Kehadiran vaksin Covid 19 dan rencana vaksinasi gratis, membuat harapan normalitas kehidupan kian benderang. Namun, keberadaan vaksin dan vaksinasi di negeri ini berlamur sisi ekonomi dan politik.
Oleh
Bestian Nainggolan
·5 menit baca
Kehadiran vaksin Covid-19 dan keputusan Presiden Joko Widodo untuk memberikannya secara gratis kepada masyarakat menjadi kabar positif di penggalan akhir tahun 2020. Betapa tidak, jika sebelumnya, semenjak masa pandemi, keterancaman hidup kerap membayangi masyarakat. Dalam ancaman itu, tiada daya tangkal yang dapat diandalkan selain menerapkan protokol kesehatan, seperti dengan menjaga jarak fisik. Harapannya, langkah itu dapat mengatasi penyebaran virus SARS-CoV-2 penyebab Covid-19.
Namun, fakta yang terjadi tak sama dengan yang diharapkan. Penambahan kasus positif Covid-19 dan kematian akibat penyakit itu terus bertambah. Aktivitas kehidupan, apalagi ekonomi, kurang menggeliat. Kondisi ini membuat kehadiran vaksin dan upaya vaksinasi menjadi harapan baru yang dinilai paling potensial sebagai alternatif jalan keluar baru dari pandemi. Esensinya, dengan adanya vaksin, pencegahan Covid 19 tidak lagi sebatas menerapkan protokol kesehatan. Namun, beralih pada menantang virus dengan kekebalan tubuh.
Harapan menyegarkan semacam itu juga bersemi dalam benak publik sebulan terakhir. Hasil survei opini publik yang dilakukan Kompas, awal Desember, misalnya, menangkap sinyal terbentuknya pola penyikapan masyarakat yang lebih optimistis. Belakangan ini derajat antusiasme dan kesiapan mereka dalam meniti kehidupan di era pandemi jadi semakin membesar. Hal yang sama terhadap keyakinan diri (self-efficacy) mereka dalam mengatasi persoalan terkait dampak pandemi ini.
Proporsi kelompok masyarakat yang optimistis dalam menghadapi pandemi kini lebih besar.
Dibandingkan dengan survei sebelumnya, proporsi kelompok masyarakat yang optimistis dalam menghadapi pandemi kini lebih besar. Kali ini, tercatat ada 43,2 persen responden. Besaran proporsi itu belum pernah terbentuk di pencatatan survei sebelumnya. Pada saat bersamaan, kelompok masyarakat yang bersikap pesimistis cenderung menurun. Artinya, dalam beberapa bulan terakhir ada perubahan sikap masyarakat menjadi cenderung lebih optimistis.
Terbangunnya sikap optimistis ini seolah menjadi kontradiktif dengan kondisi faktual yang mereka alami. Pasalnya, bagaimana menjelaskan optimisme dapat terbangun di tengah kondisi yang sudah sedemikian menekan? Dalam kehidupan ekonomi rumah tangga, misalnya, sudah tiga perempat bagian responden yang mengalami penurunan penghasilan keluarga.
Sejalan dengan penurunan penghasilan, berbagai upaya logis dilakukan. Paling menonjol, antara lain, mengurangi pemenuhan kebutuhan yang bersifat tersier dan sekunder. Pada sisi yang sama, mereka pun mulai menata pemenuhan kebutuhan primer, seperti penghematan dalam pemenuhan kebutuhan pokok.
Jawaban paling realistis dari dua sisi yang seolah kontradiktif ini terkait dengan semakin masifnya wacana vaksin Covid-19. Dalam kondisi ekonomi yang kian mendesak dan ancaman Covid 19 yang belum reda, tampaknya cukup beralasan jika kehadiran vaksin dan upaya vaksinasi menjadi sintesis yang lebih prospektif.
Upaya pemerintah untuk secepatnya mendatangkan vaksin dan menjalin kerja sama pemroduksian vaksin di dalam negeri menjadi kabar yang membangkitkan harapan. Kondisi ini secara tidak langsung tecermin dari penilaian publik yang kini lebih besar merasa puas (54,4 persen) dengan kinerja pemerintah dalam mengatasi pandemi. Selain itu, tidak kurang dari dua pertiga responden (67,9 persen) yang merasa yakin jika pemerintah mampu mengatasi pandemi. Tingkat kepuasan dan keyakinan masyarakat itu akan semakin besar setelah rencana pemerintah mulai diwujudkan, seperti dengan mulai datangnya vaksin Covid 19.
Politik dan ekonomi
Hanya saja, vaksin dan vaksinasi tampaknya tak dapat dipandang sebatas pada harapan manfaatnya. Dimensi lain, seperti ekonomi dan politik, menyertainya. Saat ini nilai guna vaksin dan vaksinasi telah bertransformasi menjadi suatu komoditas yang dalam ruang ekonomi dan politik kerap dipertukarkan. Kondisi ini membuka persoalan-persoalan pelik baru, baik pada level produksi, distribusi, maupun konsumsi.
Khusus terkait konsumsi, hal yang paling menonjol terindikasi adalah ekspresi penerimaan dan penolakan masyarakat. Hasil survei menunjukkan tak semua responden bersedia divaksinasi. Dari mereka yang bersedia divaksinasi pun, sebagian masih ada beberapa keraguan. Hasil survei ini juga menunjukkan, berbagai pertimbangan politis hingga ideologis ikut di keputusan, baik penerimaan maupun penolakan masyarakat.
Sebagai gambaran, apabila minat divaksinasi ditanyakan kepada responden, sedikitnya ada 55 persen responden yang berminat. Sisanya 22 persen masih ragu-ragu dan 23 persen kurang atau sangat tidak berminat. Jika persoalan ekonomi vaksin ditambahkan, kelompok yang ragu-ragu meluruh. Namun, mereka yang tetap menolak divaksinasi tersisa 24 persen responden.
Dengan demikian, hasil survei ini menyiratkan ada 76 persen responden yang dapat dikategorikan sebagai kelompok yang menerima vaksin. Dari kelompok ini, jika dielaborasi lebih jauh, 44 persen menyatakan kesediaan dengan persyaratan tidak berbayar (gratis). Sisanya bersedia membayar dengan syarat sesuai dengan kemampuan (22 persen). Sebagian lainnya bersedia, tetapi bergantung pula pada subsidi pemerintah (8 persen). Ada pula 2 persen responden yang bersedia membayar tanpa mempertimbangkan harga.
Derajat penerimaan dan penolakan vaksin dan vaksinasi juga berelasi dengan sikap politik responden. Hal ini terlihat dengan adanya sentimen politis vaksin yang di antaranya didasarkan pada pertimbangan negara asal pemroduksi vaksin. Terhadap vaksin yang diproduksi dari China, derajat penolakan membengkak menjadi 35 persen. Terhadap vaksin yang diproduksi Amerika Serikat dan negara-negara Eropa, derajat penolakannya sedikit lebih rendah (30 persen). Sementara jika vaksin diproduksi dalam negeri, penolakan hanya disampaikan oleh 12 persen responden.
Potensi penolakan sesungguhnya terhadap vaksin hanya 12 persen.
Dengan demikian, potensi penolakan sesungguhnya terhadap vaksin hanya 12 persen. Inilah kelompok yang secara ideologis menolak vaksin.
Becermin pada hasil survei, resistensi terbesar terhadap vaksin dan vaksinasi paling menonjol di kelompok masyarakat ekonomi bawah. Kelompok ini pula yang paling menonjol bersikap pesimistis sepanjang masa pandemi. Dengan demikian, kebijakan mengurangi beban ekonomi, seperti penggratisan vaksin, potensial menekan resistensi. Namun, jika tembok resistensi politis dan ideologis yang terbangun sedemikian kokoh, strategi lainnya diperlukan guna menerangi lorong pandemi ini. (TAN)