Pemilu diharapkan menjadi ajang integrasi yang menyatukan sesama anak bangsa. Dinamika politik diharapkan tetap dalam semangat demokrasi yang memperkuat integrasi bangsa.
Oleh
YOHAN WAHYU
·6 menit baca
Kepastian digelarnya pemilihan umum semakin menguat setelah Komisi Pemilihan Umum secara resmi meluncurkan tahapan Pemilu 2024. Dinamika politik sepanjang 20 bulan ke depan diharapkan tetap dalam semangat demokrasi yang memperkuat integrasi bangsa, meskipun bayangan polarisasi politik tetap berada di depan mata.
Dengan diluncurkannya tahapan pemilihan umum atau pemilu, spekulasi penundaan pemilu menguap. Rasanya baru di proses Pemilu 2024 wacana penundaan pemilu, bahkan usulan perpanjangan periode masa jabatan presiden, muncul di ruang publik. Penolakan publik menguat hingga akhirnya wacana penundaan pemilu dan perpanjangan periode jabatan presiden layu sebelum berkembang.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Penolakan ini salah satunya diperkuat dengan hasil jajak pendapat Litbang Kompas, awal Maret 2022. Sebanyak 62,3 persen responden setuju pemilu tetap digelar pada 14 Februari 2024, sesuai penetapan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Pertimbangan terbesar yang dikemukakan responden ialah demi menjaga amanah konstitusi yang mengharuskan pemilu dilakukan setiap lima tahun sekali (Kompas, 14/3/2022).
Sikap publik yang cenderung ”melawan” upaya penundaan pemilu, apalagi perpanjangan masa jabatan presiden, sedikit banyak meredakan wacana tersebut. Ditambah kepastian peluncuran tahapan yang dilakukan oleh KPU, di atas kertas, pemilu tetap digelar sesuai jadwal dan menjamin siklus lima tahunan sebagai agenda sirkulasi kekuasaan.
Namun, hal itu bukan berarti tantangan bagi penyelenggaraan pemilu mereda. Selain ada beban teknis penyelenggaraan setiap tahapan yang disiapkan KPU, termasuk pada alokasi anggaran, bayangan polarisasi politik juga masih menjadi ancaman yang mewarnai wajah Pemilu 2024.
Hal ini tidak lepas dari masih rentannya pembelahan politik yang terjadi di tingkatan publik, terutama di dunia maya. Seperti halnya hasil jajak pendapat Litbang Kompas, secara umum publik masih merasakan tarik-menarik di antara dua kubu sebagai residu kontestasi pemilihan presiden sebelumnya. Hal ini dikhawatirkan kembali terjadi di Pemilu 2024.
Setidaknya hal itu tecermin dari masih ragunya publik menilai hubungan kedua kubu. Meskipun 45 persen responden optimistis keduanya akan membaik, sebagian besar responden lain menyatakan hal yang sebaliknya. Pada kelompok responden terakhir ini, mereka sangat pesimistis relasi kedua kubu yang selama ini berseberangan pilihan politik dalam pemilihan presiden akan membaik pada Pemilu 2024.
Apalagi mengacu pada hasil survei tatap muka Litbang Kompas Juni ini, terkait jumlah pasangan calon presiden, separuh responden masih menginginkan hanya ada dua pasangan calon presiden. Sikap itu dibayangi oleh sebagian besar responden lain yang berharap ada lebih dari dua pasangan calon presiden.
Bagaimanapun, jumlah pasangan calon presiden dan wakil presiden penting untuk menghindari polarisasi politik yang semakin menguat. Ingatan akan pemilihan presiden pada 2014 dan 2019 dengan kontestan calon presiden yang sama kian memperkuat terjadinya pembelahan politik.
Dari sisi teknis dan biaya penyelenggaraan pemilu, dua pasangan calon relatif lebih murah karena pemilihan pasti berlangsung satu putaran. Hal berbeda terjadi jika kontestan lebih dari dua pasangan calon, yakni pemilihan putaran kedua lebih berpeluang untuk terjadi. Jika ada putaran kedua, biaya yang dikeluarkan tentu bertambah.
Bayangan polarisasi politik dan kompleksitas penyelenggaraan pemilu serentak nasional membutuhkan penopang untuk menjamin kesuksesan Pemilu 2024. Salah satunya ialah modal sosial yang selama ini bersumber dari kepercayaan serta dukungan publik pada proses penyelenggaraan pemilu.
Politik dan keamanan
Hasil survei Litbang Kompas Juni 2022 juga merekam penilaian publik pada kondisi politik dan keamanan sekarang. Hampir 60 persen responden menilai kondisinya membaik pada bulan-bulan awal tahapan pemilu dimulai. Menariknya, jika dilihat dari latar belakang generasi, responden pemilih muda atau milenial cenderung lebih kritis dalam menilai kondisi politik dan keamanan saat ini.
Untuk kelompok responden dari generasi Z, sebanyak 36,5 persen dari mereka menilai kondisi politik sekarang buruk. Untuk kelompok generasi Y, baik muda maupun madya, rata-rata di atas 30 persen menyatakan hal yang sama. Penilaian berbeda ditunjukkan responden generasi X dan baby boomers, yakni hanya kurang dari sepertiga responden yang menilai buruk terhadap kondisi politik sekarang.
Hal ini juga terjadi pada penilaian kondisi kebebasan politik atau demokrasi secara umum di Indonesia. Meskipun sebagian besar responden menyatakan kondisinya membaik, pemilih generasi muda tetap saja lebih kritis dalam menilai kondisi demokrasi.
Penilaian kritis lebih banyak ditunjukkan kelompok pemilih generasi Z dan Y muda. Rata-rata dari kedua kelompok responden, sebanyak 29 persen lebih menilai kondisi demokrasi di Indonesia memburuk. Meskipun secara umum kondisinya lebih baik, penilaian dari generasi yang mewakili pemilih muda dan mula ini tetap perlu diperhatikan.
Hal itu tak lepas dari fakta komposisi pemilih muda pada Pemilu 2024 diprediksi 60 persen dari total pemilih. Artinya, orientasi pemilih muda akan mewarnai corak dan wajah Pemilu 2024.
Demokrasi
Penilaian pada jaminan kebebasan yang direspons positif oleh sebagian besar responden, sementara di satu sisi kelompok pemilih muda lebih kritis, menjadi gambaran yang sesuai dengan tren indeks demokrasi Indonesia. Mengacu pada indeks demokrasi yang dikeluarkan The Economist Intelligence Unit (EIU), posisi Indonesia pada tahun 2021 membaik. Angka indeksnya meningkat.
Pada tahun 2021 angka indeks demokrasi Indonesia berada di 6,71, sedikit meningkat daripada tahun sebelumnya yang berada di 6,30. Kenaikan indeks demokrasi membuat peringkat Indonesia meningkat, dari sebelumnya di peringkat ke-64 selama dua tahun berturut-turut (2019 dan 2020) menjadi ke-52 pada tahun 2021.
EIU menyebutkan, ada sejumlah kondisi yang melatarbelakangi kenaikan indeks demokrasi Indonesia. Kondisi itu antara lain putusan Mahkamah Konstitusi pada November 2021 yang menyatakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat. Mahkamah Konstitusi kemudian meminta pemerintah dan DPR merevisinya. Politik akomodatif Presiden Joko Widodo dengan sejumlah kelompok politik dalam kabinet juga dinilai kondusif untuk membangun konsensus antar-kekuatan politik.
Namun, kenaikan indeks tak serta-merta melepaskan status Indonesia yang masih dalam kategori ”demokrasi cacat” (flawed democracy). Stagnasi skor dalam indikator penyelenggaraan pemilu dan pluralisme bisa jadi turut memberikan insentif pada status kategori I demokrasi cacat tersebut. Apalagi di akhir 2021 sampai semester pertama 2022 ini wacana yang muncul justru kontraproduktif dengan aspek pemilu, seperti munculnya wacana perpanjangan masa jabatan presiden dan penundaan pemilu.
Kini, di tengah tahapan pemilu yang sudah berjalan, rasanya publik layak berharap Pemilu 2024 yang diproyeksikan menelan anggaran Rp 76,66 triliun mampu menghasilkan pemimpin-pemimpin terpilih yang lebih baik dan amanah pada aspirasi rakyat.
Jika pemimpin amanah ini tercapai, harapan menjadikan pemilu sebagai ajang integrasi yang menyatukan sesama anak bangsa, yang sebelumnya terbelah dan terpolarisasi, akan lebih mudah tercapai. Kita semua tak berharap pemilu sekadar menghasilkan pemimpin yang manis saat pemilu, tetapi pahit saat terpilih. Apabila hal ini yang terjadi, pemilu pasti menjadi cerita memilukan bagi rakyat. (LITBANG KOMPAS)