Mahkamah Agung Amerika Serikat memutuskan bahwa aborsi merupakan tindakan ilegal di negara tersebut. Putusan kontroversial ini memicu ketegangan di tengah masyarakat.
Oleh
Rangga Eka Sakti
·5 menit baca
Isu legalitas aborsi sedari dulu telah menjadi salah satu titik persimpangan jalan di tengah masyarakat Amerika Serikat. Kini, bara dalam sekam itu membara setelah putusan Mahkamah Agung negara itu menyatakan aborsi merupakan tindakan ilegal. Terlepas dari perdebatan moral, putusan kontroversial ini menjadi tonggak pergeseran politik di AS yang patut untuk diperhatikan.
Pada Jumat (24/6/2022), MA AS memutuskan bahwa tindakan aborsi bukan merupakan hak yang bisa dilindungi oleh konstitusi negara tersebut. Bahkan, para hakim juga berpendapat bahwa aborsi semestinya ilegal di AS apapun alasannya, termasuk alasan kesehatan ataupun bagi korban kekerasan seksual.
Putusan ini merupakan perubahan dari putusan sebelumnya yang menyatakan bahwa aborsi, dengan alasan apa pun, merupakan hak privat perempuan di AS yang dijamin oleh konstitusi negara.
Keputusan MA ini segera ditanggapi oleh pemerintah negara-negara bagian. Sejumlah sumber menyebutkan, kemungkinan sebanyak 26 dari 50 negara bagian di AS mengumumkan bahwa aborsi ilegal di daerah pemerintahan mereka.
Beberapa di antaranya sebagian besar negara bagian selatan, seperti Texas, Florida, Louisiana, bahkan hingga ke kawasan Midwest seperti Michigan.
Kebijakan yang diambil dalam tempo singkat ini mengejutkan seantero negeri. Masyarakat yang tidak terima dengan putusan tersebut pun berbondong-bondong melakukan demonstrasi, membanjiri jalanan dan gedung-gedung pemerintahan, nyaris di tiap negara bagian AS.
Reaksi dari publik yang terguncang ini tidaklah berlebihan. Berdasarkan survei dari Gallup, tingkat persetujuan publik atas legalitas aborsi di AS rata-rata berada di atas 50 persen. Selama 1995 sampai 2022, tingkat persetujuan terhadap legalitas aborsi ini hanya sekali berada di bawah 50 persen, yakni pada 2009.
Aturan aborsi di Indonesia menjadi sedikit lebih baik dan progresif dibandingkan dengan keputusan MA di AS.
Bahkan, keputusan kontroversial ini diambil ketika tingkat persetujuan berada di titik tertinggi di angka 61 persen. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar dari masyarakat negara tersebut setuju bahwa aborsi, terutama karena alasan medis atau kedaruratan lainnya, merupakan hak perempuan yang harus dilindungi.
Hal ini menjadikan aturan aborsi di Indonesia menjadi sedikit lebih baik dan progresif dibandingkan dengan keputusan MA di AS saat ini. Saat ini, aborsi diatur dalam Pasal 75 UU No 36/2009 tentang Kesehatan. Dalam pasal tersebut, aborsi dilarang di Indonesia kecuali untuk kondisi darurat medis yang mengancam nyawa ibu dan janin serta bagi korban pemerkosaan.
Sebelumnya, dasar hukum dari legalitas aborsi di AS bersumber dari putusan MA terhadap kasus ”Roe v. Wade” pada 1973. Saat itu, Norma McCorvey yang menggunakan pseudonim ”Jane Roe” mengajukan tuntutan terhadap Jaksa Wilayah Henry Wade di Kabupaten Dallas. Dalam tuntutannya, Roe menyatakan bahwa pelarangan aborsi oleh negara merupakan tindakan inkonstitusional.
Saat itu, putusan hakim secara umum mengabulkan tuntutan Roe dan menyatakan bahwa pelarangan aborsi tidak sejalan dengan konstitusi AS. Meskipun begitu, MA tidak sepakat dengan gagasan Roe bahwa aborsi diperbolehkan begitu saja. Maka, MA pun mengambil jalan tengah.
Solusi yang dipilih oleh MA ialah bahwa legalisasi aborsi perlu juga diimbangi oleh regulasi. Tujuan legalisasi aborsi bukanlah untuk menanggalkan hak konstitusional perempuan, tetapi justru untuk menjamin bahwa aborsi dilakukan secara aman sesuai dengan ketentuan medis serta penghargaan terhadap nyawa manusia.
Langkah MA ini pun kemudian diturunkan menjadi beberapa aturan terkait aborsi di AS, seperti aborsi hanya boleh dilakukan selambat-lambatnya di akhir trimester pertama kehamilan.
Keputusan ini pun menjadi rezim regulasi aborsi di AS yang bertahan selama nyaris lima dekade. Meskipun begitu, keputusan ini telah berkali-kali diuji dan dikuatkan oleh berbagai pihak. Salah satu kasus anti aborsi yang mencuat ialah Plant Parenthood of Southeastern Pennsylvania v. Casey pada 1992.
Tujuan legalisasi aborsi bukanlah untuk menanggalkan hak konstitusional perempuan.
Sementara, beberapa kasus lain yang justru makin menguatkan legalitas aborsi ialah kasus Gonzales v. Carhart pada 2007 dengan putusan larangan terhadap metode aborsi yang berbahaya dan Whole Woman’s Health v. Hellerstedt pada 2016 dengan putusan yang membatalkan ketentuan peraturan daerah Texas yang mewajibkan klinik aborsi untuk bisa beroperasi setara dengan ruang bedah rawat jalan serta memberikan hak istimewa bagi dokter aborsi.
Meskipun begitu, terdapat juga beberapa modifikasi yang membuat regulasi terkait aborsi menjadi lebih ketat di beberapa negara bagian. Salah satunya ialah aturan di Texas yang melarang aborsi pada janin yang sudah dapat dideteksi detak jantungnya atau yang telah berada di kisaran enam minggu kandungan.
Persoalan aborsi di AS harus dilihat lebih jauh dari sekadar persoalan moral, hukum, ataupun kesehatan. Di AS, aborsi menjadi salah satu titik persimpangan ideologis di tengah masyarakat. Pada isu ini, perbedaan di antara mereka yang memiliki keberpihakan di spektrum kiri, tengah, dan kanan meruncing.
Hal ini tampak dari hasil survei Gallup pada Mei lalu yang menunjukkan perbedaan signifikan terhadap sikap pendukung Partai Republikan dan Demokrat pada isu ini. Di satu sisi, sekitar 80 persen dari pendukung Partai Demokrat percaya bahwa aborsi seharusnya dilegalkan. Di sisi lain, sebanyak 60 persen dari pendukung Partai Republikan menyatakan hal yang sebaliknya.
Menariknya, perbedaan pendapat ini semakin runcing apabila dilihat dari posisi politik masyarakat. Bagi golongan masyarakat yang moderat dan liberal, tingkat persetujuan terhadap legalitas aborsi relatif tinggi bahkan pada simpatisan Partai Republikan.
Kesimpulan ini terlihat dari hasil survei menunjukkan bahwa pada golongan simpatisan Partai Republikan yang lebih cenderung berada di tengah, tingkat penerimaan berada di angka 60 persen.
Sikap yang jauh berbeda tampak pada golongan konservatif, terutama yang merupakan simpatisan Partai Republikan. Tingkat penerimaan aborsi di kelompok konservatif dan merupakan pendukung Partai tersebut berada di kisaran 27 persen. Sementara, 72 persen lainnya menyatakan bahwa abrosi seharusnya ilegal dengan alasan apa pun.
Tidak ada faktor lain yang tampak memiliki berhubungan sekuat faktor ideologis. Secara demografis, tingkat persetujuan terhadap kebijakan aborsi cenderung sama di mana mayoritas dari publik percaya akan kebebasan aborsi sebagai hak konstitusional perempuan.
Perbedaan yang paling mencolok hanya tampak dalam hal umur, di mana tingkat persetujuan cenderung menurun di kelompok masyarakat di atas 50 tahun.
Hasil survei ini menunjukkan bahwa isu aborsi menjadi persoalan ideologis. Isu ini kemudian rentan digunakan sebagai amunisi politik baik dari pihak yang mendukung maupun menolaknya. Tak ayal, isu ini bisa memantik perpecahan yang serius di tengah masyarakat. (LITBANG KOMPAS)