Pembelajaran tatap muka terbatas dilakukan untuk menghindari efek “learning loss” atau menurunnya kualitas belajar. Dalam praktiknya, belum semua sekolah efektif menjalankannya karena tergantung kesiapan daerah.
Oleh
Kendar Umi Kulsum
·5 menit baca
Sesuai dengan Surat Edaran No. 4 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Pembelajaran Tatap Muka Tahun Akademik 2021/2022 yang diterbitkan tanggal 13 September 2021, pelaksanaan pembelajaran tatap muka terbatas (PTM) berlangsung dengan protokol kesehatan yang ketat.
Salah satu ketentuan PTM yakni kelas hanya boleh terisi setengah dari biasanya. Selain itu, durasi belajar hanya tiga jam. Ketentuan lainnya yaitu sistem belajar hybrid yang menerapkan belajar secara luring dan daring. Sistem belajar hybrid ini menyita energi guru lebih besar karena harus membagi perhatian antara siswa luring dan daring.
Konsekuensi dari pembatasan jumlah siswa dan jam belajar mengakibatkan intensitas penggunaan ruangan kelas pun harus dibagi dalam banyak kelompok. Sekolah dasar negeri yang memiliki siswa kelas pagi dan kelas siang, misalnya, akan lebih sedikit lagi peluang untuk menikmati belajar di ruang kelasnya.
Akibatnya, banyak siswa sekolah dasar yang hanya mendapat jadwal atau kesempatan dua hari dalam satu minggu pergi ke sekolah, selebihnya belajar di rumah. Ada pula yang mendapatkan jadwal masuk sekolah sebulan dua kali tatap muka akibat belum siapnya sekolah menggelar PTM.
Sementara itu, UNESCO mengingatkan bahwa kualitas pembelajaran jarak jauh tetap harus dijaga seiring dimulainya pelaksanaan PTM terbatas. Di sinilah tantangan guru dan pihak sekolah yang harus tetap kualitas penyampaian materi pelajaran agar tetap tersampaikan kepada siswa dengan baik.
Meskipun model campuran luring dan daring dilaksanakan, tetapi efektivitasnya diragukan. Keraguan itu salah satu faktornya karena fasilitas yang dimiliki di setiap sekolah terutama di daerah belum tentu sesuai dengan ketentuan modul yang disyaratkan pada penyelenggaraan PTM. Belum lagi ditambah faktor koneksi internet di daerah yang kecepatannya tidak seoptimal di perkotaan.
Lain halnya dengan Dinas Pendidikan DKI Jakarta yang mewajibkan para guru, siswa, dan orang tua siswa di sekolah negeri mengisi modul syarat PTM dengan platform yang sama seperti halnya sekolah swasta. Infrastruktur dan kecepatan internet di Provinsi DKI Jakarta relatif sangat mendukung belajar secara hybrid.
Modul pelaksanaan PTM yang digunakan terpaku pada blended learning atau metode belajar dimana proses belajar tatap kelas berpadu dengan proses e-learning yang kadang-kadang tanpa mempertimbangkan fasilitas yang dimiliki sekolah dan siswa. Karena itu, sejumlah pihak meragukan efektivitas PTM terutama terkait dengan optimal atau tidaknya materi pelajaran dipahami dengan baik oleh siswa. (Kompas, 30 September 2021)
Pelaksanaan PTM
Dalam salah satu webinar Kemendikbudristek, 25 September 2021, dipaparkan belum semua daerah efektif menjalankan Pembelajaran Tatap Muka (PTM), karena terkait kesiapan setiap daerah. Hingga saat ini hampir semua (90 persen) sekolah di kota atau kabupaten sudah mendapat izin melakukan PTM. Akan tetapi realisasi dan kemampuan masing-masing daerah dalam menjalankan PTM berbeda-beda.
Dilihat dari level provinsi, PTM Jawa Timur tergolong tinggi. Untuk sekolah SMA, SMK dan SLB terdapat 3.944 dari 4.730 atau 83 persen sekolah yang menjalankan dengan pola PTM Terbatas. Total siswa tingkat SMA, SMK, SLB yang melaksanakan PTM sejauh ini diperkirakan sebanyak 1,1 juta siswa.
Di tingkat kota, Batam juga menjalankan PTM yang meliputi 44 persen sekolah. Kota Tangerang di Banten sudah mencapai 41 persen. Hingga awal Oktober, masih terdapat 64 persen kota yang belum membuka kesempatan untuk PTM karena belum diizinkan oleh Satgas Covid setempat.
Data Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah Kemendikbudristek menyebutkan, provinsi yang terendah melaksanakan PTM adalah DKI Jakarta yakni baru 6 persen.
Secara keseluruhan, dashboard Kemendikbudristek memperlihatkan kesiapan sekolah melakukan PTM baru sekitar 59,56 persen satuan pendidikan dari total 537.331 satuan pendidikan. Ini mengisyaratkan bahwa separuh sekolah belum siap melakukan pembukaan sekolah.
Di sisi lain, aktivitas berkumpul bagi siswa di sekolah pada masa pandemi pun dipertanyakan beberapa pihak. Koalisi Selamatkan Anak Indonesia menyangsikan pelaksanaan PTM karena dianggap berpotensi membahayakan kesehatan peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan.
Alasannya, pelaksanaan PTM tidak didasarkan pada data epidemiologis yang akurat. Selain itu, perencanaan pelaksanaan PTM masih dianggap lemah. Koalisi Selamatkan Anak Indonesia juga melihat penegakan protokol kesehatan di sekolah tidak maksimal. Hal itu karena belum semua siswa pada tingkat pendidikan dasar dan menengah mendapatkan vaksin.
Situasi PTM yang dianggap masih sangat berisiko bagi kesehatan anak didik dan para pendidik didasarkan atas fakta tentang banyaknya kematian guru karena Covid-19. Paling tidak, tercatat sebanyak 1.244 guru meninggal selama pandemi, 351.336 anak terinfeksi Covid-19, dan 777 anak meninggal karena Covid-19.
Cluster sekolah
Kekhawatiran itu cukup beralasan yang terbukti dari hasil tes acak yang dilakukan Dinas Kesehatan Kota Tangerang. Tes itu menemukan 25 siswa, satu orang guru dan pegawai tata usaha positif Covid-19. Kasus ini diketahui setelah tes acak di 18 dari 120 SMP Kota Tangerang yang sedang melakukan PTM. (Kompas, 1 Oktober 2021)
Kejadian lain yakni pada pekan ketiga September 2021 di DKI Jakarta ada tujuh sekolah ditutup karena temuan kasus positif Covid-19. Antara lain di SD Klender 03 ada 2 siswa positif Covid-19, kemudian di SDN Pondok Rangon 02 terdapat satu siswa positif Covid-19. Sementara itu kasus guru yang tertular ditemukan di SMK 66 Jakarta Timur dan SMP PGRI Jakarta.
Sementara itu pada 20 September 2021 saat Dinas Kesehatan Purbalingga Jawa Tengah melakukan rapid testantigen massal pada 350 siswa, ditemukan 90 siswa SMPN Mrebet Purbalingga terkonfirmasi positif Covid-19. Di kawasan Mrebet Kabupaten Purbalingga tersebut, kehadiran fisik di sekolah sudah dimulai meskipun belum keluar aturan resmi PTM Terbatas. Diduga hal inilah yang menjadi penyebabnya.
Semangat menjalankan PTM patut diapresiasi karena bagaimanapun juga para peserta didik sudah satu setengah tahun lebih belajar di rumah. Relasi antara pendidik dan peserta didik harus kembali dibangun dengan pertemuan fisik disertai protokol kesehatan yang ketat demi menghindari kembali merebaknya kasus-kasus Covid-19. (LITBANG KOMPAS)