Pengembangan wisata Danau Toba perlu dibarengi dengan wawasan kepariwisataan, terutama dengan menarik garis hubung antara berkah alam, jejak sejarah, dan kekayaan rasa. Sudahkah Anda ke Danau Toba untuk mengalaminya?
Oleh
Arita Nugraheni
·4 menit baca
Akses baru dari Bandara Silangit membuat ibu kota Kabupaten Toba ini berada di peta jalan menuju destinasi utama di Pulau Samosir. Rasanya sayang jika berkah alam dan budaya di pesisir selatan Danau Toba ini dilewati begitu saja.
Bandara Internasional Silangit di Siborong-borong, Kabupaten Tapanuli Utara, resmi dibuka oleh Presiden Joko Widodo pada 24 November 2017. Sejak saat itu, jalur udara menuju kawasan Danau Toba tidak lagi terpusat di Bandara Internasional Kuala Namu di Kabupaten Deli Serdang.
Dibukanya bandara ini membuat Balige berada di peta jalan menuju destinasi utama Danau Toba di Pulau Samosir. Jarak tempuh ke ibu kota Kabupaten Toba ini hanya 20 kilometer melalui Jalan Lintas Tengah Sumatera. Berkat kondisi jalan yang baik, Balige dapat dicapai kurang dari satu jam.
Pembukaan penerbangan internasional ini pun terbukti menarik wisatawan. Badan Pusat Statistik melaporkan, sebanyak 9.547 penumpang berkebangsaan asing masuk melalui Bandara Silangit pada 2019.
Jumlah tersebut hampir empat kali lipat dari kunjungan di tahun 2018 yang tercatat sebanyak 2.515 orang. Memasuki masa pandemi Covid-19 di tahun 2020, wisatawan asing yang masuk ke bandara ini pun masih tercatat sebanyak 2.071 orang.
Terbukanya akses dan animo wisatawan memilih jalur selatan untuk mengeksplorasi kawasan Danau Toba menjadi modal yang perlu disadari dalam rangka pengembangan wisata di Balige.
Tak berlebihan jika pemangku kebijakan dan pelaku usaha perlu mengambil langkah serius untuk menonjolkan potensi alam dan budaya di Balige.
Selain memperkaya destinasi wisata di kawasan Danau Toba, pengembangan wisata di Balige akan turut berkontribusi dalam upaya pemerintah mengembangkan Danau Toba sebagai destinasi superprioritas di Indonesia, bersamaan dengan Borobudur, Likupang, Mandalika, dan Labuan Bajo.
Balige adalah satu dari enam belas kecamatan di Kabupaten Toba, Sumatera Utara. Potensi wisata di Balige tidak hanya didukung oleh kemudahan akses, tetapi juga kesiapan akomodasi yang lebih baik dibandingkan kecamatan lainnya.
Pada 2020, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Toba mendata 30 akomodasi dengan 612 tempat tidur di Kecamatan Balige. Jumlah tersebut meningkat hampir dua kali lipat dibandingkan tahun 2016 yang tercatat sebanyak 16 akomodasi.
Secara geografis, Balige menawarkan keberagaman alam, dari landskap perbukitan hingga pesisir. Perjalanan Kompas pada Selasa (12/10/2021) menyingkap potensi kelana alam di Balige yang terhampar berkat proses geologis ribuan tahun lalu. Tebing-tebing curam, lekuk perbukitan, dan birunya danau terbentang sejauh mata memandang.
Tiba di pusat kota, jejak-jejak sejarah peradaban suku bangsa Toba pun terekam di setiap sudut. Salah satu kelana sejarah yang bisa dirujuk adalah Museum Batak dan Huta Batak yang berada di kompleks TB Silalahi Center.
Huta Batak adalah miniatur dari perkampungan kuno keluarga Toba. Delapan bangunan yang berdiri elok terdiri dari empat bangunan rumah, tiga sopo berdinding, dan satu sopo partungkoan. Bangunan-bangunan tersebut merupakan rumah asli yang berusia ratusan tahun milik keluarga di kawasan Toba.
Dalam miniatur perkampungan keluarga Batak tersebut juga tumbuh Pohon Hariara. Pohon sejenis beringin ini umumnya ditanam di belakang Huta Batak dan merepresentasikan fondasi spiritual orang Batak.
Jejak sejarah yang juga menarik perhatian adalah Onang Balerong. Onang Balerong merupakan bangunan yang terdiri atas enam deretan rumah adat berhias lukisan gorga dan ornamen arsitektur Batak. Bangunan ini didirikan penjajah Belanda pada tahun 1936 yang kini dimanfaatkan sebagai pasar tradisional.
Sayangnya, keberadaan bangunan tua itu memprihatinkan. Kawasan bangunan itu tampak kumuh karena pengelolaan sampah dan saluran air yang kurang baik. Padahal, pasar tradisional memiliki daya pikat bagi wisatawan yang tertarik mengenal lokalitas.
Di pasar tradisional, wisatawan dapat berkenalan dengan makanan, bumbu, atau pernak-pernik dapur yang digunakan sehari-hari oleh masyarakat setempat. Pasar juga menjadi media hubung untuk menonjolkan kuliner khas daerah.
Di malam hari, kawasan Onan Balerong pun masih dapat dimanfaatkan sebagai destinasi kelana budaya dan rasa. Wisata malam yang sudah menjadi ”agenda wajib” para pelancong perlu pula diartikulasikan dalam pengembangan sebuah kawasan wisata.
Penjelajahan Kompas dengan praktisi kuliner Santhi Serad tak luput memperhatikan sajian makanan di kawasan Balige. Makanan khas yang ditemukan di lapo-lapo (sebutan untuk warung makan tradisional) cukup mampu mengenalkan masakan Toba kepada wisatawan.
Namun, ketersediaan makanan dengan sentuhan bumbu andaliman, kecombrang, dan bawang Batak yang menjadi ciri masakan Batak justru belum muncul di restoran-restoran besar. Celah ini perlu diisi dengan menghadirkan makanan lokal di restoran berorientasi pada wisatawan.
Selain itu, penyediaan makanan juga perlu memperhatikan kehalalan produk. Langkah ini untuk memberikan jaminan kepada wisatawan Muslim yang ragu saat hendak menyantap sajian khas Toba.
Faktor kehalalan ini pun disampaikan Deputi Bidang Produk Wisata dan Penyelenggaraan Kegiatan Kemenparekraf Rizki Handayani dalam konferensi internasional ”Heritage of Toba: Natural and Cultural Diversity” di Kabupaten Toba pada Rabu (13/10/2021).
Perhatian ini selaras dengan dominasi wisatawan asing yang berasal dari negara dengan mayoritas pemeluk Islam. BPS mencatat, hampir 90 persen wisatawan asing yang masuk melalui Badara Silangit berasal dari Malaysia.
Akhirnya, menonjolkan kekhasan daerah perlu dibarengi dengan wawasan kepariwisataan. Menarik garis hubung antara berkah alam, jejak sejarah, dan kekayaan rasa membuat sebuah kawasan mampu bercerita kepada pengelana. (LITBANG KOMPAS)