Eropa Masih Berjibaku Kendalikan Covid-19
Di pengujung tahun 2021 ini, Eropa kembali menjadi episentrum Covid-19 di dunia dengan hadirnya varian Omicron. Indonesia harus lebih waspada agar jangan sampai terjadi gelombang ketiga.
Jika situasi Covid-19 relatif terkendali di Indonesia, cerita berbeda datang dari ”Benua Biru”. Di pengujung tahun 2021 ini, Eropa kembali menjadi episentrum Covid-19 di dunia. Gelombang Delta yang belum tuntas diperparah dengan varian baru Omicron yang memiliki kecepatan transmisi lebih cepat.
Kacaunya situasi Covid-19 di kawasan Benua Biru ini terpotret dari jumlah kasus. Selama seminggu terakhir, nyaris 2,5 juta orang terinfeksi Covid-19. Jika dibandingkan, angka ini jauh lebih tinggi daripada kawasan lain, seperti Asia dengan kasus mingguan 561.000 dan Amerika Utara dengan kasus 772.000.
Bahkan, jumlah kasus mingguan di Eropa ini masih lebih besar jika disandingkan dengan total dari kasus mingguan di Asia, Afrika, Amerika, Australia, dan Oseania.
Tingkat keparahan ini tak seberapa jika melihat kasus dua minggu lalu. Walau terlihat luar biasa besar, jumlah kasus mingguan ini merupakan penurunan dari jumlah dalam rentang waktu serupa seminggu sebelumnya. Jika dibandingkan, saat ini jumlah kasus mingguan di benua tersebut mengalami penurunan 12 persen dibandingkan dengan dua minggu lalu.
Dilihat secara geografis, wilayah Eropa di bagian barat cenderung lebih parah kondisinya dibandingkan dengan bagian benua lain. Dari sepuluh negara dengan jumlah kasus paling banyak selama seminggu terakhir, lebih dari separuhnya merupakan negara Eropa Barat.
Inggris, Jerman, Perancis, Belanda, dan Italia menjadi negara-negara yang terhantam cukup parah di wilayah ini. Jika ditotal, jumlah kasus mingguan di lima negara terseut melebihi separuh dari seluruh jumlah kasus mingguan di Eropa.
Di antara kelima negara ini, Inggris menjadi yang paling parah. Selama seminggu terakhir, lebih dari 355.000 orang terinfeksi Covid-19. Meledaknya jumlah kasus mingguan di negara ini juga masih belum tampak ujungnya, mengingat jumlah tersebut merupakan peningkatan sebesar 12 persen dibandingkan dengan seminggu sebelumnya.
Tak ayal, Inggris menjadi negara dengan jumlah kasus mingguan terbanyak di dunia, berada di bawah AS dengan jumlah kasus di kisaran 700.000.
Tren kasus yang positif di tengah tren negatif kawasan perlu dijadikan alarm bahaya varian baru Covid-19. Pasalnya, negara ini menjadi salah di mana varian Omicron menyebar.
Data terakhir menyebutkan, sekitar 40 persen dari total pasien positif Covid-19 di Inggris terjangkit oleh varian tersebut. Situasi juga semakin mengkhawatirkan ketika varian Omicron yang awalnya dinilai tidak lebih mematikan mulai memakan korban jiwa di negara ini.
Kecemasan serupa dilihat dari negara lain yang telah mengonfirmasi temuan kasus dari varian Omicron. Italia, misalnya, telah mengalami peningkatan jumlah kasus mingguan 15 persen dibandingkan dengan dua minggu lalu.
Hal serupa dialami Perancis, di mana kasus mingguan juga meningkat sebesar 15 persen jika dibandingkan dengan rentang waktu yang serupa. Bahkan, RS AP-HP, grup rumah sakit terbesar di Eropa, memprediksi bahwa Perancis akan dihantam gelombang Covid-19 keenam pada Januari mendatang jika tak ada perubahan yang signifikan.
Selain itu, kawasan lain yang perlu diperhatikan ialah Eropa Utara. Negara-negara Skandinavia dengan sistem layanan kesehatan yang mutakhir dan vaksinasi yang mencapai lebih dari 70 persen populasi ini tengah mengalami lonjakan kasus yang luar biasa selama seminggu terakhir.
Hal ini terlihat dari kasus mingguan Denmark yang meroket sampai 50 persen. Selain Denmark, lonjakan kasus ini juga terjadi di Norwegia dengan peningkatan jumlah kasus mingguan sebesar 32 persen.
Baca juga : Covid-19 Varian Omicron Terdeteksi di Eropa
Masyarakat resisten
Situasi Covid-19 di kawasan ini semakin pelik di tengah masyarakat yang cukup resisten terhadap upaya negara mengendalikan wabah. Meski kasus harian terhitung tinggi, masyarakat di negara-negara kawasan ini masih merasa bahwa langkah pembatasan sosial yang diambil pemerintah menyunat hak dan kebebasan sipil mereka.
Untuk menyuarakan kekecewaan mereka, para warga pun tak segan untuk melakukan aksi demonstrasi di jalan. Aksi demonstrasi ini salah satunya terjadi di Austria.
Pada 13 Desember kemarin, lebih dari 44.000 warga melakukan demonstrasi di depan Istana Hofburg di Vienna dan beberapa titik lain di Vienna. Aksi ini menjadi salah satu bagian dari rangkaian demonstrasi yang telah berlangsung setidaknya empat minggu ke belakang.
Secara umum, demonstran memprotes dua kebijakan dari Pemerintah Austria. Kebijakan pertama yang diprotes ialah perintah wajib vaksinasi yang diberikan ke seluruh warga negara Austria berusia di atas 14 tahun yang sehat atau tidak memiliki penyakit sehingga tidak memungkinkan untuk menerima dosis vaksin.
Dalam peraturan ini, warga negara yang menolak divaksin dapat dikenai sanksi denda oleh pemerintah hingga sebesar 3.600 euro atau setara dengan Rp 58 juta.
Selanjutnya, kebijakan lain yang juga diprotes oleh para demonstran adalah karantina wilayah (lockdown). Tekanan terhadap pemerintah untuk mencabut aturan karantina ini relatif berhasil.
Pasalnya, setelah diberlakukan mulai minggu ketiga November lalu, Pemerintah Austria telah mencabut aturan ini semenjak 12 Desember. Meskipun begitu, pencabutan karantina ini khusus untuk mereka yang telah divaksin. Sedangkan warga yang belum divaksin masih sangat dibatasi pergerakannya.
Selain di Austria, warga negara di Belanda juga sempat melakukan demonstrasi besar-besaran soal penanganan Covid-19 oleh pemerintah. Tak lama setelah Pemerintah Belanda memberlakukan aturan karantina pada minggu ketiga November lalu, ribuan orang melakukan protes dan menimbulkan kerusuhan. Hal serupa terjadi di beberapa negara lain, termasuk Italia dan Kroasia.
Padahal, pemerintah negara-negara tersebut tentu memiliki alasan yang kuat sebelum mengambil kebijakan lockdown. Nyatanya, kebijakan pembatasan mobilitas warga yang ketat cukup mampu membendung laju penularan Covid-19 di beberapa negara yang didemo, seperti Belanda, Austria, dan Kroasia. Bahkan, semenjak memberlakukan kebijakan ini, Austria mampu menurunkan jumlah kasus mingguan hingga 46 persen.
Baca juga: Temuan Awal Omicron Embuskan Optimisme
Pelajaran dari Eropa
Sebagai negara dengan kasus Covid-19 yang mulai melandai, Indonesia bisa memetik beberapa pelajaran berharga dari porak-poranda pandemi di Eropa. Pelajaran pertama ialah modal sosial yang dimiliki oleh Indonesia sudah relatif kuat, bahkan jika dibandingkan dengan negara-negara di kawasan Eropa.
Masyarakat di Indonesia sudah cukup paham bahwa kebijakan yang diambil oleh pemerintah sudah dipikirkan masak-masak dan ditujukan untuk keselamatan publik. Maka, resistensi publik di Indonesia terhadap kebijakan pembatasan sosial, seperti PSBB dan PPKM, pun relatif kecil.
Pelajaran kedua, iklim politik di Indonesia masih sedikit lebih ”sehat” dibandingkan dengan negara-negara Eropa yang telah disebutkan di atas. Pasalnya, sebagian besar demonstrasi antivaksin dan anti-kebijakan pembatasan sosial digerakkan oleh golongan sayap kanan yang juga merupakan oposisi dari pemerintah berkuasa.
Artinya, di banyak negara kawasan Eropa Barat, isu Covid-19 masih menjadi sebuah komoditas yang dimanfaatkan untuk menggalang dukungan politik.
Pelajaran ketiga dan yang paling penting ialah ampuhnya vaksinasi. Memang, nyaris semua negara di kawasan Eropa Barat yang kini memiliki jumlah kasus paling banyak di dunia memiliki jumlah vaksinasi yang relatif tinggi di atas 50 persen dari total populasi.
Artinya, masyarakat yang telah tervaksinasi pun masih berpotensi untuk tertular virus, terutama galur Omicron yang baru saja ditemukan.
Meskipun begitu, jumlah kematian di negara-negara ini relatif kecil dibandingkan dengan jumlah kasusnya. Sedangkan negara dengan tingkat vaksinasi yang rendah terbukti memiliki tingkat kematian yang cukup tinggi.
Sebagai contoh ialah Ukraina (29 persen) yang memiliki jumlah kematian lebih kurang sama dengan Jerman (2.727 per minggu), padahal jumlah kasusnya tak sampai seperlimanya (61.000 versus 351.000). Kesimpulannya, vaksin terbukti dapat meminimalkan korban jiwa dari infeksi virus Covid-19.
Simpulan ini perlu untuk dijadikan acuan bagi Pemerintah Indonesia. Pasalnya, data terakhir menunjukkan bahwa baru sekitar 37 persen dari populasi Indonesia yang telah menerima dosis lengkap vaksin. Hal ini menunjukkan seberapa rentan masyarakat Indonesia dari ancaman Covid-19.
Selama masih mempunyai waktu, kerentanan ini harus segera ditambal oleh pemerintah melalui program vaksinasi yang lebih gencar. Pasalnya, tidak ada yang bisa tahu kapan dan seberapa parah situasi Indonesia ketika varian Omicron datang menyerbu. (LITBANG KOMPAS)