Pembangkit Energi Kunci Reduksi Emisi GRK (Bagian Satu)
Pembangkitan listrik dan transportasi menjadi dua jalan untuk mereduksi emisi gas rumah kaca bidang energi di Indonesia. Mampukah Indonesia mewujudkannya ?
Sektor pembangkitan listrik dan transportasi menjadi kunci penting keberhasilan reduksi emisi gas rumah kaca atau GRK bidang energi di Indonesia. Tanpa melakukan pembenahan signifikan di kedua sektor tersebut, niscaya target net zero emission pada tahun 2060 relatif sulit tercapai.
Implementasi kebijakan sektor energi yang bersifat ramah lingkungan bersumber dari energi baru terbarukan atau EBT harus menjadi prioritas yang mesti dilakukan sesegera mungkin.
Berdasarkan data dari Laporan Inventarisasi Gas Rumah Kaca (GRK) dan Monitoring, Pelaporan, Verifikasi (MPV), KLHK Tahun 2020 menunjukkan, ada sekitar 10 kategori bidang energi yang berkontribusi menyumbang emisi.
Dari 10 kategori ini, dua di antaranya adalah penyumbang emisi terbesar. Terdiri dari bidang pembangkitan panas dan kelistrikan hampir 44 persen dan transportasi sekitar 26 persen.
Kategori selanjutnya yang agak besar adalah industri-konstruksi dengan sumbangan emisi sekitar 17-an persen. Kategori lainnya, rata-rata berkontribusi menyumbang emisi jauh lebih kecil lagi, yakni masing-masing kurang dari 4 persen.
Seperti kelompok hunian rumah tangga; gas buang minyak, gas alam, dan bahan bakar padat; pengolahan minyak; komersial; serta pengolahan batubara.
Dari uraian tersebut menunjukkan bahwa kategori utama yang berkontribusi besar terhadap emisi GRK bidang energi di Indonesia adalah pembangkit listrik dan juga transportasi.
Kedua sektor ini menyumbang emisi sekitar 70 persen dari seluruh total emisi bidang energi. Oleh sebab itu, dalam rangka mencapai emisi nol pada tahun 2060 nanti, kedua sektor tersebut harus mendapat prioritas utama untuk segera dimitigasi emisinya.
Pengembangan pembangkit listrik berbasis EBT dan juga mengurangi jumlah kendaraan berbasis bahan bakar minyak (BBM) adalah sejumlah langkah yang harus ditempuh guna mereduksi emisi dari kedua sektor energi itu.
Hanya saja, untuk merealisasikan rencana tersebut tidaklah semudah yang dibayangkan. Besarnya ketergantungan suplai energi yang berasal dari energi fosil membuat transisi menuju energi ramah lingkungan menemukan sejumlah tantangan.
Baca juga : Pajak Karbon demi Kelestarian Lingkungan
Pengembangan pembangkitan EBT
Transisi pengembangan pembangkit listrik EBT tentu saja memiliki tantangan yang sangat besar. Berdasarkan Laporan dari Ditjen Ketenagalistrikan, Kementerian ESDM tahun 2020, Sekitar 85 persen pembangkit listrik menggunakan energi fosil. Terdiri dari PLTD 6 persen, PLTG sekitar 28 persen, dan dari PLTU batu bara kisaran 50 persen.
Pembangkit listrik yang berasal dari sumber EBT tergolong masih kecil yakni kurang dari 15 persen. Komposisi demikian menunjukkan ketergantungan yang sangat besar terhadap sumber pembangkitan fosil.
Oleh sebab itu, pemerintah berencana mulai mereduksi sumber pembangkitan fosil untuk diganti secara bertahap dengan sumber pembangkitan dari EBT. Hal ini sejalan dengan skenario Nationally Determined Contribution (NDC) yang merupakan inti dari penerapan Paris Agreement yang disepakati pemerintah Indonesia dalam konferensi COP 21.
NDC merupakan perwujudan upaya setiap negara untuk mengurangi emisi dan beradaptasi terhadap dampak perubahan iklim. Pada periode pertama, yakni pada tahun 2030, Indonesia memiliki target NDC pengurangan emisi GRK sebesar 29 persen dengan upaya sendiri dan 41 persen apabila mendapat dukungan internasional.
Terkait pengurangan emisi dari pembangkit listrik, skenario mitigasinya disesuaikan dengan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT. PLN (persero).
Berdasarkan data RUPTL PT PLN tahun 2021-2030 yang disahkan oleh Menteri ESDM pada akhir September lalu, menujukkan bahwa emisi GRK yang dihasilkan energi fosil masih akan didominasi oleh pembangkitan dari batu bara.
Pada rentang tahun 2021-2030 diperkirakan sekitar 88 persen emisi GRK dari pembangkitan energi fosil berasal dari batu bara. Sebanyak 10,5 persen dari gas alam dan sisanya kurang dari 2 persen berasal dari bahan bakar minyak (BBM).
Oleh sebab itu, untuk menekan laju emisi GRK, maka pemerintah mengeluarkan kebijakan tarif emisi yang disasarkan pertama kali pada pembangkitan energi yang menggunakan sumber energi batu bara pada tahun 2022 nanti.
Dengan pengenaan tarif tersebut maka pemerintah berupaya mendorong produsen listrik untuk mengaplikasikan teknologi mutakhir pada mesin pembangkitan energi PLTU-nya agar lebih raham lingkungan.
Akan terjadi seleksi alam dimana PLTU yang tidak ramah lingkungan akan diterminasi karena tidak efisen dan menghasilkan polutan yang besar. Dalam menuju NDC 2030 pemerintah akan berusaha menyediakan atau mempertahankan PLTU batu bara sekitar 75 persen berteknologi super kritikal dan ultra super kritikal yang memiliki dampak emisi lebih rendah.
Pada rentang tahun 2021-2030, pemerintah berencana menambah pembangkit listrik dari berbagai sumber energi sebesar 40.574 MW (MegaWatt). Bila dirinci satu per satu, pembangkit energi dari EBT yang dikembangkan pada kurun satu dekade ke depan akan sedikit lebih banyak dari pembangkitan fosil.
Sebanyak 20.922 MW atau sekitar 51 persen pembangkitan EBT akan dikembangkan dalam upaya mereduksi emisi dari sektor pembangkitan energi listrik.
Pembangkitan energi dari EBT itu terdiri dari berbagai macam sumber seperti dari panas bumi, air, matahari, angin, biomassa, dan EBT lainnya. Namun, dari semua sumber energi rendah emisi ini hanya beberapa saja yang akan dikembangkan secara masif.
Berdasarkan RPTUL 2021-2030, pengembangan pembangkitan listrik terbesar akan bertumpu pada sumber energi air. Pembangkit listrik tenaga air, PLTA dan pembangkit listrik mini dan mikro hidro, PLTM akan dikembangkan hingga sekitar 10 ribuan MW.
Selanjutnya, disusul pengembangan tenaga surya (PLTS) sebesar 4.680 MW dan pembangkitan dari panas bumi (PLTP) sebesar 3.355 MW. Ketiga sumber energi EBT ini akan mengusai sekitar 88 persen pengembangan pembangkit listrik dari kelompok non fosil dalam rentang 10 tahun ke depan.
Untuk sumber EBT lainnya seperti angin, biomassa, dan yang lain juga tetap dikembangkan. Hanya saja, dengan besaran kapasitas terpasang yang jauh lebih kecil, yakni rata-rata kurang dari 1.000 MW.
Dengan kian masifnya pengembangan pembangkit listrik EBT tersebut bukan berarti pembangkitan fosil langsung direduksi begitu saja. Sebaliknya, pembangkit listrik tenaga fosil tetap terus dikembangkan, tetapi dengan persentase yang berimbang dengan pembangkitan EBT.
Hal ini dikarenakan pembangkitan fosil memiliki keunggulan pasokan yang andal, sehingga memiliki kualitas suplai energi yang relatif konsisten. Berbeda dengan sumber pembangkitan energi dari EBT yang sebagain besar memiliki kendala intermittent atau ketidakstabilan pasokan energi.
Oleh sebab itu, dalam masa transisi energi ini pembangkitan fosil tetap dibutuhkan tetapi dengan kualitas teknologi ramah lingkungan sehingga kian minim emisi.
Pada tahun 2030 nanti, diperkirakan suplai energi listrik nasional sebagian besar sekitar 44 persen masih berasal dari batu bara. Pada saat itu, kontribusi EBT untuk pembangkitan listrik diperkirakan sudah melonjak cukup signifikan menjadi sekitar 27 persen. Sekitar dua kali lipatnya dari kondisi tahun 2020. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Transisi Dunia Menuju Energi Bersih