkontrol sehingga tidak memicu lonjakan inflasi yang berdampak pada penurunan daya beli masyarakat. Hanya saja, pemerintah harus bersiap dengan risiko anggaran subsidi yang terus membengkak dan semakin membebani keuangan negara.
Apalagi, peperangan yang melibatkan Rusia sebagai salah satu produsen minyak dan gas (migas) terbesar di dunia belum menunjukkan tanda-tanda perdamaian. Akibatnya, harga minyak dunia masih dalam gejolak ketidakpastian yang berpotensi besar menggerus keuangan negara-negara yang menggantungkan konsumsi energi minyaknya dari impor.
Indonesia sebagai negara net importir berisiko besar terimbas gejolak harga energi global itu. Kebutuhan impor minyak bumi yang lebih banyak daripada lifting dalam negeri membuat Indonesia harus merogoh kocek anggaran dalam-dalam. Jumlah valas yang dibutuhkan untuk impor minyak bumi semakin banyak sehingga berpotensi besar menggerus cadangan devisa negara.
Di saat bersamaan, harga sejumlah komoditas impor nonmigas juga naik seiring dengan naiknya biaya transportasi karena harga minyak bumi semakin mahal. Akibatnya, ada kecenderungan jumlah valas yang keluar lebih banyak daripada valas yang masuk sehingga memicu depresiasi kurs rupiah. Ancaman inflasi semakin nyata sehingga perlu kebijakan fiskal untuk mengendalikannya. Subsidi energi ditambah alokasinya demi stabilitas perekonomian.
Kondisi demikian, pernah terjadi beberapa kali sebelumnya. Pada 2013 misalnya, subsidi BBM membengkak hingga Rp 50 triliun dibanding pagu sebesar Rp 199,85 triliun. Kondisinya saat itu, terjadi depresiasi rupiah dari asumsi nilai tukar rupiah sebesar Rp 9.600/dollar AS menjadi rata-rata Rp 10.452/dollar AS. Selain itu, harga pembelian BBM di pasar ternyata lebih tinggi daripada yang direncanakan pemerintah sehingga menambah beban subsidi (Kompas, 8 Januari 2014).
Selain gejolak global tersebut, faktor lain yang dapat mempengaruhi besaran subsidi BBM adalah kuantitas konsumsi. Contoh riilnya adalah bertambahnya permintaan seiring dengan pertumbuhan jumlah kendaraan. Berdasarkan data BPS, pada periode 2016-2020 jumlah kendaraan bermotor meningkat rata-rata 6,2 juta atau 5,3 persen setiap tahunnya. Secara spesifik, peningkatan terbesar ada pada kendaraan pribadi yakni mobil penumpang dan sepeda motor. Penambahan jumlah mobil penumpang setiap tahun sekitar 5 persen atau mencapai 698 ribu unit. Untuk sepeda motor bertambah sebesar 5,4 persen atau 5,3 juta unit per tahun.
Fenomena peningkatan jumlah kendaraan tersebut berpotensi besar menimbulkan celah kebocoran subsidi. Semua lapisan masyarakat dapat mengakses komoditas bersubsidi sekalipun berasal dari golongan ekonomi menengah ke atas. Apabila tidak dikendalikan maka nilai subsidi akan semakin besar melebihi alokasinya.
Pada tahun ini, diperkirakan konsumsi BBM subsidi melampaui kuota yang ditentukan. Jika tidak dikendalikan, konsumsi pertalite sebagai salah satu jenis BBM subsidi bisa mencapai 28 juta kiloliter. Padahal, kuota yang ditetapkan hanyalah 23 juta kiloliter.
Tepat sasaran
Berbagai upaya sebenarnya sudah dilakukan pemerintah untuk menjaga stabilitas harga BBM serta penyaluran BBM bersubsidi. Misalnya pada 2005, pemerintah mengurangi jenis BBM bersubsidi menjadi hanya tiga jenis yaitu premium, solar dan minyak tanah. Selain itu, ada pula kebijakan pembatasan dan pengendalian penggunaan volume konsumsi BBM bersubsidi seperti membatasi penggunaan jenis BBM tertentu pada beberapa sektor.
Upaya pengendalian tersebut sejatinya tidak berbeda dengan saat ini. Pengendalian itu memiliki tujuan yang sama, yakni mengurangi beban subsidi dan mengarahkan subsidi tepat sasaran. Hanya saja, jika subsidi terdahulu berbasis komoditas dan sektor, kini subsidi ditujukan bagi penerima manfaat secara langsung. Upaya ini merupakan wujud transformasi pendekatan penyaluran subsidi pemerintah yang baru. Harapannya, subsidi lebih tepat sasaran dan lebih dirasakan manfaatnya oleh yang membutuhkan.
Dalam penyaluran BBM bersubsidi, lebih banyak orang mampu yang menerima manfaat itu. Setidaknya 60 persen konsumen yang menggunakan BBM subsidi adalah kelompok masyarakat menengah atas. Pemanfaatannya mencapai 80 persen dari total konsumsi BBM subsidi.
Kondisi tersebut tidak jauh berubah dari kondisi beberapa tahun silam. Data Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas (BPH Migas) pada 2013 menunjukkan sekitar 53 persen dari subsidi BBM untuk transportasi darat dinikmati oleh pengguna kendaraan pribadi yang merupakan kalangan masyarakat menengah atas.
Oleh sebab itu, penerapan pendataan melalui “MyPertamina” dan situs daringnya diharapkan dapat mengurangi ketimpangan penerima manfaat subsidi sekaligus mengurangi beban keuangan negara. Sosialisasi perlu dimaksimalkan lantaran masih banyak masyarakat yang belum mengetahui informasi dan teknis pengisian seputar pendataan penerima BBM subsidi.
Dengan komunikasi dan publikasi yang baik harapannya kebijakan tata kelola subsidi ini dapat direspon masyarakat secara maksimal. Masyarakat teredukasi sehingga dengan sukarela turut serta memperlancar proses pengaturan subsidi menjadi lebih tepat sasaran. Masyarakat menjadi bagian penting yang dilibatkan dalam pengendalian subsidi negara. (LITBANG KOMPAS)