Perang Aceh dari Sudut Pandang Seorang Jurnalis Belanda
Historiografi tentang Perang Aceh ditulis ulang oleh seorang jurnalis Belanda yang memiliki ketertarikan pada sejarah. Suatu karya yang melihat Perang Aceh dari sudut pandang lain.
Oleh
ARIEF NURRACHMAN
·3 menit baca
Judul: Kisah Datang dan Terusirnya Belanda dan Jejak yang Ditinggalkan
Penulis: Anton Stolwijk
Penerbit: Yayasan Pustaka Obor Indonesia-KITLV Jakarta
Tahun terbit: 2021
Jumlah halaman: xxiv+262 halaman
ISBN: 978-623-321-121-5
Upaya perluasan area kolonialisme Belanda terhambat di Aceh, Aceh menjadi momokgelap bagi Belanda.Ketika wilayah lain di Nusantara sudah berhasil dikuasai, hanya Aceh yang masih belum bisa ditaklukkan karena saat itu merupakan kerajaan yang kuat di kawasan Selat Malaka.
Wilayah Aceh yang strategis dan dikenal sebagai negeri penghasil lada terbesar, membuat Belanda berambisi menaklukkannya. Namun, ultimatum yang diberikan Belanda terhadap Kerajaan Aceh untuk menyerahkan wilayahnya dijawab dengan perlawanan bersenjata. Perlawanan bersenjata tersebut akhirnya menjadi perang terlama dalam sejarah kolonial di Belanda (1873-1904). Kendati Kerajaan Aceh menyerah di tahun 1904, perang gerilya tetap berlangsung hingga tahun 1912.
Namun, realitas di masa lalu tersebut agaknya tidak terlalu banyak diingat oleh masyarakat Belanda sendiri. Padahal, Perang Aceh kala itu menjadi perhatian besar kerajaan Belanda. Terbukti, perkembangan perang selalu dilaporkan oleh pemerintah Hinda Belanda dalam laporan-laporan rinci yang dimuat dalam koleksi arsip di Belanda.
Pengetahuan terkait Perang Aceh hanya dibahas sekilas dalam pelajaran sejarah di SMABelanda. Kenyataan itulah yang diungkapkan oleh Anton Stolwijk, seorang jurnalis Belanda yangcukup lama tinggal Aceh yang menulis Aceh: Kisah Datang dan Terusirnya Belanda dan Jejak yang Ditinggalkan (Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2021). Karya Anton Stolwijk ini sebetulnya telah rampung ditulis Anton pada tahun 2016 dengan judul“Atjeh: Het verhaal van de bloedigste strijd uit de Nederlandse koloniale geschiedenis”. Keinginan mengangkat kembali kisah kolonialisme Belanda dan perlawanan hebat masyarakat Aceh menjadi alasan Anton menulisnya dalam buku tersebut.
Kendati bukan seorang sejarawan, Anton memiliki ketertarikan kuat pada sejarah. Seperti yang ditulis oleh Bonnie Triyana dalam kata pengantarnya, Antonberupaya menggali kembali rekaman ingatan masyarakat Aceh akan Perang Aceh dan menyandingkannya dengan sumber-sumber primer dan sekunder.
Sebagai seorang jurnalis, kisah sejarah yang dituangkan dalam bukunya bergaya populer dicampur dengan beberapa data-data. Upaya merekognisi peristiwa masa lalu dilakukan dengan wawancara, serta mendatangi secara langsung beberapa peninggalan sejarah. Seperti yang dia lakukan ketika mengunjungimakam sepuluh prajurit Belanda yang tewas pada tanggal 6 Januari 1874, sehingga Anton dapat menceritakan tentang perjalanan invasi Belanda ke Aceh.
Beberapa fakta yang Anton kemukakan menunjukkan dengan jelas bahwa buku ini merupakan karya historiografi yang ditulis dengan sudut pandang orang Belanda. Misalnya tentang bagaimana penulis menggambarkan sosok pasangan Teuku Umar dan Cut Nyak Dien. Selain itu, Anton juga berupaya menggambarkan kondisi sosial masyarakat muslim Aceh ketika saat itu yang mungkin akan didebat oleh pembaca yang kritis sejarah.
Pandangan Neerlandosentris tersebut menjadi wajar karena manuskrip dan dokumen tentang Aceh awalnya banyak ditulis oleh kalangan Belanda. Sebut saja, Snouck Hurgronje yang kajiannya mengungkap peran ulama dalam mengerakkan Perang Sabil. Arsip berupa surat dan catatan pribadi yang digunakan Anton sebagai sumber referensi bisa jadi tidak sesuai dengan kenyataan menurut pembaca, namun dapat memberikan sudut pandang lain dalam membaca sejarah. (AFN/ Litbang Kompas)