Membangun Kemandirian Transpuan Melalui Koperasi
Jarak penerimaan masyarakat terhadap keberadaan transpuan sedikit banyak dipengaruhi oleh citra yang dibentuk oleh transpuan itu sendiri. Transpuan harus membuktikan diri sebagai sosok mandiri dan berkontribusi.

Salah satu warga transpuan mendapat pelayanan dalam mengurus E KTP di Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Bogor, Jawa Barat (26/11/2021).
Pandemi Covid-19 memukul beban masyarakat Indonesia, tidak terkecuali komunitas transpuan. Bantuan pemerintah, donasi masyarakat, dan dukungan sesama transpuan menjadi bekal tetap berdaya melewati pandemi. Di masa depan, dukungan ini menjadi modal kemandirian transpuan.
Dampak pandemi akibat meluasnya wabah yang diikuti pembatasan sosial membuat transpuan turut mengalami penurunan pendapatan dan berkurangnya kualitas kehidupan. Transpuan adalah seseorang yang berdasarkan jenis kelaminnya adalah laki-laki, tetapi mengubah identitas jendernya menjadi perempuan.
Survei Sosial Demografi Dampak Covid-19 yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2020 menyebutkan, masyarakat miskin dan yang bekerja di sektor informal merupakan populasi yang paling terdampak dari mewabahnya Covid-19.
Sektor informal selama ini menjadi tumpuan pencarian sebagian besar transpuan. Riset tentang Diskriminasi di Tempat Kerja Berdasarkan Orientasi Seksual dan Identitas Jender yang dilakukan ILO pada 2016 menyebutkan, 90 persen transpuan di Indonesia lebih banyak bekerja di sektor informal. Ragam pekerjaan itu adalah pengamen, wirausaha di bidang fashion dan kecantikan, serta pekerja seks.

Vaksinasi Covid-19 kepada transpuan di Kota Serang, Banten (11/10/2021).
Tidak heran jika transpuan merupakan salah satu kelompok yang lebih banyak mengandalkan bantuan dari pemerintah, LSM, dan masyarakat untuk bertahan hidup di masa pandemi. Survei daring yang dilakukan Litbang Kompas kepada 76 transpuan pada 12-21 Juli 2022 menemukan sebagian besar transpuan (69 persen) pernah mendapatkan bantuan selama pandemi. Dukungan dan bantuan yang mereka terima lebih banyak berasal dari komunitas transpuan, LSM, dan pemerintah.
Di Jakarta, dukungan ini terlihat dari kegiatan pemeriksaan kesehatan komunitas transpuan di kawasan Jakarta Utara pada September 2021. Kegiatan ini diinisiasi oleh Yayasan Srikandi Sejati bekerja sama dengan Puskesmas Kecamatan Koja. Tujuan kegiatan ini untuk menjaga kondisi kesehatan komunitas transpuan di masa pandemi.
Solidaritas juga digelar oleh komunitas Waria Crisis Center (WCC) di Yogyakarta melalui donasi untuk transpuan yang sedang menjalani isolasi mandiri. Komunitas ini kemudian mengirimkan obat dan vitamin kepada transpuan yang sedang menjalani isolasi mandiri. Dukungan serupa juga diberikan oleh Yayasan Dana Kemanusiaan Kompas dengan membagikan 102 paket sembako dan masker kepada Ikatan Waria Yogyakarta (Iwayo) di Yogyakarta.
Di tengah pandemi, dukungan sosial ini menjadi oase dan memberikan dampak signifikan bagi kelompok marginal seperti transpuan. Dalam perspektif kebijakan sosial, bantuan atau donasi sosial yang diberikan ini memberikan dua dampak, yaitu primer dan sekunder.

Relawan Sanggar Seroja dan Queer Language Club menyalurkan bantuan sembako kepada para waria di Kampung Duri dan Kali Anyar, Jakarta Barat. Para waria kesulitan bertahan hidup selama pandemi Covid-19.
Dukungan
Efek primer merupakan dampak yang dirasakan secara langsung dari pemberian bantuan atau dukungan. Datangnya dukungan dan bantuan tersebut segera dapat digunakan oleh transpuan untuk tetap bertahan di masa pandemi. Bantuan ini tidak dapat dilepaskan dari tekanan pandemi yang membuat penurunan kualitas hidup transpuan, terutama akibat berkurangnya pendapatan atau hilangnya mata pencarian.
Survei yang dilakukan konsorsium Crisis Response Mechanism (CRM) pada 28 Desember 2020-9 Januari 2021 kepada 300 orang di enam provinsi menunjukkan tekanan itu terutama muncul dari aspek psikologis dan ekonomi. Konsorsium CRM beranggotakan lima organisasi, yaitu Arus Pelangi, Gaya Warna Lentera, Sanggar Swara, Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat, dan UNAIDS Indonesia.
Dari aspek psikologis, sebagian besar responden (76,5 persen) transpuan mengaku sering merasa cemas akibat kondisi pandemi. Kecemasan ini dipengaruhi oleh ketidakpastian atas kondisi sosial ekonomi sebagai dampak pandemi. Dua kecemasan yang diungkapkan adalah cemas tidak dapat bekerja dan cemas tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sebagai dampak pandemi.
Kedua bentuk ketakutan tersebut tidak dapat dilepaskan dari tekanan ekonomi yang dihadapi. Bagian terbesar responden (45 persen) menyatakan bahwa pendapatan mereka rata-rata di bawah Rp 1 juta per bulan. Bahkan ada 4,7 persen responden transpuan yang tidak memiliki pendapatan sama sekali di masa pandemi.
Untuk dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari, transpuan harus bersiasat seperti meminjam uang, menggadaikan/menjual barang, menumpang makan di tempat orang lain, hingga menawarkan jasa salon keliling ke para pelanggan. Sejumlah transpuan bahkan mencoba peruntungan dengan membuka usaha baru. Namun, di tengah surutnya daya beli masyarakat dan pembatasan aktivitas warga akibat pandemi, usaha baru itu juga bukan perkara yang mudah dilakukan.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F07%2F23%2Facbd2a93-3e22-4d6f-a5f3-9659cb021a80_jpg.jpg)
Transpuan mengamen di warung-warung lesehan di bawah di bawah Jembatan Layang Janti, DI Yogyakarta (20/7/2022) malam. Sebagian transpuan pengamen di Yogyakarta sudah berusia di atas 60 tahun.
Dampak kedua dari pemberian dukungan dan bantuan sosial kepada transpuan adalah efek sekunder atau dampak yang secara tidak langsung muncul sebagai kelanjutan dari dampak primer. Sedikit berbeda dengan dampak primer yang bisa langsung dirasakan (jangka pendek), efek sekunder ini lebih memiliki spektrum jangka panjang.
Dampak ini terlihat dari tumbuhnya kepercayaan diri transpuan dan keyakinan mereka untuk tetap optimistis menjalani kehidupan setelah pandemi mereda. Dalam jangka panjang, berbagai dukungan dan bantuan yang diberikan terutama oleh komunitas transpuan dan LSM menjadi bentuk solidaritas yang menumbuhkan rasa percaya diri untuk dapat bertahan dan tetap berdaya di masa pandemi. Dampak jangka panjang ini diperlukan untuk menjaga asa transpuan tetap menyala di kala mengarungi pandemi maupun menghadapi kehidupan setelah pandemi.
Jejak solidaritas ini bukan hanya terjadi di masa pandemi. Hasil riset konsorsium Crisis Response Mechanism juga menunjukkan selama ini pendampingan yang dilakukan oleh komunitas transpuan, LSM, dan solidaritas sesama transpuan ini selalu hadir saat transpuan mengalami berbagai macam kekerasan dan diskriminasi di masyarakat.
Transpuan yang mengalami kekerasan lebih banyak meminta bantuan kepada komunitas dan sesama transpuan. Tingkat kepercayaan yang tinggi kepada komunitas dan sesama ini terus berlanjut selama pandemi. Secara tidak langsung, dukungan berkelanjutan ini menguatkan rasa percaya diri transpuan dalam menyongsong kehidupan setelah pandemi.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F07%2F24%2F9575fb26-72b8-4467-a601-681160a8f273_jpg.jpg)
Seorang transpuan lansia mengamen di pasar di kawasan Otista, Jakarta (22/7/2022). Sebagian transpuan diasingkan oleh keluarganya dan harus mandiri menghidupi dirinya sendiri.
Koperasi
Di masa pandemi, solidaritas ini ditunjukkan dengan tingkat interaksi di antara transpuan. Keterbatasan aktivitas akibat kebijakan pembatasan sosial tidak membuat relasi terputus. Lebih dari separuh (52 persen) responden transpuan mengaku masih sering bertemu dengan sesama transpuan. Kondisi ini memberikan gambaran bahwa transpuan memiliki relasi dan jejaring komunitas yang kuat.
Kekuatan solidaritas ini tidak hanya menjadi imunitas kedua bagi transpuan, tetapi juga dapat menjadi dosis penguat (booster) bagi transpuan untuk menuju kemandirian ekonomi. Pandemi Covid-19 telah membuat beban penghidupan ekonomi transpuan semakin berat. Ditambah sikap masyarakat yang belum sepenuhnya mau menerima keberadaan transpuan membuat tuntutan kemandirian, terutama mandiri secara ekonomi, menjadi salah satu cara membuat komunitas transpuan lebih berdaya.
Salah satu cara membangun kemandirian komunitas transpuan adalah lewat koperasi. Berpijak dari definisinya, koperasi adalah usaha bersama untuk memenuhi aspirasi dan kebutuhan bersama di bidang ekonomi, sosial, dan budaya sesuai dengan prinsip-prinsip koperasi.
Upaya membangun kemandirian melalui koperasi ini juga membuka peluang hadirnya dukungan pemerintah untuk ikut memberdayakan koperasi agar tumbuh dan mampu meningkatkan kesejahteraan anggotanya. Bagian penjelasan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian bahkan menegaskan tanggung jawab pemerintah dalam memberdayakan koperasi.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F07%2F23%2F2f9f838b-d2e0-4de0-81ba-49dffcb52634_jpg.jpg)
Dora (64), transpuan asal Jawa Timur, sedang menjahit di rumahnya di kawasan padat penduduk di Jatinegara, Jakarta Timur (19/7/2022). Ia merantau ke Jakarta sejak 30 tahun lalu, kemudian bertahan hidup dengan mengamen, bekerja serabutan, hingga menjahit.
Jalinan kemandirian lewat koperasi transpuan ini sudah diinisiasi Organisasi Buruh Internasional (ILO) di sejumlah negara. Mengutip dari laman ILO, Kepala Unit Koperasi ILO Simel Esim menguraikan kelebihan daya kolektif koperasi yang bisa digunakan komunitas transpuan, mulai dari sumber daya, biaya, beban kerja, keterampilan, hingga manajemen usaha.
Tim ILO juga berbagi pengalaman tentang model koperasi transpuan di beberapa negara. Di Argentina, model koperasi yang dijalankan menangani fashion sebagai lini bisnis utamanya. Berbeda dengan Argentina, pengelolaan koperasi transpuan di India lebih fokus pada aspek kesejahteraan sosial anggotanya. Sementara di Filipina, model koperasi lebih berbentuk simpan pinjam. Untuk lebih memaksimalkan hasilnya, pengelola koperasi juga memberikan bantuan pengelolaan keuangan melalui pelatihan atau pendampingan usaha.
Pendampingan usaha ini juga menjadi perhatian ILO untuk membantu wirausaha transpuan tetap bertahan di masa pandemi. Bekerja sama dengan lembaga pendampingan usaha, ILO mengadakan pelatihan kepada tiga komunitas transpuan, yaitu Yayasan Srikandi Pasundan (Bandung), Yayasan Kebaya (Yogyakarta), dan Yayasan Srikandi Sejati di Jakarta.
Bertolak dari kondisi pandemi dan perkembangan teknologi digital, transpuan dilatih memasuki era pemasaran digital dan pemasaran daring dengan memanfaatkan kemudahan berbagai aplikasi bisnis. Mereka juga diajak untuk membuat strategi promosi dan target pelanggan.

Pola pendampingan usaha dan skema usaha melalui koperasi dapat terus dikembangkan bagi kemandirian transpuan. Keberadaan sebagian besar transpuan yang berusaha di sektor informal dan wirausaha harus lebih banyak didorong tumbuh mandiri. Terlebih transpuan memiliki tingkat optimisme yang cukup tinggi untuk bangkit dari tekanan pandemi.
Survei konsorsium Crisis Response Mechanism menunjukkan, separuh responden (50 persen) transpuan memiliki keyakinan dapat pulih sepenuhnya dari pandemi. Jumlah ini lebih banyak dibandingkan dengan transpuan yang mengungkapkan beratnya pulih dari pandemi (19 persen).
Baca juga: Transpuan Perlu Ruang Penerimaan
Kemandirian secara ekonomi ini sedikit banyak juga dapat menjadi pintu masuk penerimaan transpuan di masyarakat. Dengan mandiri secara ekonomi, transpuan tidak akan bekerja lagi sebagai pekerja seks atau pengamen jalanan yang banyak dipandang sebelah mata oleh masyarakat.
Tidak dimungkiri jarak penerimaan masyarakat terhadap keberadaan transpuan selama ini juga dipengaruhi oleh citra yang dibentuk oleh transpuan itu sendiri. Penerimaan masyarakat perlu dibuktikan dengan kontribusi nyata sebagai anggota masyarakat. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Perjuangan dan Harapan Hidup Transpuan