Analisis Litbang ”Kompas”: Tantangan Meningkatkan Kualitas Manusia Indonesia
Peningkatan kualitas manusia Indonesia pascapandemi mendesak dilakukan. Indonesia berkejaran dengan waktu dalam meraih bonus demografi yang puncaknya berada pada periode 2020-2030. Siapkah kita?
Oleh
Gianie
·5 menit baca
Publik memandang masih ada persoalan dalam upaya meningkatkan kualitas manusia Indonesia dilihat dari aspek kesejahteraan, pendidikan, dan kesehatan. Dalam satu dekade, Indeks Pembangunan Manusia atau IPM Indonesia hanya meningkat sebanyak 5 poin atau 7 persen. Di samping kenaikan yang tidak terlalu besar ini, kesenjangan juga masih terbentang antarwilayah.
IPM Indonesia tahun 2021 sudah berada di angka 72,29, masuk dalam kategori tinggi (rentang angka 70 hingga kurang dari 80). Sejak lima tahun sebelumnya (2016) Indonesia sudah mencapai IPM kategori tinggi. Saat itu IPM Indonesia di angka 70,18.
Namun, saat ini, dari 514 kabupaten dan kota yang ada di Indonesia, masih terdapat 22 kabupaten/kota dengan IPM tergolong rendah (angka di bawah 60), dan sebanyak 250 kabupaten/kota memiliki IPM kategori sedang (rentang angka 60 hingga kurang dari 70).
Publik memandang masih ada persoalan dalam upaya meningkatkan kualitas manusia Indonesia.
Sudah ada 205 kabupaten/kota dengan IPM kategori tinggi (rentang angka 70 hingga kurang dari 80). Bahkan, terdapat 37 kabupaten/kota yang memiliki IPM kategori sangat tinggi (angka 80 ke atas). Dengan sebaran seperti kurva normal ini terlihat kesenjangan kualitas yang cukup lebar.
Secara global, versi Program Pembangunan PBB atau United Nations Development Programme (UNDP), IPM Indonesia juga masuk dalam kategori tinggi. Laporan terakhir UNDP tahun 2019 menunjukkan IPM Indonesia berada di peringkat ke-107 (dari 189 negara) dengan angka 0,718. Akan tetapi, capaian Indonesia tersebut masih di bawah rata-rata dunia yang di angka 0,737.
IPM merupakan indikator yang mengukur keberhasilan upaya-upaya membangun kualitas hidup manusia. IPM menunjukkan bagaimana masyarakat dapat menikmati atau mengakses hasil pembangunan dilihat dari aspek pengeluaran, pendidikan, dan kesehatan.
Hasil jajak pendapat Litbang Kompas yang dilakukan pada awal Agustus 2022 lalu menunjukkan persepsi publik yang menyatakan kualitas manusia Indonesia masih biasa-biasa saja (46,8 persen). Hanya 26,6 persen yang menyatakan, kualitas manusia Indonesia sudah bagus. Sementara sebanyak 24 persen menyatakan masih buruk.
Ketika ditanya lebih lanjut, hal itu menurut responden disebabkan akses pendidikan yang masih belum merata bagi seluruh masyarakat Indonesia. Dari data IPM, rata-rata lama sekolah masyarakat Indonesia adalah 8,54 tahun.
Artinya, program wajib belajar sembilan tahun belum sepenuhnya tercapai. Angka anak yang tidak bersekolah di jenjang SMA masih di kisaran 20 persen, terbanyak berada di perdesaan.
Dari segi kesehatan, publik menilai saat ini biaya berobat atau kesehatan semakin mahal (63,4 persen). Hanya 11 persen responden yang menyatakan sebaliknya. Kemampuan mengakses fasilitas kesehatan ini akan menentukan angka harapan hidup manusia.
Umur harapan hidup manusia Indonesia yang lahir pada 2021 akan mencapai 71,57 tahun. Jika dirunut per kabupaten/kota, angka harapan hidup terentang antara usia 55-77,5 tahun.
Untuk kesejahteraan, responden menyatakan tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia masih tergolong menengah/sedang. Hal ini disampaikan oleh hampir dua pertiga responden (65,3 persen). Sebanyak 24,6 persen menyatakan tingkat kesejahteraan masyarakat masih rendah, sedangkan 8,8 persen menyatakan sudah tinggi.
Mengacu pada data IPM, pengeluaran per kapita dilihat dari paritas daya beli (purchasing power parity/PPP) adalah sebesar Rp 11,156 juta per orang per tahun. Artinya, pengeluaran per kapita kurang dari Rp 50.000 per hari.
Upaya meningkatkan kualitas manusia Indonesia masih menjadi pekerjaan rumah yang berkelanjutan. Tantangannya tidak ringan, apalagi dunia terdisrupsi tidak saja oleh perkembangan teknologi dan digital, tetapi juga oleh pandemi.
Pandemi telah menyebabkan krisis kesehatan dan ekonomi. Model pendidikan juga berubah dengan berkurangnya pembelajaran tatap muka. Tingkat kesejahteraan terdampak karena biaya kesehatan yang tak terduga dan biaya hidup yang meningkat karena kenaikan harga-harga barang. Dunia diliputi bayang-bayang stagflasi di mana perekonomian melambat namun dalam waktu bersamaan inflasi merangkak naik.
Tantangan meningkatkan kualitas manusia bukan sekadar menaikkan angka IPM, tetapi juga mengurangi kesenjangan yang terjadi antarwilayah. Terutama antara Jawa dan luar Jawa, atau antara barat dengan timur yang perbedaannya berjarak satu dekade. Diperlukan upaya percepatan agar terwujud kesetaraan kualitas manusia Indonesia.
Pemerintah sebenarnya telah berupaya dan mengalokasikan anggaran untuk menghasilkan manusia Indonesia unggul yang diharapkan, yakni yang produktif, inovatif, dan berdaya saing global. Dalam pidato mengenai pengantar RAPBN 2023 dan Nota Keuangannya, Presiden Joko Widodo juga kembali memberi perhatian pada upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia.
APBN disusun dengan salah satu fokusnya adalah pada peningkatan kualitas pendidikan dan sistem kesehatan, serta akselerasi reformasi sistem perlindungan sosial. Tiga bidang yang menunjang untuk perbaikan IPM.
Presiden Joko Widodo memberi perhatian pada upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia.
Upaya selanjutnya kemudian ditekankan pada lima hal, yaitu peningkatan akses pendidikan pada seluruh jenjang pendidikan; peningkatan kualitas sarana dan prasarana penunjang kegiatan pendidikan, terutama di daerah terluar, tertinggal, dan terdepan (3T). penguatan link and match dengan pasar kerja; pemerataan kualitas pendidikan; serta penguatan kualitas layanan pendidikan anak usia dini (PAUD).
Selain itu, pemerintah juga akan memperkuat investasi di bidang pendidikan, antara lain dengan memperluas program beasiswa, pemajuan kebudayaan, penguatan perguruan tinggi berkelas dunia, serta pengembangan riset dan inovasi.
Untuk itu, pemerintah menyiapkan anggaran pendidikan tahun 2023 sebesar Rp 608,3 triliun. Angka ini bertambah Rp 33,4 triliun dibandingkan tahun lalu. Namun, porsinya tetap 20 persen dari anggaran belanja negara.
Selain alokasi anggaran pendidikan, juga ada alokasi untuk anggaran kesehatan yang porsinya minimal 5 persen dari APBN. Untuk tahun 2023 anggarannya disiapkan Rp 169,8 triliun. Angka ini lebih rendah dibandingkan tahun 2022 yang mencapai Rp 212,8 triliun.
Hal ini terkait dengan kondisi pandemi yang sudah lebih terkendali. Proyeksi realisasi belanja penanganan pandemi menjadi berkurang, seperti pengadaan vaksin dan obat Covid-19 serta penggantian klaim perawatan pasien Covid-19.
Peningkatan kualitas manusia Indonesia pascapandemi mendesak dilakukan. Kita berkejaran dengan waktu dalam meraih bonus demografi yang puncaknya berada pada periode 2020-2030. Jika periode ini terlewati tanpa keuntungan optimal yang bisa diraih, perjuangan meningkatkan kualitas manusia Indonesia akan lebih berat. (LITBANG KOMPAS)