Membaca Pola Bepergian Masyarakat di Masa Natal dan Tahun Baru
Lesunya gairah bepergian pada akhir tahun tak perlu disesali. Seharusnya, tanpa perlu dipaksa, masyarakat telah mawas diri dan sadar bahwa banyak bepergian di masa libur akhir tahun bukanlah keputusan yang bijak.
Dari tahun ke tahun, masa libur Natal dan Tahun Baru kerap dimanfaatkan masyarakat untuk bepergian. Namun, memasuki tahun ketiga pandemi Covid-19, pola perilaku itu mulai berubah. Lonjakan kasus positif yang biasanya terjadi pascalibur panjang hari raya menjadi peringatan bagi warga untuk meredam keinginan bepergian dan pelesiran di akhir tahun ini.
Animo masyarakat untuk bepergian selama masa libur Natal dan Tahun Baru kali ini cukup lesu. Hal itu tecermin dari hasil jajak pendapat Kompas yang dilakukan melalui telepon pada 7-9 Desember 2021 terhadap 515 responden berusia minimal 17 tahun dari 34 provinsi.
Hasil jajak pendapat itu menunjukkan, hanya sekitar 18 persen responden yang berencana melakukan perjalanan selama masa libur Natal dan Tahun Baru, sedangkan mayoritas warga (80 persen) mengaku tidak ada rencana bepergian.
Meski hanya seperlima bagian responden, secara populasi tentu angka ini mencerminkan jumlah yang masif. Angka jumlah pemudik Natal tahun 2017-2019 menunjukkan jumlah 16 juta hingga 19 juta pemudik. Untuk tahun ini, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengungkapkan, dari survei Kementerian Perhubungan pada Oktober 2021, ada 12,8 persen masyarakat atau 19,9 juta orang se-Indonesia yang ingin mudik pada masa libur Natal 2021 dan Tahun Baru 2022 (Kompas.com, 1/12/2021).
Ditelisik lebih jauh dari jajak pendapat, sekitar 40 persen dari mereka yang berencana bepergian memang menjadikan momen ini sebagai ajang mudik atau mengunjungi keluarga. Selain mudik, 38 persen dari masyarakat yang memiliki niat bepergian menyatakan, mereka bepergian dalam rangka berlibur untuk melepas kepenatan.
Namun, rencana pelesir dari warga ini tak hanya berkutat soal liburan dan mudik saja. Nyatanya, sekitar 16 persen dari responden mengaku tak punya pilihan selain bepergian karena perjalanan mereka terkait dengan urusan bisnis atau pekerjaan. Sedangkan 6 persen lainnya menyatakan, tujuan perjalanan mereka adalah untuk beribadah.
Berdasarkan destinasi liburan, sebagian besar memilih bepergian ke luar kota. Sebagai perbandingan, responden yang akan bepergian di dalam kota tak sampai separuh dari mereka yang akan ke luar kota. Sedangkan ada sekitar 15 persen masyarakat yang berencana pelesiran, baik di dalam maupun luar kota.
Baca juga: Jangan Lengah, Waspadai Kenaikan Mobilitas pada Akhir Tahun
Ada beberapa alasan di balik keinginan warga tetap bepergian meski sudah ada imbauan dari pemerintah untuk membatasi mobilitas. Alasan paling kuat yang diutarakan adalah mereka merasa aman karena sudah divaksin (35 persen). Tak hanya itu, nyaris seperempat dari responden menyatakan, mereka memang memiliki tradisi bepergian pada masa Natal dan Tahun Baru. Sedangkan sekitar seperempat sisanya menilai Covid-19 sudah tidak berbahaya (16 persen) dan mereka sudah jenuh terus berada di rumah (10 persen).
Ada beberapa alasan di balik keinginan warga tetap bepergian meski sudah ada imbauan dari pemerintah untuk membatasi mobilitas. Alasan paling kuat yang diutarakan adalah mereka merasa aman karena sudah divaksin (35 persen).
Kelas sosial dan ekonomi
Sebagian besar responden yang berencana melakukan perjalanan selama masa Natal dan Tahun Baru adalah kelas menengah, yakni 61 persen. Kelompok ini didominasi oleh kelas menengah bawah sebanyak 37 persen, disusul kelas menengah atas 24 persen.
Selain kelompok menengah, kelas sosial ekonomi bawah juga memiliki kecenderungan bepergian yang sama tinggi pada angka 24 persen. Sementara kelas atas cenderung berbeda. Hanya sekitar 14 persen dari mereka yang berencana bepergian di akhir tahun ini.
Tak hanya berbeda dari segi jumlah, tujuan dan destinasi perjalanan setiap kelas ekonomi ini pun beragam. Di kelas sosial ekonomi bawah, liburan masih menjadi tujuan dominan. Sebanyak 39 persen dari responden di kelas ini merencanakan berlibur. Beribadah menjadi alasan kedua tertinggi, mencakup lebih dari seperempat responden. Sedangkan sekitar sepertiga sisanya memilih bepergian karena ingin mengunjungi keluarga (21 persen) atau untuk keperluan pekerjaan (13 persen).
Pola berbeda tampak pada rencana bepergian masyarakat di kelas sosial ekonomi menengah bawah. Sebagian besar atau sekitar 54 persen dari warga di kelas ini bepergian untuk mengunjungi keluarga. Tujuan berlibur yang sebelumnya mendominasi di kelas ekonomi bawah justru menjadi pilihan kedua (34,2 persen) bagi kelas menengah bawah. Sedangkan sekitar 11 persen sisanya berencana bepergian untuk keperluan bekerja.
Baca juga: Menengok Kualitas Capaian Vaksinasi Jelang Akhir Tahun
Hal berbeda juga tampak pada kelas ekonomi sosial atas. Serupa dengan kelas bawah, berlibur menjadi alasan dominan mereka untuk bepergian di masa libur Natal dan Tahun Baru. Selain itu, lebih dari sepertiga masyarakat kelas atas menyatakan perlu bepergian pada akhir tahun karena tuntutan pekerjaan. Sedangkan hanya 14 persen dari mereka yang memilih bepergian untuk mengunjungi keluarga atau mudik.
Perbedaan juga terlihat dari tujuan bepergian. Untuk masyarakat dengan kelas sosial ekonomi bawah, jumlah orang yang berencana melakukan perjalanan ke dalam kota dibandingkan dengan mereka yang ingin ke luar kota relatif imbang pada angka 39 persen. Sedangkan 22 persen sisanya memilih untuk pergi baik ke dalam maupun luar kota.
Pada masyarakat golongan menengah bawah, nyaris 80 persen dari masyarakat yang memiliki rencana pelesir memilih destinasi di luar kota. Hanya 20 persen responden yang berencana bepergian di dalam kota. Sisanya, sekitar 3 persen, berencana pergi ke dalam dan luar kota.
Situasi yang lebih kontras terlihat pada kelompok masyarakat atas. Hampir tidak ada dari mereka yang berniat memilih destinasi bepergian di dalam dan luar kota. Bagi mereka, pilihannya adalah langsung bepergian ke luar kota (57 persen) atau jalan-jalan di dalam kota saja (43 persen).
Kecemasan Omicron
Tak dapat dimungkiri, munculnya varian baru virus Covid-19 Omicron membuat masyarakat cemas. Hasil jajak pendapat menunjukkan, lebih dari 63 persen responden khawatir dengan galur Omicron. Bahkan, seperlima dari mereka menyatakan sangat khawatir dengan varian baru ini.
Tak dapat dimungkiri, munculnya varian baru virus Covid-19 Omicron membuat masyarakat cemas. Hasil jajak pendapat menunjukkan, lebih dari 63 persen responden khawatir dengan galur Omicron.
Kecemasan ini tampaknya terkonversi menjadi dukungan terhadap pemerintah untuk membuat kebijakan pembatasan mobilitas seperti PPKM. Dukungan ini terlihat dari hasil survei yang menunjukkan, lebih dari tiga perempat responden setuju jika pemerintah menetapkan aturan pembatasan kegiatan sesuai kondisi Covid-19 di setiap daerah. Bahkan, sekitar seperempat dari publik menyatakan sangat setuju dengan kebijakan ini.
Berdasarkan kelas ekonomi sosial, dukungan terhadap kebijakan pemerintah cukup merata di setiap kalangan. Sebagian besar, atau lebih dari separuh responden dari seluruh lapisan kelas, sepakat bahwa PPKM menjadi kebijakan yang efektif untuk menekan mobilitas warga di akhir tahun. Hal ini paling kentara terlihat di kelompok masyarakat kelas bawah. Lebih dari tiga perempat responden dari golongan ini menilai PPKM efektif.
Akan tetapi, publik masih menuntut perbaikan atas implementasi kebijakan ini. Masih ada 39 persen dari masyarakat yang menilai kebijakan PPKM sebelumnya minim sosialisasi sehingga menciptakan kebingungan. Sekitar 30 persen lainnya berpendapat, konsistensi pelaksanaan aturan seperti kedisiplinan petugas jaga dan patroli perlu ditingkatkan agar kebijakan ini dapat berjalan lebih maksimal.
Lesunya gairah bepergian pada akhir tahun ini bukan hal yang perlu disesali. Hal ini justru menunjukkan modal sosial yang dimiliki masyarakat untuk menghalau transmisi varian Omicron. Seharusnya, tanpa perlu dipaksa, masyarakat telah mawas diri dan sadar bahwa banyak bepergian di masa libur akhir tahun ini bukanlah keputusan yang bijak.
Baca juga: Bayang-bayang Kekhawatiran Omicron di Media Sosial