Polarisasi di tengah masyarakat sebagai residu Pemilihan Presiden 2019 masih berlangsung. Publik khawatir kondisi itu berlanjut ke Pemilu 2024. Berbagai upaya harus dilakukan untuk merekatkan kembali anak bangsa.
Oleh
Gianie
·5 menit baca
Media sosial kita selalu riuh dengan perang opini atau sekadar komentar bernada negatif antara dua kubu yang dulu berseberangan dalam pilihan presiden. Label ”cebong” dan ”kampret” atau ”kadrun” pun begitu lekat pada kedua kubu. Tidak hanya di media sosial, wujud kebencian terhadap orang dari kelompok yang berseberangan bahkan dilampiaskan dalam bentuk kekerasan fisik.
Kita seperti kehilangan keakraban tatkala dihadapkan pada perbedaan pilihan politik. Nilai-nilai kebersamaan yang selama ini disemai berlandaskan sila-sila Pancasila seperti tak terlihat. Keterbelahan membuat kohesivitas sosial masyarakat merapuh. Meski Pilpres 2019 telah berlalu, hubungan antara kubu yang berlawanan belum menunjukkan tanda-tanda perbaikan.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Secara umum, publik menilai saat ini hubungan antara dua kubu yang berseberangan politik sejak Pilpres 2019 belum membaik. Sebanyak 45 persen responden jajak pendapat Kompas pada akhir Mei 2022 menyebutkan hubungan antara kedua kubu sebenarnya sudah semakin baik. Namun, porsi yang juga cukup besar, yakni 40,3 persen, menyatakan sebaliknya, alias semakin buruk.
Jika dilihat berdasarkan pilihan capres pada Pilpres 2019, responden yang memilih pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin menyampaikan jawaban yang lebih optimistis bahwa hubungan antara kedua kelompok semakin baik. Sebanyak 47,9 persen responden pemilih Joko Widodo-Ma’ruf Amin menyatakan demikian. Hanya 38,5 persen responden pemilih pasangan ini yang menyatakan hubungan yang menimbulkan keterbelahan semakin buruk.
Sementara itu, kelompok responden yang memilih pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno lebih dominan menyatakan hubungan kedua kubu semakin buruk, yakni 56,6 persen. Yang menyatakan hubungan sudah semakin baik hanya 31,4 persen.
R esponden menilai keterbelahan akibat perbedaan pilihan politik ini akan merusak iklim demokrasi di negeri ini. Hal ini dikemukakan oleh 79,1 persen responden.
Adapun di kelompok responden yang tidak memilih salah satu pasangan atau merahasiakannya lebih banyak yang menyuarakan optimisme. Sebanyak 45,2 persen menyebut hubungan kedua kubu sudah semakin baik.
Melihat pembelahan yang terus terjadi hingga sekarang, mayoritas responden dari kedua kubu berbeda pilihan capres ini sepakat bahwa kondisi ini sangat mengkhawatirkan jika berlanjut sampai Pemilu 2024 yang akan digelar kurang dari dua tahun lagi. Sementara tahapan penyelenggaraannya akan dimulai 14 Juni 2022.
Merusak demokrasi
Lebih jauh, responden menilai keterbelahan akibat perbedaan pilihan politik ini akan merusak iklim demokrasi di negeri ini. Hal ini dikemukakan oleh 79,1 persen responden. Penilaian ini bukan tanpa alasan.
Jika merujuk pada pemikiran sosiolog Emile Durkheim yang mengemukakan konsep kohesi sosial, keakraban atau rekatnya hubungan atau kohesi di antara anggota masyarakat ditandai oleh tidak adanya konflik sosial laten di tengah masyarakat, baik itu diakibatkan oleh ketimpangan kesejahteraan, konflik ras/etnis, maupun agama atau lainnya.
Selain itu, kohesi sosial ditandai pula dengan adanya kekuatan masyarakat sipil (civic society), demokrasi yang baik dan responsif, serta penegakan hukum yang adil dan tidak memihak. Kohesi sosial ini dilandasi oleh rasa saling percaya.
Responden jajak pendapat Kompas berpendapat, hal utama yang membuat polarisasi atau keterbelahan semakin meruncing atau memanas adalah adanya orang-orang yang bekerja secara sadar memperkeruh situasi. Hal ini disampaikan oleh 36,3 persen responden. Orang-orang ini ialah pendengung ( buzzer) atau bisa juga influencer.
Hal-hal itulah yang membangun kohesi sosial masyarakat, istilah sederhananya adalah ikatan yang kuat yang menjaga masyarakat tetap bersatu. Jika unsur-unsur ini tak terpenuhi, seperti masyarakat sipil yang saling membenci atau bertikai, tidak heran apabila demokrasi akan memburuk. Hal itu karena kecenderungan untuk membela atau mengutamakan kelompoknya sendiri akan semakin mengikis keakraban dan memicu perselisihan.
Responden jajak pendapat Kompas berpendapat, hal utama yang membuat polarisasi atau keterbelahan semakin meruncing atau memanas adalah adanya orang-orang yang bekerja secara sadar memperkeruh situasi. Hal ini disampaikan oleh 36,3 persen responden. Orang-orang ini ialah pendengung (buzzer) atau bisa juga influencer.
Mereka ini ada di kedua kubu dan aktif memproduksi konten-konten di media sosial yang memancing respons negatif. Saling klaim prestasi tokoh yang mereka bela sama mudahnya dengan menafikan atau tidak menghargai kerja tokoh dari kubu lawan.
Teknologi media sosial memberi mereka ruang untuk bebas melakukan provokasi atau agitasi. Informasi yang berasal dari sumber yang tak kredibel, bahkan yang termasuk hoaks, dengan mudah memancing serangan-serangan antarkubu. Hal ini juga menjadi faktor yang memicu keterbelahan semakin tajam (21,6 persen).
Ditambah lagi dengan kurangnya peran tokoh-tokoh utama di kedua kubu dalam meredakan perselisihan atau perbedaan, yang juga dianggap publik menjadi faktor yang membuat keterbelahan semakin berlarut (13,4 persen).
Faktor lainnya yang disebut responden antara lain minimnya semangat persatuan, mementingkan kepentingan kelompok sendiri, atau tidak menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.
Untuk mencegah perpecahan terus berlanjut sekaligus agar keterbelahan dapat dikurangi, harus dilakukan langkah-langkah tegas dan nyata serta secara bersama-sama. Menurut responden, kedua kubu harus saling menahan diri untuk tidak berkomentar di media sosial yang dapat menimbulkan kebencian atau kemarahan. Hal ini disampaikan oleh 90,2 persen responden.
Selain itu, influencer atau buzzer provokatif yang memperkeruh situasi harus ditindak tegas (87,8 persen). Tentu pemerintah memiliki instrumen untuk memilah mana yang provokatif dan mana yang tidak sehingga bisa memberi iklim yang kondusif bagi demokrasi.
Lalu, upaya yang tergolong mudah dilakukan adalah mulai dengan mengakhiri atau menghentikan penggunaan istilah atau label ”cebong” dan ”kampret/kadrun” (84,6 persen) dalam percakapan baik di dunia nyata maupun dunia maya. Saling percaya dan saling menghormati antarsesama akan tumbuh bila siapa pun tidak menghakimi orang lain dengan kedua label tersebut.
Satu hal yang juga bisa diupayakan untuk mengakhiri keterbelahan adalah tidak membatasi jumlah calon presiden dan wakil presiden dalam kontestasi pemilu mendatang hanya representasi dari dua kubu yang berhadap-hadapan.
Responden bersepakat perlu dilakukan rekonsiliasi antara kedua kubu untuk membangun kembali kohesivitas di antara anak bangsa. Keterbelahan jangan berlanjut di masa depan dan tidak perlu diwariskan ke generasi mendatang.