Anomali Relasi Demokrasi dan Kemerdekaan Pers
Anomali mewarnai kehidupan demokrasi dan kemerdekaan pers yang cenderung tidak seirama. Berbeda dengan indeks demokrasi yang menunjukkan penurunan, skor indeks kebebasan pers nasional justru meningkat.
Kualitas demokrasi idealnya sejalan dengan kualitas kemerdekaan pers. Sayangnya, tidak demikian yang berlangsung pada banyak wilayah di negeri ini. Demokrasi dan kemerdekaan pers cenderung tidak seiring berjalan.
Dalam waktu yang tidak berselang jauh dengan hari kemerdekaan negeri ini, dua indeks politik yang mencerminkan kondisi kebebasan terpublikasikan.
Pertama, Indeks Demokrasi Indonesia (IDI), indeks yang mencermati kualitas demokrasi berdasarkan tiga aspek: kebebasan sipil, hak-hak politik, dan kelembagaan demokrasi di negeri ini.
Indeks yang sejak 2009 rutin dipublikasikan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) ini memotret 11 variabel dan 30 indikator. Saat ini, skor indeks sebesar 73,66, atau dalam kategori ”sedang”. Namun, dibandingkan dengan tahun sebelumnya, terjadi sedikit penurunan.
Kedua, Indeks Kemerdekaan Pers (IKP), suatu indeks yang mencermati kualitas kemerdekaan pers di negeri ini berlandaskan tiga dimensi: lingkungan fisik dan politik, lingkungan ekonomi, dan lingkungan hukum kemerdekaan pers. Dalam dimensi tersebut, terelaborasi lagi menjadi 20 variabel pengukuran, yang dalam banyak hal bersentuhan dengan pencermatan kondisi demokrasi.
Berbeda dengan IDI yang menunjukkan penurunan, skor IKP nasional justru meningkat. Skor saat ini sebesar 76,02 sementara tahun sebelumnya, sebesar 75,27. Kendati demikian, kedua skor tersebut sama-sama menunjukkan jika kategori kemerdekaan pers di negeri ini ”cukup bebas”.
Pada tataran konseptual, kedua indeks tentu saja berkorelasi secara positif. Artinya, semakin tinggi kualitas demokrasi yang terbangun di suatu wilayah, maka sedemikian tinggi pula kondisi kemerdekaan persnya.
Begitu juga sebaliknya, semakin rendah kualitas demokrasi maka semakin rendah pula kondisi kemerdekaan persnya. Mengapa kedua entitas tersebut sepatutnya saling berkorelasi positif?
Bagaimanapun, demokratis atau tidaknya suatu kondisi akan selalu ditentukan oleh derajat kebebasan individu yang terwujud. Kebebasan yang dimaksud, meliputi kebebasan berekspresi, berpendapat, berkumpul dan berserikat, berkeyakinan, ataupun kebebasan dari diskriminasi. Semua ini menjadi bagian yang tidak terlepaskan dari dimensi kebebasan sipil sebagaimana yang dicermati oleh indeks demokrasi.
Kebebasan sipil juga menjadi prinsip yang lekat dengan kemerdekaan pers. Pers yang bebas dan merdeka, ditandai oleh terbangunnya iklim kebebasan para jurnalis, baik dalam berserikat hingga terbebaskan dari diskriminasi, ancaman fisik, hingga intervensi setiap kekuatan politik ataupun ekonomi dari pemilik ataupun penguasa negara. Dengan fungsi-fungsi yang diembannya, tidak mengherankan jika pers selalu dikaitkan sebagai salah satu pilar demokrasi.
Hanya, jika kedua entitas politik disandingkan saat ini, tampaknya masih belum terbentuk korelasi yang signifikan. Setidaknya, dengan membandingkan kedua hasil indeks, kecenderungan kualitas demokrasi yang terbangun setiap tahun di negeri ini masih kurang signifikan berelasi dengan perkembangan kemerdekaan pers.
Semenjak tahun 2009 pencatatan kualitas demokrasi dilakukan, hingga kini terjadi fluktuasi kondisi. Ada kalanya IDI meningkat, tetapi dalam beberapa waktu terjadi penurunan. Baru semenjak tahun 2016 terjadi peningkatan yang relatif stabil hingga mencapai puncak pada 2019. Namun, sejak tahun 2020 angka indeks kembali menurun.
Agak berbeda dengan kualitas kemerdekaan pers di negeri ini. Dalam pencatatan IKP, sejak 2017 hingga 2021 (pencatatan kondisi tahun 2020) terjadi peningkatan yang justru konsisten. Bahkan, kondisi demokrasi yang dinilai menurun setahun terakhir ini justru dalam kemerdekaan pers terjadi peningkatan.
Jika dicermati lebih jauh, relasi yang tidak signifikan tersebut semakin tergambarkan dalam variabel pengukurannya. Sejatinya, aspek kebebasan sipil yang menjadi variabel kunci dalam IDI akan berjalan searah dengan indeks kemerdekaan pers.
Namun, faktanya jika dielaborasi berdasarkan setiap wilayah provinsi di negeri ini, tidak mencerminkan pola tersebut. Setiap wilayah provinsi membentuk suatu konfigurasi hubungan yang tidak berpola dan menyebar.
Bagi Provinsi Maluku Utara, Papua, Papua Barat, Gorontalo, yang dalam aspek kebebasan sipilnya berada di atas rata-rata kondisi kebebasan sipil nasional, didapati kondisi kemerdekaan persnya masih di bawah angka kondisi nasional. Bahkan, Bali dan DKI Jakarta yang dalam aspek kebebasan sipilnya tergolong paling atas di negeri ini, kemerdekaan persnya justru di bawah rata-rata kondisi nasional.
Sebaliknya, terdapat provinsi dengan kualitas kemerdekaan pers yang tergolong tinggi, tetapi didapati kebebasan sipilnya di bawah rata-rata nasional. Sebagai gambaran, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatera Barat, ataupun Sulawesi Selatan yang memiliki catatan kemerdekaan pers jauh di atas rata-rata, justru derajat kebebasan sipilnya di bawah rata-rata nasional.
Terlepas dari anomali yang tergambarkan, dengan menggabungkan kedua indeks politik ini, terbukti cukup mampu menggambarkan konfigurasi dari setiap provinsi dalam upaya mengejar kualitas demokrasinya. Setidaknya, tergambarkan tiga konfigurasi kondisi politik setiap provinsi.
Pertama, wilayah demokrasi yang subur. Pada wilayah ini dapat terkelompokkan di mana kehidupan demokrasi dan kemerdekaan persnya berada di atas capaian rata-rata nasional. Dengan menggunakan kondisi tahun 2020 sebagai acuan, maka setidaknya terdapat 16 provinsi yang tergolongkan dalam kelompok demokrasi subur ini. Provinsi Kepulauan Riau, Riau, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Jawa Tengah, Yogyakarta, masuk di antaranya.
Kedua, merupakan wilayah sebaliknya, kualitas demokrasi yang tergolong rendah. Dikatakan rendah, lantaran pada wilayah ini capaian IDI dan IKP nya tergolong masih di bawah rata-rata nasional. Apabila dihitung, setidaknya terdapat enam provinsi dalam kelompok demokrasi rendah. Keenamnya meliputi: Provinsi Papua, Papua Barat, Maluku Utara, Sulawesi Tenggara, Jawa Timur, hingga Sumatera Utara.
Ketiga, merupakan kelompok wilayah yang tergolong problematik. Dikatakan demikian, oleh karena kondisi IDI dan IKP pada kelompok provinsi ini tidak berelasi kuat. Pola hubungan antara kedua indeks cenderung bersifat anomali.
Baca Juga: Kualitas Demokrasi Indonesia Menurun
Di satu sisi terdapat wilayah dengan kondisi demokrasi tinggi, di atas rata-rata nasional. Namun, di sisi lain justru kondisi kemerdekaan persnya relatif rendah. Begitu juga sebaliknya, provinsi yang tinggi IKP, tetapi diiringi capaian IDI di bawah rata-rata nasional.
Dalam kelompok ini, setidaknya terdapat 12 provinsi. Bali, DKI Jakarta, Gorontalo, Banten, dan Aceh, tinggi dalam kualitas demokrasi, tetapi rendah dalam kemerdekaan persnya. Akan tetapi, bagi Maluku, Sulawesi Barat, Lampung, Bengkulu, Sumatera Barat, Jawa Barat, dan Sulawesi Selatan, yang relatif tinggi kebebasan persnya diiringi IDI yang rendah. (LITBANG KOMPAS)
Baca Juga: Kemerdekaan Pers Tertinggi Bukan di Ibu Kota