Walau 2022 berpotensi menjadi tahun kemenangan dari keterpurukan akibat pandemi Covid-19, bisa jadi kegoyahan stabilitas politik bakal memasung segenap capaian.
Oleh
Bestian Nainggolan
·5 menit baca
Sejatinya, skenario 2022 sebagai ”tahun kemenangan” berpeluang terwujud. Sebuah skenario kesejahteraan ketika negara, masyarakat, dan pelaku usaha mampu menggapainya setelah selama ini bergulat dalam tekanan pandemi.
Belakangan, perbaikan memang dirasakan. Kondisi kesehatan, ekonomi, dan sosial politik, tiga entitas dominan yang saling bertaut, terkendali. Ancaman Covid-19 sepanjang 2021 yang lebih buruk, tak hanya dari sisi jumlah korban terinfeksi virus, tetapi juga kematian yang ditimbulkannya, mulai ”jinak”.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Hingga pertengahan 2021, keganasan Covid-19 masih sulit ditaklukkan. Bahkan, jauh lebih ganas. Pada 2021, Covid-19 menginfeksi kurang dari sejuta orang. Tahun ini hingga pertengahan 2021, Covid-19 telah menginfeksi lebih dari tiga kali lipat menjadi 3,4 juta jiwa. Jumlah kasus kematian pun membengkak menjadi tiga kali lipat lebih banyak.
Meski sempat goyah, kekuatan bangsa mulai dapat mengatasinya. Selepas puncak gelombang kedua Covid-19, Juli 2021, perbaikan terjadi. Merujuk Indeks Pengendalian Covid-19 Kompas, Covid-19 berangsur-angsur terkendali, baik dari sisi manajemen infeksi maupun pengobatan sebagai indikator utama indeks. Skor indeks nasional kini 79, mendekati skor tertinggi 100 saat Covid-19 relatif tak lagi mengancam. Sebelumnya, skor berkisar 44, tergolong buruk.
Indeks juga mencatat, perbaikan mulai merata di berbagai wilayah. Jika sebelumnya terjadi kesenjangan pengendalian antardaerah, lambat laun menyempit. Penanganan Covid-19 antarwilayah sudah semakin merata, baik di Jawa maupun di luar Jawa.
Terkendalinya Covid-19 seiring dengan geliat perekonomian. Setelah 2020 ”babak belur” dengan pertumbuhan ekonomi -2,07 persen, belakangan gairah merebak. Produk domestik bruto (PDB) beranjak positif, tahun ini diproyeksikan 3-4 persen.
Pertumbuhan sebesar itu memang belum menyamai kondisi sebelum pandemi. Namun, ekonomi jelas menapak maju. Dari 17 sektor penopang PDB, misalnya, sebanyak 11 sektor tumbuh positif. Sektor pertambangan, informasi dan komunikasi, perdagangan, jasa keuangan, industri pengolahan, pertanian, dan tentu saja jasa kesehatan tumbuh positif. Masih ada enam sektor usaha yang terkontraksi, seperti transportasi dan pergudangan, jasa akomodasi, makanan dan minuman, serta administrasi pemerintahan.
Geliat perekonomian berelasi dengan upaya perbaikan kesehatan. Kajian Litbang Kompas, misalnya, menunjukkan, besar-kecilnya pertumbuhan produk domestik regional bruto (PDRB) per provinsi berkait dengan tingkat vaksinasi. Sejumlah provinsi yang menggenjot PDRB ditengarai memiliki tingkat vaksinasi yang tinggi pula.
Indikasi gairah ekonomi lainnya, baik di sisi produksi maupun konsumsi, juga terlihat. Hasil survei Bank Indonesia, misalnya, menunjukkan perbaikan dunia usaha setelah merosot semenjak pandemi. Sektor manufaktur, yang terdampak akibat penurunan permintaan domestik, mulai pulih. Purchasing Managers’ Index (PMI) manufaktur Indonesia kini menyentuh skor 52,2. Skor terendah, 27,5, pernah terjadi pada awal pandemi, April 2020. Indeks Penjualan Ritel (IPR) mulai bergerak meski belum mencapai level tertinggi (220) sebelum pandemi.
Di level rumah tangga, gairah perekonomian belum optimal. Hasil survei Litbang Kompas menunjukkan, hampir 80 persen responden yang pendapatannya terdampak pandemi belum banyak merasakan perbaikan. Mengatasi tekanan pendapatan itu, hasil survei juga menunjukkan upaya pemenuhan kebutuhan bersandar pada skala prioritas, yakni terpusat pada pemenuhan kebutuhan primer, seperti kebutuhan pokok dan kesehatan.
Yang juga menarik, meski pandemi menekan, ternyata juga melahirkan hasrat individu untuk berupaya kembali memenuhi kebutuhan yang tersisihkan. Adanya kecenderungan ”balas dendam” (pent up demand) pemenuhan kebutuhan, khususnya yang tersier, seperti berwisata, menjalankan hobi yang terhenti, dan perjalanan religi, mulai terlihat.
Stabilitaspolitik
Perbaikan kondisi semakin dirasakan positif sejalan dengan terjaganya stabilitas sosial dan politik. Terbukti, berbagai indikator sosial dalam kehidupan masyarakat juga beranjak membaik. Bahkan, di tengah tekanan pandemi, ikatan sosial, solidaritas, dan efikasi diri masyarakat justru menguat.
Hasil survei Juli 2021, saat gelombang kedua pandemi, ikatan sosial tercatat 18,50 dalam skala 5-25. Kini, skor ikatan sosial menjadi 18,76. Ikatan sosial yang terbilang tinggi itu ditunjukkan pula dengan berbagai aksi solidaritas sosial dalam menjaga kesehatan bersama serta pemberian bantuan material ataupun nonmaterial di lingkungan permukiman.
Solidaritas itu menumbuhkan keyakinan akan kuatnya daya tahan publik menghadapi kemungkinan munculnya gelombang baru pandemi. Pada momen semacam ini, kondisi mental psikologis masyarakat menguat. Kepercayaan diri dan keyakinan mereka mampu mengatasi pandemi (efikasi diri) menguat, sebagaimana yang ditunjukkan pada hasil survei.
Relasi politik warga terhadap pemerintah juga positif. Publik terpuaskan dan meyakini pemerintah sudah bekerja sesuai harapan. Menurut tiga survei periodik pada 2021, kinerja pemerintahan Presiden Joko Widodo dinilai positif dalam mengatasi problem, baik perekonomian, politik-keamanan, maupun penegakan hukum.
Dengan capaian itu, tampaknya pemerintah memiliki modal politik signifikan. Modal itu menjadi pendorong terciptanya stabilitas politik. Memang, kebijakan politik selepas Pemilu 2019 yang membuka ruang koalisi pemerintahan, termasuk pada kekuatan politik pesaing, juga berkontribusi terhadap stabilitas politik di saat krisis.
Namun, capaian politik yang terbangun tidak serta-merta menghilangkan keterbelahan politik, baik di level partai politik maupun masyarakat. Soliditas parpol yang terbentuk bersifat situasional dan bergantung pada peluang-peluang ke depan. Terlebih, momen Pemilu 2024 yang dinamikanya mulai intensif pada 2022. Semua ini adalah faktor paling berpotensi memilah koalisi partai.
Di level masyarakat pun, indikasi keterpilahan masih membekas sekaligus menjadi faktor laten. Hasil survei periodik Litbang Kompas menguatkan kondisi itu. Sekalipun tingkat kepuasan publik terhadap kinerja pemerintahan besar, faktanya apresiasi terpilah berdasarkan kelompok simpatisan politik. Bagi yang bukan simpatisan pendukung pemerintahan, ketidakpuasan membesar.
Dalam keterpilahan tersebut, tampaknya stabilitas politik yang terbangun belum solid. Itulah mengapa, walau 2022 berpotensi menjadi tahun kemenangan, bisa jadi kegoyahan stabilitas politik bakal memasung segenap capaian. Perlu tetap waspada. (LITBANG KOMPAS)