Analisis Litbang "Kompas": Pelaku Usaha Paling Menikmati Perbaikan
Dibandingkan dengan tahun sebelumnya, kondisi keterbukaan informasi publik saat ini relatif membaik. Adanya perbaikan keterbukaan paling signifikan dinyatakan oleh para pelaku usaha.
Oleh
Bestian Nainggolan
·5 menit baca
Baru saja Komisi Informasi Publik mengungkapkan potret kekinian kualitas keterbukaan informasi di negeri ini. Melalui indeks yang dibangunnya, Indeks Keterbukaan Informasi Publik (IKIP) 2022, skor keterbukaan informasi saat ini mencapai 74,43. Dalam kategori kualitas, skor sebesar itu menunjukkan keterbukaan informasi di negeri ini tergolong ”sedang”.
Dibandingkan dengan capaian tahun sebelumnya, jelas terjadi peningkatan. Walaupun masih sama berkategori ”sedang”, periode penilaian sebelumnya skor indeks yang dibangun dari penilaian 323 ahli keterbukaan informasi (expert judgment) di 34 provinsi dan nasional itu hanya sebesar 71,37. Peningkatan ini, menurut Ketua Komisi Informasi Pusat Donny Yoesgiantoro, melampaui Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 yang menargetkan skor IKIP sebesar 72.
Elaborasi terhadap variabel yang menjadi acuan penilaian, peningkatan skor keterbukaan informasi tergambarkan pada sebagian besar indikator. Dari 20 variabel pengukuran, yang terkelompokkan pada lingkungan fisik dan politik, lingkungan ekonomi, dan lingkungan hukum keterbukaan informasi, sebanyak 15 indikator menunjukkan peningkatan skor. Sisanya justru penurunan, yang terkonsentrasi pada lingkungan hukum keterbukaan informasi.
Menariknya, kontribusi terbesar peningkatan indeks terjadi pada lingkungan ekonomi yang mencakup sisi praksis keterbukaan informasi. Jika pada tahun sebelumnya, skor ekonomi keterbukaan informasi menjadi paling rendah di antara dimensi lainnya, kali ini justru yang paling tinggi. Dengan peningkatan skor rata-rata sebesar 5,95 dari tahun sebelumnya, saat ini skor lingkungan ekonomi keterbukaan informasi menjadi 74,84.
Merata
Jika ditelusuri lebih jauh, kontribusi peningkatan sisi ekonomi keterbukaan informasi terjadi pada setiap indikator penilaian. Baik dari sisi tata kelola informasi publik, transparansi, kemudahan layanan, maupun sisi kemanfaatan informasi bagi publik membaik. Kehadiran dan penguasaan kanal-kanal penyedia informasi, seperti media massa hingga media sosial, masih bebas.
Begitu pula, jika dicermati, peningkatan-peningkatan skor indikator ekonomi semacam itu hampir merata terjadi di setiap provinsi, khususnya pada provinsi yang membaik kualitas keterbukaan informasinya.
Sebagai gambaran, Provinsi Jawa Barat yang kali ini secara nasional menjadi wilayah paling tinggi capaian keterbukaan informasinya (skor indeks 81,93), pada setiap indikator ekonomi keterbukaan informasi provinsi ini juga mengalami peningkatan signifikan.
Di daerah ini, indikator-indikator menyangkut transparansi, seperti sejauh mana pemerintah daerah terbuka atas rencana-rencana kebijakan ekonomi dan pengelolaan anggaran publik serta sejauh mana badan publik menerapkan prinsip keterbukaan atas pengelolaan pengadaan barang dan jasa, meningkat di atas 10 poin.
Pada pemandangan lain, bagi provinsi yang kali ini justru mengalami penurunan indeks keterbukaan, persoalan pada dimensi ekonomi keterbukaan pun menjadi problem penurunan yang paling signifikan.
Provinsi Maluku Utara, misalnya, menjadi wilayah paling rendah capaian keterbukaan informasinya. Pada wilayah ini, problem lingkungan ekonomi keterbukaan masih banyak dipersoalkan. Pada indeks kali ini, selain persoalan transparansi, sisi tata kelola dan indikator layanan penyediaan informasi publik di Maluku Utara mengalami penurunan besar.
Peningkatan ataupun penurunan berbagai indikator ekonomi keterbukaan informasi yang tecermin pada sebagian besar wilayah semakin menguatkan posisi kunci berbagai variabel dalam lingkungan ekonomi sebagai determinan dalam keterbukaan informasi.
Kontribusi peran lingkungan ekonomi yang signifikan dalam indeks menjadi semakin relevan jika dikaitkan dengan besaran variasi penilaian yang terbangun pada setiap kelompok dalam indeks. Pada indeks kali ini, peningkatan skor terbesar dialami pada kalangan pelaku usaha ketimbang mereka yang berlatar belakang masyarakat sipil ataupun badan publik negara penyedia informasi. Amat berbeda dengan tahun sebelumnya, saat itu justru para pelaku usaha menjadi kelompok yang memberikan skor rata-rata paling rendah terhadap keterbukaan informasi di negeri ini.
Babak baru
Adanya peningkatan signifikan kondisi keterbukaan informasi yang dirasakan kalangan pelaku usaha menjadi babak baru yang terbilang positif bagi perluasan kebermanfaatan keterbukaan informasi. Pasalnya, keterbukaan informasi sejauh ini relatif lebih banyak ditempatkan sebagai salah satu prasyarat berjalannya demokratisasi politik. Tidak mengherankan pula jika dalam setiap pengukuran indeks keterbukaan informasi selalu dikorelasikan dengan capaian indeks demokrasi.
Pada kesempatan kali ini pun, relasi antara Indeks Keterbukaan Informasi Publik terbangun cukup erat dengan Indeks Demokrasi Indonesia. Semakin tinggi skor indeks keterbukaan informasi di suatu provinsi sejalan dengan semakin tinggi pula skor indeks demokrasi di wilayah tersebut.
Namun, yang menjadi lebih istimewa kali ini, sejalan dengan semakin membaiknya skor dimensi ekonomi dan peningkatan penilaian para pelaku usaha, ruang kebermanfaatan keterbukaan informasi sebagai penopang demokratisasi ekonomi yang berorientasi pada kesejahteraan masyarakat pun menjadi semakin mendapat tempat.
Bisa jadi, sebagaimana yang disampaikan Rospita Vici Paulyn, Komisioner Bidang Penelitian dan Dokumentasi Komisi Informasi Pusat, hasil indeks ini mampu menjadi pertimbangan dalam penentuan arah kebijakan perekonomian nasional yang berpengaruh positif terhadap investasi nasional ataupun investasi asing.
Bagaimanapun, dalam memacu gerak perekonomian, ketersediaan dan keterbukaan informasi yang berkeadilan mutlak diperlukan. Bagi para pelaku usaha, misalnya, semakin banyak informasi yang diperoleh, semakin potensial peluang keberhasilan usaha yang diciptakan. Itulah mengapa dalam forum diskusi terfokus yang dilakukan Komisi Informasi di berbagai daerah, harapan semakin terbukanya informasi yang disediakan oleh negara melalui badan publik penyedia informasi banyak diutarakan para pelaku usaha.
Hanya saja, dalam praktik, harapan belum sepenuhnya menjadi nyata. Terbukti, ruang antara penyedia informasi (pemroduksi) dan pengguna informasi tetap berjarak. Dalam indeks ini, misalnya, sekalipun diakui terjadi perbaikan kondisi sebagaimana yang dinyatakan oleh para pelaku usaha, masih belum sepenuhnya terbebaskan dari persoalan-persoalan klasik layanan informasi publik. Padahal, badan publik sebagai penyedia informasi menilai produk dan layanan yang mereka lakukan selama ini justru sudah berjalan baik. (LITBANG KOMPAS)