Analisis Litbang ”Kompas”: Urgensi Memperkuat Perlindungan Anak dari Ancaman Kekerasan
Perlindungan anak erat kaitannya dengan perbaikan kualitas SDM. Dibutuhkan perhatian serius, partisipasi, kerja keras, serta sinergi semua elemen bangsa agar pemenuhan hak anak semakin optimal.
Oleh
MB Dewi Pancawati
·5 menit baca
Tema peringatan Hari Anak Nasional, 23 Juli 2022, ”Anak Terlindungi, Indonesia Maju” menjadi pelecut bagi semua elemen bangsa agar turut berpartisipasi lebih optimal menghapus segala bentuk kekerasan pada anak. Karena melindungi anak hari ini sama artinya dengan menyelamatkan masa depan bangsa.
Masih lekat dalam ingatan kita kejahatan Herry Wirawan (36), seorang guru, yang akhir tahun lalu terbongkar telah melakukan pemerkosaan kepada belasan santriwati di sebuah pondok pesantren di Kota Bandung, Jawa barat. Atas perbuatannya, pelaku mendapat vonis hukuman mati oleh majelis hakim Pengadilan Tinggi Bandung.
Baru-baru ini media kembali ramai dengan berita penangkapan Moch Subchi Azal Tzani (42), anak pemimpin Pesantren Shiddiqiyyah, Ploso, Jombang, Jawa Timur, yang melakukan aksi pencabulan terhadap beberapa santriwati dan jadi tersangka sejak 2019. Kini pelaku sedang menjalani proses hukum.
Tak hanya kekerasan seksual, peristiwa tragis telah menimpa F (11) di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, yang mengalami perundungan (bullying). Perlakuan biadab empat terduga pelaku yang masih anak-anak berujung kematian korban karena depresi.
Terbongkarnya satu per satu kasus kekerasan pada anak menggambarkan fenomena gunung es. Hal ini menjadi alarm untuk semakin memperkuat perlindungan terhadap anak. Hukuman berat yang dijatuhkkan kepada pelaku ternyata tidak membuat jera predator-predator yang masih berkeliaran.
Miris! Anak-anak yang seharusnya menjalani tumbuh kembang dengan rasa bahagia menjadi terganggu kehidupannya, bahkan ada yang terpaksa putus harapan untuk meraih cita-cita.
Deretan kasus kekerasan yang terungkap hanya sebagian dari kasus yang terjadi karena korban berani buka suara dan melapor. Berdasarkan pengaduan atau laporan yang masuk ke Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA) melalui Simfoni PPA (Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak), selama tiga tahun terakhir tren kasus ataupun korban kekerasan pada anak tercatat meningkat. Bahkan di tengah-tengah kondisi pandemi Covid-19.
Pada tahun 2019, sebelum pandemi melanda, jumlah kasus tercatat sebanyak 11.600 kasus dengan 12.623 korban. Tahun 2020 terjadi sedikit penurunan, sekitar 1 persen. Namun, terjadi peningkatan yang cukup signifikan pada tahun 2021.
Baik kasus (14.244 kasus) maupun korban (15.280 korban) meningkat sekitar 23 persen daripada tahun sebelumnya. Pada separuh perjalanan tahun 2022 pun, sudah ada sekitar 7.000 kasus dan korban yang dilaporkan.
Dalam tiga tahun terakhir, jumlah korban kekerasan anak di Jawa Timur dan Jawa Tengah terpantau menempati posisi dua teratas. Provinsi lain yang tercatat memiliki jumlah anak korban kekerasan yang tinggi adalah Jawa Barat, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, dan DKI Jakarta.
Anak remaja (usia 13-17 tahun) paling banyak mengalami tindak kekerasan. Rata-rata per tahun mencapai lebih dari 50 persen dan terus meningkat. Diikuti anak-anak di rentang usia 6-12 tahun. Usia ketika anak-anak sedang menuntut ilmu di bangku sekolah.
Sejalan dengan hal tersebut, data tahun 2020 menunjukkan, 72 persen korban kekerasan adalah pelajar. Meski demikian, anak balita pun rentan menjadi korban. Hal ini terjadi karena pelaku berada di sekitar mereka, bahkan orang terdekat dalam lingkungan keluarga dan sosial.
Rumah dan sekolah yang seharusnya menjadi tempat aman bagi anak justru menjadi tempat kejadian kekerasan terhadap anak. Sejumlah kasus kekerasan yang terjadi di lembaga pendidikan beberapa tahun terakhir sempat menjadi sorotan.
Hal yang membuat miris, pelaku tidak hanya guru, tetapi juga teman sendiri. Kasus perundungan yang tidak hanya melukai secara fisik, tetapi berdampak secara psikis, juga kerap terjadi di lingkungan sekolah.
Data Simfoni PPA tahun 2020 menggambarkan, jumlah pelaku kekerasan tertinggi, sebanyak 26,97 persen, adalah pacar atau teman. Diikuti orangtua 19,21 persen, tetangga 15,13 persen, keluarga/saudara 8,94 persen, dan guru 2,66 persen. Mereka adalah orang-orang terdekat anak-anak.
Kekerasan seksual masih mendominasi bentuk kekerasan yang terjadi pada anak. Bahkan, tak sedikit korban yang mengalami lebih dari satu macam bentuk kekerasan. Survei nasional kekerasan terhadap anak yang dilakukan Kementerian PPPA tahun 2018 menemukan, 2 dari 3 anak perempuan dan laki-laki di Indonesia pernah mengalami kekerasan sepanjang hidupnya.
Fenomena yang terjadi menimbulkan pertanyaan, “Sudahkah anak Indonesia terlindungi?” Sebanyak 79,7 juta anak Indonesia usia 0-17 tahun (29,5 persen total penduduk) punya hak yang harus terpenuhi, antara lain hak hidup, hak tumbuh kembang, hak perlindungan, dan hak berpartisipasi sebagaimana diatur dalam Konvensi Hak Anak. Negara berkewajiban untuk memastikan semua anak terpenuhi hak-haknya dan mendapatkan perlindungan dari segala bentuk diskriminasi.
Semua negara sudah berkomitmen memberikan perlindungan kepada anak. Bahkan, pemenuhan hak anak dan perlindungan khusus bagi anak merupakan salah satu target dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) hingga tahun 2030. Di antaranya, seperti tercantum dalam Target 16.2, adalah menghentikan perlakuan kejam, eksploitasi, perdagangan, serta segala bentuk kekerasan dan penyiksaan terhadap anak.
Anak-anak yang seharusnya menjalani tumbuh kembang dengan rasa bahagia menjadi terganggu kehidupannya.
Dari sisi regulasi, sudah ada beberapa kerangka hukum nasional sebagai perlindungan anak dari kekerasan, di antaranya UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, juga UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.
Hal itu diperkuat dengan telah disahkannya RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) menjadi UU Nomor 12 Tahun 2022. Terobosan hukum dengan lahirnya UU TPKS diharapkan mendorong penanganan kasus kekerasan seksual lebih optimal, mulai dari pencegahan hingga perlindungan dan dukungan bagi pemulihan korban.
Yang terpenting adalah implementasi. Untuk memperkuat perlindungan anak, Kementerian PPPA bersama Badan Pusat Statistik (BPS) telah mengembangkan tiga indeks sejak 2019, yakni Indeks Perlindungan Anak (IPA), Indeks Pemenuhan Hak Anak (IPHA), dan Indeks Perlindungan Khusus Anak (IPKA).
Pada 2020, IPA nasional mencapai 66,89 dan IPHA 65,56, keduanya sudah melebihi target. Namun, capaian IPKA baru sebesar 73,11 atau lebih rendah dari target.
Sebagai indikator, hasil ini menunjukkan upaya perlindungan anak di Indonesia masih belum optimal. Dibutuhkan perhatian serius, partisipasi, kerja keras, serta sinergi semua elemen bangsa agar semakin optimal upaya memperjuangkan pemenuhan hak anak. Karena melindungi anak hari ini sama artinya dengan menyelamatkan masa depan bangsa. (LITBANG KOMPAS)