Nama Jalan dan Identitas Kota
Perubahan nama jalan di DKI Jakarta menyisakan polemik. Nama jalan yang berubah berimbas pada beban administrasi yang dialami warga. Apa tujuan nama jalan diubah?
Penggantian nama jalan di Ibu Kota yang dilakukan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan masih menyisakan polemik berkepanjangan. Pergantian nama jalan memang bukan saja perihal pengubahan identitas alamat, lebih dari itu nama jalan telah menjadi tanda sakral yang melekat dalam membentuk citra pada suatu wilayah perkotaan.
Ahli perkotaan Kevin Lynch, dalam bukunya berjudul The Image of The City (1960), mengungkapkan temuan kajian terkait berbagai persepsi yang dapat ditangkap oleh seseorang untuk mencitrakan rupa kota.
Secara garis besar, citra kota terbentuk melalui sensasi visual, struktur, hingga identitas. Sensasi visual (legibilitas) terkait warna, bentuk, suara, bau, dan lainnya yang ditangkap saat mengamati kota. Sementara struktur merupakan bagian dari pembentukan pola ruang kota dan identitas yang menyangkut identifikasi suatu obyek di ruang perkotaan yang lebih detail.
Citra kota terbentuk melalui sensasi visual, struktur, hingga identitas.
Lebih lanjut, Kevin Lynch mengungkapkan ada lima elemen pembentuk citra kota, yaitu jalan atau akses (path), edges (batas atau ujung), district (wilayah), titik simpang (node), dan penanda wilayah (landmark).
Teori yang diungkap Kevin tersebut membuktikan bahwa sebagai salah satu dari elemen penting pembentuk citra kota, jalan tentunya menjadi komponen utama yang akan sangat berpengaruh pada pembentukan persepsi publik terhadap sebuah kota.
Jalan menjadi elemen penting dalam suatu wilayah, terlebih kawasan perkotaan seperti Jakarta. Merujuk pada definisi yang dijabarkan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapnnya, yang diperuntukkan bagi lalu lintas.
Jalan juga menjadi penanda yang eksistensinya di suatu wilayah menjadi begitu penting karena melekat identitas budaya ataupun torehan sejarah. Bahkan, sering kali sebutan bagi suatu kawasan tertentu merujuk pada nama jalan yang paling populer. Di Jakarta, misalnya, kawasan strategis komersial dan bisnis biasa disebut dengan bilangan Sudirman atau Thamrin yang juga menjadi nama jalan utama di pusat Ibu Kota.
Fungsi vital jalan juga menjadikannya lekat dengan peradaban kehidupan warga yang melewatinya. Tak ayal, nama yang disematkan pada jalan sering kali memiliki makna ”sakral” sebagai penanda untuk mengingat sesuatu yang penting.
Di Jakarta ataupun seluruh wilayah Indonesia, banyak nama pahlawan yang dijadikan nama jalan sebagai bentuk penghargaan atas jasa perjuangan sehingga para generasi dapat terus mengingatnya. Begitu pula dengan nama peristiwa, nama flora ataupun fauna yang menyimpan penggambaran kondisi pada masa lampau di suatu wilayah.
Cerita di balik nama jalan bahkan juga merekam jauh peristiwa masa lalu sebelum kemerdekaan dan terbentuknya negara ini. Sebutlah seperti mitos populer yang berkembang terkait sejarah perang Bubat, yang membuat sebelum tahun 2017 di Jawa Barat tidak ada nama Jalan Majapahit ataupun Jalan Hayamwuruk. Begitu pula di wilayah Yogyakarta, tidak ada nama Jalan Padjadjaran dan Siliwangi.
Seiring berjalannya waktu, nama jalan juga banyak dijadikan simbol politik untuk menandakan kedekatan antarnegara. Misalnya Indonesia pernah menyematkan nama putra mahkota Abu Dhabi, Pangeran Mohamed Bin Zayed (MBZ), sebagai nama jalan layang bebas hambatan yang membentang di wilayah Cikampek.
Begitu pun fenomena yang tumbuh di banyak kota dunia. Abbey Road (Inggris), Wall Street (Amerika Serikat), Khao San Road (Thailand), hingga Orchard Road (Singapura) merupakan sebagian kecil jalan yang mahsyur hingga dunia internasional karena keunikan serta nilai sejarah dan budaya yang kuat melekat. Beberapa nama jalanan di kota-kota Indonesia pun tak kalah terkenal mulai dari Jalan Malioboro (Yogyakarta) ataupun Jalan Braga (Bandung).
Baca juga : Jemput Bola Penggantian Nama Jalan di Jakarta
Tujuan penggantian nama
Melihat keberadaan jalan yang menjadi bagian penting dari berjalannya peradaban perkotaan itu, penggantian 22 nama jalan yang membentang tersebar di wilayah administrasi DKI Jakarta dilakukan pada 20 Juni 2022 tentulah menjadi sejarah besar untuk ruang kota dan warga Jakarta. Momentum peresmian nama jalan baru oleh Gubernur Anies Baswedan bertepatan dengan perayaan HUT Ke-495 Jakarta.
Nama jalan yang diganti di antaranya Jl Entong Gendut (sebelumnya Jl Budaya), Jl Haji Darip (sebelumnya Jl Bekasi Timur Raya), Jl A Hamid Arief (sebelumnya Jl Tanah Tinggi 1 Gang 5), Jl H Imam Sapi’ie (sebelumnya Jl Senen Raya), serta Jl Abdullah Ali (sebelumnya Jl SMP 76).
Tak ketinggalan nama seniman terkenal Betawi yang juga diabadikan sebagai nama jalan mulai dari Jl Mpok Nori (sebelumnya Jl Raya Bambu Apus) hingga Jl H Bokir Bin Dji’un (sebelumnya Jl Raya Pondok Gede).
Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI menyatakan bahwa tujuan utama penyematan nama tokoh-tokoh asli Betawi dan asal Jakarta sebagai identitas jalan tersebut merupakan bentuk penghormatan atas jasa para pendahulu.
Nama tokoh-tokoh tersebut dinilai telah banyak berjasa dalam memberikan dampak pada banyak perjalanan aspek kehidupan mulai dari budaya, kesenian, hingga perjuangan bangsa. Beberapa di antaranya bahkan telah mendapatkan pengakuan sebagai pahlawan nasional.
Secara garis besar pemberian nama jalan sebagai penghormatan kepada tokoh Betawi itu tentu menjadi maksud baik dan selayaknya diapresiasi. Hal itu pun sesuai dengan prinsip penamaan jalan yang diamanatkan Keputusan Gubernur Nomor 28 Tahun 1999 tentang Pedoman Penetapan Nama Jalan, Taman, dan Bangunan Umum di DKI Jakarta.
Dalam batang isi regulasi Ibu Kota itu dirincikan hal-hal yang penting untuk diperhatikan dalam penetapan nama jalan. Sejumlah hal menyangkut penggunaan nama pahlawan tidak bertentangan dengan ketertiban, sampai kriteria mudah dikenali dan diingat tentu menjadi hal tak lagi perlu diperdebatkan.
Sejumlah aturan terkait yang dipersoalkan berkaitan dengan ketentuan tidak mengubah atau mengganti nama yang sudah tertanam di hati masyarakat dan mempunyai nilai sejarah suatu tempat.
Termasuk pula terkait ketentuan mekanisme perubahan nama jalan yang dilakukan mengharuskan adanya persetujuan oleh Badan Pertimbangan untuk nama jalan yang diusulkan. Ketentuan ini secara jelas disebutkan pada pasal 2 regulasi itu dan juga menjabarkan penjelasan tentang Badan Pertimbangan yang keanggotaannya harus terdiri dari eksekutif dan legislatif.
Ketidaksesuaian prosedur sesuai dengan pasal tersebut yang kemudian membuat polemik penggantian nama jalan berlarut alot untuk menemukan ujung penyelesaian. Pihak legislatif, dalam hal ini DPRD DKI Jakarta, merasa tak dilibatkan dalam penggantian nama jalan oleh gubernur. Tak ayal, proses itu dinilai menyalahi aturan sebagaimana yang diamanatkan oleh keputusan gubernur terkait.
Baca juga : Ada 22 Nama Jalan Berubah, 50.000 Orang Terdampak
Polemik
Tak hanya itu, pengubahan nama jalan yang dilakukan terus menyisakan setumpuk persoalan yang dikeluhkan warga. Pasca-perubahan nama jalan, muncul kekhawatiran dari warga menyangkut pengurusan administrasi perubahan yang harus dilakukan.
Perubahan nama jalan akan berbuntut panjang pada revisi di berbagai dokumen yang berkaitan dengan identitas, mulai dari kependudukan, kepemilikan kendaraan, perbankan, asuransi, dan lainnya. Tak hanya urusan yang menyulitkan, sejumlah pihak bahkan mengkhawatirkan adanya potensi pungli untuk pengurusan administrasi perubahan membutuhkan sejumlah biaya.
Berkaitan dengan hal tersebut, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pun cukup tanggap dengan memberikan jaminan bahwa pengurusan perubahan alamat dengan nama jalan baru bagi warga akan berlangsung mudah dan sepenuhnya gratis.
Gubenur Anies Baswedan juga telah berkoordinasi dengan sejumlah pihak terkait seperti kepolisian, Badan Pertanahan Nasional, sampai Kementerian Dalam Negeri yang membawahkan urusan kependudukan untuk melayani warga Jakarta yang mengajukan pengurusan perubahan keterangan alamat tinggal.
Secara garis besar pemberian nama jalan sebagai penghormatan kepada tokoh Betawi itu tentu menjadi maksud baik dan selayaknya diapresiasi.
Ketidaksetujuan terhadap adanya perubahan nama jalan oleh sebagian warga juga ditanggapi dengan sejumlah aksi penolakan. Di kawasan Condet, Kramatjati, Jakarta Timur, misalnya, warga setempat yang menolak perubahan nama Jalan Budaya menjadi Jalan Entong Gendut kembali mengganti plang nama jalan yang telah diganti setelah adanya ketetapan perubahan seperti sedia kala.
Aksi protes juga dilakukan warga di kawasaan Tanah Tinggi, Johar Baru, Jakarta Pusat, yang menolak adanya penggantian alamat. Nama jalan yang semula Jalan Tinggi I Gang 5 diubah mejadi Jalan A Hamid Arief.
Penolakan bahkan dilakukan warga dengan aksi protes pada acara penyerahan KTP baru yang dilakukan oleh Wali Kota Jakarta Pusat Dhany Sukma. Padahal, acara penyerahan kartu identitas baru tersebut sengaja dibuat oleh pemerintah daerah sebagai upaya jemput bola yang memudahkan masyarakat untuk mengurus perubahan administrasi.
Sementara di Cikini, Jakarta Pusat, penolakan juga datang dari warga yang bermukim di Jalan Cikini VII. Nama jalan tersebut yang kini berganti menjadi Jalan Tino Sidin dinilai warga akan menyulitkan karena harus mengurus perubahan di banyak dokumen identitas.
Imbas dari itu, enam rukun tetangga di kawasan yang dilalui jalan tersebut telah berkirim surat kepada kecamatan setempat sebagai bentuk penyampaian penolakan dari warga.
Munculnya penolakan masyarakat tersebut dinilai wajar oleh DPRD DKI Jakarta karena dianggap tak sesuai prosedur karena mengenyampingkan pelibatan para stakeholder. Pihak legislatif bahkan meminta warga untuk tak ragu untuk melakukan laporan dan audiensi pada wakil rakyat atas ketidaksepakatan perubahan nama jalan.
Perubahan nama jalan dinilai warga akan menyulitkan karena harus mengurus perubahan di banyak dokumen identitas.
Mencuatnya beragam protes terhadap keputusan pengubahan nama jalan ini kembali mengingatkan pula pada peristiwa serupa pada tahun 2018. Ketika itu Gubenur DKI Jakarta juga sempat mengutarakan rencana penggantian nama Jalan Warung Buncit menjadi Jalan Jenderal AH Nasution.
Rencana tersebut telah berjalan hingga tahap sosialisasi. Namun, penolakan keras datang dari banyak kalangan masyarakat, tokoh dan organisasi Betawi. Alhasil rencana penggantian nama itu pun patah di tengah jalan, sampai saat ini Jalan Warung Buncit tetap eksis.
Berangkat dari melebarnya persoalan sebagai dampak dari penggantian nama jalan itu, Pemprov DKI Jakarta semestinya aktif mengomunikasi usulan dan rencana penggantian nama jalan.
Proses penggantin nama jalan perlu dipastikan sesuai dengan aturan dan melibatkan seluruh stakeholder, termasuk para warga yang secara langsung akan terdampak. Terlebih ada rencana yang diungkapkan oleh Pemprov DKI Jakarta untuk kembali melakukan perubahan nama di waktu mendatang.
Penggantian nama jalan sah saja dilakukan, apalagi dengan tujuan penghormatan atas jasa para pendahulu. Namun, proses yang dilakukan sudah semestinya dilakukan berdasarkan ketetapan aturan.
Semua pemangku kepentingan tentu perlu dilibatkan karena sejatinya berubahnya penamaan jalan tak hanya menjadi penanda baru alamat, tetapi juga pencatatan sejarah atas identitas kota yang harus disepakati bersama. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Jejak Penamaan Jalan yang Berkelindan dengan Kekuasaan