Rencana penambahan jabatan wakil menteri kembali menuai pro-kontra. Pengangkatan petinggi kementerian tersebut semestinya didasari pada kebutuhan peningkatan kinerja kementerian, bukan semata kepentingan politis.
Oleh
Eren marsyukrilla, Litbang Kompas
·4 menit baca
Silang pandangan publik terhadap rencana pemerintah yang kembali akan menambah jabatan wakil menteri ditangkap jajak pendapat Kompas yang dilakukan dua pekan lalu. Polemik ini tergambar dari kecenderungan terbelahnya sikap responden. Tak kurang dari 54 persen responden menyatakan setuju terhadap langkah pemerintah. Namun, lebih dari 45 persen responden lain justru berpendapat sebaliknya.
Terbelahnya respons publik dalam menyikapi isu ini tidak terlepas dari banyaknya kisruh yang mengiringi saat wacana penunjukan wakil menteri (wamen) digulirkan. Persoalan seputar urgensi kebutuhan, tujuan pengangkatan jabatan, dasar aturan, kebutuhan anggaran, hingga adanya maksud politis tertentu menjadi hal yang turut dibahas saat pemerintah bermaksud mengisi kursi wamen.
Berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 60/2012 tentang Wakil Menteri, tugas wamen adalah membantu menteri dalam proses pengambilan keputusan, memberikan rekomendasi dan pertimbangan, hingga pengendalian birokrasi. Dalam hal tertentu, wamen dapat melaksanakan tugas khusus yang diberikan langsung oleh presiden atau melalui menteri.
Meskipun demikian, pengangkatan wamen cukup banyak menuai pertanyaan publik. Polemik mengenai pengangkatan jabatan wamen bukan baru-baru ini saja mencuat. Pada awal periode kedua, Presiden Joko Widodo menuai kritik lantaran melantik 12 wamen. Lebih banyak dibandingkan dengan periode pertama yang hanya ada tiga wamen.
Sejumlah kalangan menilai, pengangkatan wamen tidak sah lantaran bertentangan dengan Pasal 10 UU No 39/2008 tentang Kementerian Negara yang berbunyi, ”Dalam hal terdapat beban kerja yang membutuhkan penanganan secara khusus, Presiden dapat mengangkat wakil menteri pada kementerian tertentu.” Sebelumnya, penjelasan pasal ini menyebut wamen berada di luar kabinet. Namun, pada 2012, ketentuan itu dibatalkan Mahkamah Konstitusi sehingga posisi wamen menjadi kewenangan eksklusif Presiden.
Pro-kontra
Sekalipun memunculkan kegaduhan, akhir Desember 2020 pemerintah justru kembali menambah kursi wamen. Tercatat saat itu ada lima wamen dilantik dengan tiga wamen mengisi pos baru. Ketiganya adalah Wakil Menteri Kesehatan, Wakil Menteri Hukum dan HAM, serta Wakil Menteri Pertanian. Sementera dua wamen lain mengisi pos jabatan yang sudah ada sebelumnya, yaitu Wakil Menteri BUMN dan Wakil Menteri Pertahanan.
Dengan demikian, sejak saat itu total ada 15 kementerian yang memiliki wamen. Sementara berdasarkan perpres yang sudah diterbitkan, terdapat 24 kementerian yang memiliki pos wamen. Sembilan di antaranya belum terisi.
Lebih jauh, jajak pendapat Kompas juga menangkap faktor-faktor yang memengaruhi pandangan publik dalam melihat jabatan wamen. Sejauh ini, alasan-alasan yang dikemukakan masyarakat tak jauh dari guliran isu yang banyak berkembang menyangkut urgensi jabatan wamen.
Sejak saat itu, total ada 15 kementerian yang memiliki wamen. Sementara berdasarkan perpres yang sudah diterbitkan, terdapat 24 kementerian yang memiliki pos wamen. Sembilan di antaranya belum terisi.
Kelompok responden yang setuju terhadap langkah pemerintah menambah jabatan wamen pada umumnya berpandangan bahwa kebijakan itu dapat membuat kinerja pemerintah jauh lebih baik. Tidak kurang dari dua perlima responden menilai wamen diperlukan untuk membantu kinerja seorang menteri.
Sementara itu, proporsi responden yang juga tak kalah besar (30 persen) berpendapat keberadaan wakil menteri dapat lebih mengoptimalkan kerja-kerja kementerian. Sekitar sepertiga responden lain berpandangan kinerja kementerian akan jauh lebih baik jika dipimpin menteri yang didampingi wamen.
Sebaliknya, kelompok responden yang tidak setuju dengan penambahan kembali kursi wamen justru memiliki alasan yang lebih kompleks. Alasan potensi pemborosan anggaran menjadi hal yang paling disorot setidaknya oleh 42 persen responden. Seperlima responden lain mengungkapkan alasan efektivitas kepemimpinan. Kuatnya wewenang seorang wamen membuat keberadaannya justru dapat menciptakan potensi ”dua matahari” di kementerian.
Bahkan, sekitar 18 persen responden lain dari kelompok yang tidak bersepakat menganggap kehadiran wamen justru membuat kinerja kementerian menjadi tidak efisien. Dengan demikian, dalam hal ini kepemimpinan dari seorang menteri sudah sangat cukup dan tak perlu lagi dibantu oleh wakil, seperti yang diungkap oleh 15 persen responden.
Melihat pandangan publik tersebut, semestinya pengangkatan wamen didasari pada pertimbangan kebutuhan kinerja kementerian. Sebetulnya seluruh pihak sepakat wamen diperlukan agar kerja kementerian dapat terakselerasi lebih optimal.
Berkaitan dengan itu pula, sebagian besar responden cukup memahami bahwa keberadaan wamen sudah semestinya berada pada garis kerja profesional yang diperlukan dalam menggerakkan roda kementerian. Sekitar enam dari 10 responden sepakat untuk kementerian yang memiliki urgensi besar diberi wamen.
Kepentingan politis
Publik agaknya cukup gusar jika kursi wamen sekadar menjadi ruang bagi-bagi jabatan. Sekalipun tak ada ketentuan yang mengharuskan posisi wamen diemban seorang profesional dan bebas muatan politik, sebaiknya jabatan ini diisi kalangan yang berkompeten. Saat ini, secara proporsi, jabatan wamen cukup berimbang, diisi kalangan profesional dan politisi.
Polemik terbaru awal tahun ini muncul dengan adanya rencana pos Wakil Menteri Dalam Negeri. Hal ini bermula setelah Sekretariat Negara pada 4 Januari 2022 mengunggah Perpres No 11/2021 tentang Kementerian Dalam Negeri. Salah satu poin penting tercantum dalam Pasal 2 Ayat (1) yang menyebut ada jabatan wamen di Kemendagri.
Perdebatan rencana penunjukan wamendagri belakangan berkembang dengan mengaitkannya pada kepentingan dan wewenang Kemendagri dalam urusan pemilu. Hal ini terkait pengisian penjabat kepala daerah di 101 wilayah yang ditinggalkan kepala daerah karena masa jabatan habis.
Polemik soal pengisian penjabat kepala daerah ini semestinya jangan sampai membuat gaduh. Pemerintah diharapkan tetap menjaga kepercayaan publik dan menengahi segala polemik yang terjadi. Pada akhirnya, pengangkatan jabatan wakil menteri semestinya tetap didasari pada kebutuhan kinerja pemerintah dan kemaslahatan bangsa, bukan kepentingan lain di luar itu.