Menggunakan Gawai Jelang Tidur Dapat Menurunkan Kualitas Hidup
Sepertiga waktu manusia digunakan untuk beristirahat. Namun, kini muncul kecenderungan mengalokasikan waktu lebih banyak untuk menggunakan gawai.
Aktivitas menatap gawai sebelum tidur dapat mengikis durasi istirahat tubuh. Padahal, sepertiga masa hidup manusia seharusnya dimanfaatkan untuk tidur. Kebiasaan tersebut bukan hanya menimbulkan gangguan kesehatan, melainkan juga gangguan psikis hingga ekonomi.
Kebiasaan bergawai ria di tempat tidur banyak dilakukan orang saat pandemi ini. Survei yang dilakukan oleh Tuck Sleep, lembaga yang bergerak di bidang riset dan konsultasi peningkatan kualitas istirahat dan tidur di Amerika Serikat ini, memotret kebiasaan warga AS yang banyak menggunakan gawai di tempat tidur.
Hasil survei kepada 1.183 warga AS pada April 2021 ini memperlihatkan bahwa tujuh dari 10 responden mengaku saat ini banyak melakukan aktivitas bekerja di tempat tidurnya. Bahkan, hampir separuh dari responden menghabiskan waktu hingga 8 jam bekerja di tempat tidur dalam waktu seminggu.
Relasi kedekatan gawai dan tempat tidur juga ditangkap dari survei yang dilakukan lembaga konsultan konsumen Commonsense Media. Riset yang dilakukan terhadap 1.000 responden usia remaja dan orang tua di Amerika Serikat memotret kebiasaan bergawai yang dilakukan sehari-hari.
Hasilnya, lima dari 10 remaja mengaku kecanduan gawai. Bukan cuma anak muda, hal ini juga dialami oleh kelompok orang tua yang mengaku sulit melepaskan diri dari gawai mereka. Ponsel pintar selalu dibawa kemana saja, termasuk ke kamar tidur dan diletakkan sejauh jangkauan tangan dapat meraihnya.
Temuan riset bertajuk The New Normal: Parents, Teens, Screens, and Sleep in the United States (2019) tersebut memberikan gambaran bagaimana smartphone dan gawai telah mengubah kebiasaan individu dan interaksi antaranggota keluarga. Sepertiga remaja mengaku tidur dengan perangkat mereka. Salah satu perilaku baru dari kebiasaan membawa gawai di tempat tidur adalah gangguan tidur akibat notifikasi digital.
Candu gawai di tempat tidur tersebut dikhawatirkan dapat merusak fungsi kognitif, kesehatan mental, hingga meningkatkan tingkat obesitas. Bahkan sebagian orang tua juga khawatir gawai memunculkan konflik keluarga karena anak-anak mereka sudah kecanduan gawai.
Fase tersebut menjadi temuan yang paling mencolok dari riset tersebut, yaitu perilaku remaja menggunakan gawai mereka dalam 24 jam. Kecanduan ini tergambar dari penggunaan gawai yang mereka lakukan hingga beberapa saat sebelum tidur, segera setelah bangun tidur, serta dan sesekali di malam hari. Kegiatan utamanya mereka bergawai adalah mengecek media sosial, bermain gim, dan menonton video.
Evolusi
Penggunaan gawai kian lekat dengan aktivitas manusia. Rata-rata warga dunia menggunakan internet dan media sosial terus bertambah. Data Digital 2021: Global Overview Report yang dipublikasikan oleh We are Social dan Hootsuite menyebutkan rata-rata warga dunia menghabiskan 6 jam 54 menit untuk mengakses internet.
Di Indonesia, kebiasaan menatap layar gawai sekaligus mengakses internet rata-rata dilakukan selama 9 jam sehari. Dibandingkan durasi pada 2020, tahun ini terjadi peningkatan satu jam, orang Indonesia semakin lama menatap layar gawainya.
Makin dominannya penggunaan gawai menjadi bentuk evolusi baru manusia terkait aktivitas dan pola tidurnya. Selama ribuan tahun manusia telah mengalami evolusi dari ketergantungan terhadap sinar matahari, penemuan api, hingga munculnya listrik dan lampu pijar.
Jika awalnya manusia lebih banyak beraktivitas di pagi dan siang hari karena mengandalkan sinar matahari saja, tetapi sejak penemuan bola lampu pijar pada 1879 oleh Thomas Alva Edison, manusia bisa beraktivitas di malam hari.
Dalam perkembangannya, teknologi lampu dan listrik membuat aktivitas di pabrik dan perusahaan bisa dilakukan hingga larut malam. Pola kerja manusia kemudian juga berubah dengan munculnya pekerjaan dengan sistem sif atau kerja lembur.
Berkat temuan tersebut, suasana malam tak lagi gulita. Bahkan kini mudah ditemui aktivitas warung makan, minimarket, kios sembako, warung internet, atau gim daring yang beroperasi hingga 24 jam.
Di masa kini, kehadiran gawai turut membentuk evolusi manusia terhadap aktivitasnya. Banyak kegiatan dan pekerjaan yang bisa dilakukan dengan gawai, seperti mengakses internet, berbelanja, bekerja, hingga mengerjakan tugas sekolah.
Temuan riset yang dilakukan lembaga Tuck Sleep dan Commonsense bahkan menggambarkan evolusi baru, yaitu kebiasaan manusia menggunakan gawai di tempat tidur bahkan menjelang tidur. Perubahan aktivitas tersebut sedikit banyak turut mengubah pola tidur manusia.
Padahal, idealnya sepertiga dari usia hidup manusia dihabiskan dengan tidur. Dalam sehari minimal seseorang perlu tidur 7 hingga 8 jam untuk dapat mengembalikan kebugaran psikis dan fisik.
Durasi tidur semakin berkurang dengan kebiasaan menggunakan gawai di tempat tidur. Orang yang mengalami kesulitan tidur atau insomnia memiliki berbagai potensi risiko gangguan kesehatan fisik serta psikis.
Hal ini menghadirkan bahaya, salah satunya bagi anak yang masih dalam fase pertumbuhan dan perkembangan. Caitlyn Fuller dan timnya melakukan penelitian yang dipublikasikan dalam Bedtime Use of Technology and Associated Sleep Problems in Children (2017).
Temuannya menunjukkan bahwa anak yang bermain gawai sebelum tidur cenderung mengalami obesitas. Selain itu, jam tidurnya pun lebih sedikit dibandingkan dengan anak yang tidak bermain gawai. Temuan ini tidak berhenti sampai di situ, masih ada dampak lain berupa kondisi kelelahan ketika bangun tidur, dan juga nafsu makan berkurang.
Kesehatan dan ekonomi
Kurangnya kualitas tidur juga memengaruhi kestabilan emosional seseorang. Ketika tidak cukup istirahat, maka akan mudah marah atau tersinggung, bahkan kesulitan untuk berkonsentrasi. Kondisi ini dapat mempengaruhi relasi sosial dan mudah timbul konflik antarindividu.
Dampak negatif penggunaan gawai di jam tidur juga dialami oleh kelompok usia dewasa yang menyanding gawai di tempat tidurnya. Selain persoalan kesehatan, ternyata tidur juga memiliki kaitan dengan capaian ekonomi suatu negara.
Artikel dari World Economy Forum yang berjudul Which countries get the most sleep – and how much do we really need? (2019) menunjukkan adanya keterkaitan antara durasi tidur dan kesejahteraan ekonomi masyarakat di suatu negara. Data menunjukkan bahwa mayoritas warga negara-negara Eropa tidur lebih dari 7 jam dan memiliki gross domestic product (GDP) per kapita lebih dari 30.000 dollar AS per tahun.
Tiga negara paling sejahtera di Eropa, yaitu Irlandia, Norwegia, dan Luksemburg, memperoleh GDP per kapita lebih dari 60.000 dollar AS, bahkan Luksemburg melampaui angka 100.000. Indonesia masuk pada kelompok negara yang kurang tidur, yaitu di bawah 7 jam sehari dan secara ekonomi masih berada di angka belasan ribu dollar AS nilai GDP per kapitanya. Artinya, waktu tidur warga Indonesia masih kurang dan ekonominya pun belum kuat.
Kualitas tidur
Fakta-fakta tersebut menunjukkan bahwa gangguan tidur memiliki dampak besar terhadap masalah kesehatan, psikis, hingga ekonomi. Untuk dapat meningkatkan durasi dan kualitas tidur, orang harus berkomitmen untuk mau mengurangi interaksinya dengan beragam gawai yang dimiliki.
Misalnya menerapkan aturan bahwa di dalam kamar tidak boleh ada gawai atau layar. Kemudian memberlakukan jam tidur yang disiplin sehingga tubuh dapat beristirahat secara optimal.
Cara lain yang dapat mendukung adalah menghindari minum minuman beralkohol dan juga kafein sebelum tidur. Sebab, kandungan kafein dari makanan atau minuman dapat bertahan selama 5 hingga 7 jam di dalam tubuh. Hal ini akan menimbulkan kesulitan tidur.
Dapat juga ditolong dengan menyesuaikan pencahayaan kamar tidur supaya redup dan berwarna spektrum hangat seperti warna bohlam lampu pijar. Atau bisa juga tidur dengan keadaan gelap gulita tanpa pencahayaan.
Adam Alter dalam bukunya The Rise of Addictive Technology and the Business of Keeping Us Hooked (2017) menyebutkan alasan tentang gawai sebagai penyebab orang mengalami susah tidur karena pancaran cahaya biru dari layar gawai.
Spektrum cahaya biru secara alami terpancar dari matahari pada pagi hari hingga petang. Ketika malam tiba, penerangan didominasi sumber cahaya berspektrum merah kekuningan seperti terang rembulan, atau pancaran cahaya dari api unggun atau api lilin.
Dari aspek fisiologis, spektrum cahaya biru menyebabkan otak merangsang tubuh memproduksi hormon kortisol yang dapat mengurangi rasa kantuk dan membuat orang terjaga. Sebaliknya spektrum merah kekuningan memicu hormon melatonin yang menyebabkan tubuh rileks dan bersiap untuk mengistirahatkan organ tubuh.
Seperti itulah mekanisme tubuh manusia untuk dapat bangun dan mulai tidur secara alami menurut rangsangan dari lingkungan alam. Namun, kondisi tersebut terganggu dengan aktivitas menatap layar gawai yang menyebabkan hormon kortisol mencegah seseorang untuk segera terlelap.
Berbagai cara sederhana dapat dilakukan untuk mengembalikan hak tubuh kita untuk mendapatkan cukup tidur. Siapa tahu nantinya akan meningkatkan kesehatan jasmani, rohani, serta kesejahteraan ekonomi. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : ”Why We Sleep” dan Hidup Panjang Dimulai dari Tidur Panjang