Kemandirian Trisakti Sulit Terealisasi
Menjadi negara berdaulat di bidang politik, budaya, dan ekonomi ternyata tidak mudah. Pengaruh politik global, kemajuan teknologi, dan ketimpangan kekayaan alam antarnegara membuat konsep ”Trisakti” sulit teraih.
Mewujudkan konsep ”Trisakti” yang dulu pernah diperjuangkan Bung Karno pada masa awal kemerdekaan ternyata memang tidak mudah. Menjadi negara merdeka dan berdaulat di bidang politik, budaya, dan ekonomi ternyata sangat sulit diwujudkan. Pengaruh politik internasional, kemajuan teknologi, dan kekayaan alam yang timpang antarnegara membuat konsep ”Trisakti” bagaikan mimpi yang sulit menjadi kenyataan.
Belum tercapainya mimpi tersebut terjaring dalam jajak pendapat Kompas yang diselenggarakan beberapa waktu lalu. Sebagian besar responden mengakui bahwa konsep ”Trisakti” masih lemah realisasinya di Indonesia.
Pertama, untuk kedaulatan di bidang politik yang terbebas dari intervensi asing sepertinya masih menjadi persoalan penting di Indonesia. Sebesar 66 persen responden mengakui hal ini. Selanjutnya, terkait dengan kemandirian di bidang kebudayaan juga demikian. Sekitar 57 persen responden mengakui bahwa kesadaran pada nilai budaya nasional relatif rendah. Terakhir, kedaulatan di sektor ekonomi yang tidak bergantung pada negara lain juga mengalami nasib serupa. Mayoritas responden sebanyak 81 persen mengungkapkan kerentanan ekonomi ini.
Lemahnya penilaian responden terhadap ketiga hal tersebut patut dimaklumi. Ada sejumlah fenomena yang membuat bangsa Indonesia tercitrakan tidak berdaulat di kancah global. Di bidang politik, misalnya, ada sejumlah regulasi yang terkesan dipaksakan dan lebih menguntungkan kaum pemodal atau investor.
Dengan dalih menarik investasi, terutama dari asing, membuat sejumlah kebijakan diubah agar meningkatkan daya tarik bagi pemodal. Ada sejumlah kelonggaran yang diterapkan pada beberapa perusahaan asing sehingga terkesan ”mendahulukan” warga negara asing daripada masyarakat pribumi. Munculnya sejumlah konflik dan penolakan pada tenaga kerja asing di wilayah pertambangan dan industri di Sulawesi merupakan salah satu contohnya.
Selanjutnya adalah contoh minimnya kedaulatan bangsa Indonesia di bidang kepribadian dan kebudayaan. Hadirnya teknologi informasi yang kian mutakhir selain memberikan dampak positif, juga berpotensi menimbulkan ancaman bagi masyarakat Indonesia. Terutama bagi kalangan generasi muda yang lekat dengan teknologi digital.
Banyaknya konten-konten media sosial yang menembus lintas batas negara ”memaksa” sebagian besar warganet untuk membentuk pola tatanan norma baru. Banyak hal yang mulanya ”bertentangan” dengan budaya ketimuran kini menjadi hal yang sudah dianggap ”wajar” atas nama kemajuan teknologi. Banyak anak-anak muda yang kini condong ke budaya pop kebarat-baratan mengikuti tren yang berkembang saat ini. Fenomena ini merupakan ancaman bagi kebudayaan bangsa karena para generasi penerus, Indonesia berpotensi besar tergerus nilai-nilai nasionalismenya.
Terakhir adalah contoh kedaulatan di bidang ekonomi yang semakin membuat Indonesia tergantung dari sejumlah negara asing. Satu indikasinya terlihat dari neraca perdagangan Indonesia yang fluktuatif tidak konsisten. Pada 2008-2021 setidaknya ada lima kali kejadian yang membuat neraca perdagangan Indonesia dalam kondisi minus. Terjadi pada 2012, 2013, 2014, 2018, dan 2019. Hal ini menunjukkan bahwa neraca impor lebih besar daripada neraca ekspor. Artinya, ketergantungan Indonesia pada sejumlah negara asing lebih besar daripada permintaan asing kepada Indonesia.
Defisit neraca perdagangan
Apabila ditelisik lebih dalam, tingginya ketergantungan Indonesia terhadap asing pada kasus defisit neraca perdagangan tersebut ternyata diakibatkan oleh besarnya impor minyak dan gas bumi. Lifting migas yang terus mengecil, sedangkan permintaannya terus meningkat membuat kebutuhan impor migas kian membesar. Produksi migas yang setiap hari sekitar 700.000-800.000 barel hanya menyuplai sekitar 50 persen dari konsumsi migas harian secara nasional yang berkisar 1,6 juta barel.
Akibatnya, neraca migas dalam kondisi defisit. Sejak 2012 hingga saat ini, Indonesia selalu mengalami defisit neraca perdagangan migas rata-rata sekitar 7,7 miliar dolar AS per tahun. Selain menggerus devisa negara, ketergantungan yang tinggi pada energi fosil ini membuat Indonesia rentan pada situasi global yang rawan bergolak.
Terbukti, invasi Rusia ke Ukraina yang menyebabkan kenaikan harga minyak bumi global hingga di atas 100 dollar AS per barel membuat beban anggaran negara untuk subsidi energi kian besar. Dengan proyeksi skenario makro pada APBN 2022 yang mengalokasikan harga minyak mentah Indonesia (ICP) sebesar 63 dollar AS per barel membuat kenaikan harga migas dunia saat ini sangat memberatkan keuangan negara.
Setali tiga uang, kenaikan harga minyak dunia tersebut secara perlahan-lahan turut berdampak pada kenaikan komoditas impor lainnya. Fenomena demikian tentu saja akan berpengaruh pada kondisi domestik Indonesia. Terutama pada sektor industri yang menjadi andalan perekonomian nasional. Sektor yang memberi kontribusi pada PDB Indonesia sekitar 19 persen setahun ini rawan terimbas dengan kenaikan harga komoditas global.
Apalagi, sebagian besar bahan baku penolong yang penting bagi proses produksi mayoritas berasal dari impor. Bila dikalkulasi, perbandingan nilai bahan baku penolong dengan total nilai PDB sektor industri nasional mencapai 57 persen. Artinya, ketergantungan sektor industri Indonesia terhadap bahan baku penolong dari asing sangatlah besar.
Kondisi tersebut kian menguatkan dugaan bahwa kedaulatan ekonomi nasional Indonesia sejatinya sangat lemah. Tanpa suplai bahan baku penolong, terutama dari China dan Jepang, niscaya sektor industri nasional tidak akan digdaya seperti saat ini. Sebaliknya, ketergantungan Indonesia ini membuat posisi geopolitik Indonesia, terutama dengan China dan Jepang, menjadi relatif sangat lemah. Indonesia tidak akan berani bersikap tegas dengan berbagai kebijakan politik internasional China ataupun Jepang demi menjaga kelangsungan sektor industrialisasi di dalam negeri. Ironis.
Usaha skala kecil
Struktur industri Indonesia yang relatif rentan oleh gejolak global tersebut perlu segera ditekan dampak negatifnya dengan mengurangi tingkat ketergantungannya pada asing. Salah satu solusinya dengan membangun usaha atau industri yang memiliki daya saing tinggi dengan mengoptimalkan sumber daya dalam negeri. Sayangnya, dengan kondisi Indonesia yang relatif ”terbatas” kemampuan SDM-nya, baik dari segi keterampilan maupun permodalan, membuat usaha-usaha ataupun industri yang hadir di tengah-tengah masyarakat umumnya masih berskala kecil.
Meskipun demikian, usaha atau industri yang tergabung dalam UMKM atau IKM tersebut justru memiliki tingkat kemandirian yang cukup baik. Berdasarkan data dari BPS, jumlah unit UMKM di Indonesia jumlahnya mencapai lebih dari 60 juta unit usaha dengan menyerap tenaga kerja hingga lebih dari 120 juta orang. Artinya, usaha ini rata-rata mampu menyerap tenaga kerja sekitar 2 orang per unit usahanya. Dengan kata lain, UMKM ini sebagian besar dikelola oleh anggota keluarga masing-masing. Masih minim melibatkan tenaga kerja dari luar yang sifatnya berbayar.
Dengan usaha yang sifatnya subsisten itu bukan berarti menutup peluang untuk bersaing di ranah global. Masih ada kesempatan untuk diakselerasi menjadi unit usaha yang berkembang dan berdaya saing tinggi. Salah satunya membutuhkan dukungan dari pemerintah dan juga sejumlah pihak lainnya dalam menyiapkan sejumlah sarana dan prasarana.
Pertama, menyiapkan permodalan yang berfungsi untuk meningkatkan kapasitas produksi dan juga efisiensi. Permodalan ini dapat diatasi salah satunya dengan sistem kemitraan. Usaha atau industri yang sudah maju dapat dihubungkan dengan UMKM atau IKM untuk menjalin kemitraan. Dengan hubungan simbiosis mutualisme ini, usaha kecil dapat terbantu. Bisa dari segi permodalan, jaringan pasar, alat-alat kerja, dan juga pelatihan.
Kedua adalah digitalisasi teknologi bagi UMKM/IKM. Dengan teknologi digital, memungkinkan unit usaha kecil ini mampu memperluas jaringan pasar dan relasi bisnis yang lebih beragam. Tidak hanya skala lokal, tetapi nasional dan juga internasional.
Dengan optimalisasi kedua hal tersebut, harapan untuk mengembangkan UMKM dan juga IKM dapat terbuka lebih luas lagi. Dengan demikian, upaya untuk membangun kemandirian ekonomi dapat dilakukan mulai dari lini terkecil sekalipun, yakni dari lingkup usaha skala rumah tangga. (Litbang Kompas)