Melihat Peluang Terbentuknya Kekebalan Komunitas Covid-19 di Indonesia
Semakin cepat dan meratanya program vaksinasi Covid-19 membuka peluang semakin cepat terbentuknya kekebalan komunitas di Indonesia.
Vaksinasi masif menjadi langkah pengendalian pandemi korona melalui pembentukan kekebalan komunitas. Tantangan besar dihadapi Indonesia untuk mencapai kekebalan komunitas, mengingat jangkauan vaksinasi belum maksimal dan laju penularan Covid-19 masih cukup tinggi.
Dua langkah dilakukan Pemerintah Indonesia untuk menangani infeksi Covid-19 melalui 3T dan vaksinasi. Apabila pemeriksaan, pelacakan, dan perawatan (3T) adalah upaya untuk mengetahui tingkat keparahan infeksi, maka vaksinasi menjadi upaya lanjutan untuk memutus rantai infeksi virus korona.
Pemberian vaksin mampu membentuk antibodi Covid-19 di dalam tubuh manusia tanpa perlu terinfeksi. Antibodi tersebut berperan penting untuk mengunci pintu masuk virus ke dalam tubuh manusia, yaitu reseptor ACE-2. Oleh sebab itu, makin banyak populasi divaksin, maka kekebalan yang terbentuk akan meningkat ke lingkup komunitas.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan kekebalan komunitas sebagai kemampuan tubuh manusia di area tertentu untuk melawan infeksi. Jumlah minimun populasi yang perlu memiliki antibodi adalah 70 persen, sehingga sisa populasi lain masuk kategori lebih aman karena virus tidak bisa bereplikasi di tubuh manusia dengan bebas.
Untuk mencapai kekebalan komunitas, ada empat syarat yang perlu dipenuhi, yaitu tingkat penularan, efektivitas jenis vaksin yang dipakai, jangkauan vaksin, dan lama sistem imunitas atau antibodi bertahan. Sayangnya, Indonesia termasuk negara yang belum mapan dengan syarat kekebalan komunitas tersebut.
Urgensi perbaikan pengendalian pandemi makin menguat, sebab WHO dan Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (CDC) Amerika Serikat menegaskan, bahwa kekebalan komunitas bisa gagal terbentuk apabila tingkat penularan tidak terkendali dan vaksinasi berjalan tidak merata dan tepat sasaran. Oleh sebab itu, ketimpangan stok dan diabaikannya kelompok rentan di Indonesia menjadi cacatan serius dalam pencapaian kekebalan komunitas.
Dari sisi tingkat penularan, laju angka kasus positif di Tanah Air masih sangat tinggi, jauh melebihi standar WHO yaitu lima persen. Hingga akhir Agustus 2021, angka kasus positif masih sekitar 10-15 persen. Artinya, dari sepuluh orang yang dites, maka sedikitnya satu orang yang terkonfirmasi positif.
Capaian tersebut sebenarnya harus dievaluasi, sebab Indonesia memasukkan hasil pemeriksaan antigen. Padahal, tes antigen memiliki validitas jauh lebih rendah daripada tes PCR. Apabila hanya menghitung dari tes PCR, maka laju kasus positif melonjak di atas 30 persen.
Kondisi tersebut menjadi gambaran jelas, bahwa tingkat penularan atau transmisi lokal masih sangat masif terjadi. Transimisi lokal ini berpotensi kembali bertambah seiring pelonggaran pembatasan mobilitas seperti pembukaan mal, sekolah, dan kantor.
Menahan infeksi
Langkah awal untuk mencapai kekebalan komunitas di Indonesia adalah meningkatkan konsistensi kebijakan terkait perbaikan pemeriksaan, pelacakan, dan perawatan. Tiga poin perbaikan tersebut menjadi indikator untuk melihat laju infeksi yang tengah terjadi. Apabila laju infeksi belum terkendali, maka populasi terinfeksi dan kematian naik tajam, sehingga pembentukan antibodi secara komunal akan terhambat.
Dalam dua pekan terakhir, capaian pemeriksaan Indonesia belum mencapai titik ideal. Bahkan, secara kuantitas sangat jauh dari target 400.000 orang per hari. Jumlah pemeriksaan harian masih tersendat di angka 125.000 orang per hari. Jumlah terendahnya adalah 74.324 orang pada 23 Agustus 2021.
Secara global, Indonesia termasuk negara dengan pemeriksaan terendah. Performa pemeriksaan per satu juta penduduk di Indonesia berada di peringkat ke-156. Capaian ini jauh lebih rendah dari Vietnam, Kamboja, Malaysia, dan Singapura.
Minimnya pemeriksaan memiliki kaitan erat dengan pelacakan. Berdasarkan data Kemenkes RI pada 27 Agustus 2021, pelacakan untuk satu kasus positif sebanyak 6,77 orang per minggu. Jumlah tersebut tercatat rendah, sebab target Indonesia adalah 15 orang per satu kasus.
Dengan keterbatasan pemeriksaan dan pelacakan, laju infeksi Covid-19 tercatat masih sangat tinggi, yaitu di atas 20 persen. Perhitungan laju infeksi ini difokuskan terhadap angka pemeriksaan menggunakan tes PCR, tanpa digabung dengan tes antigen. Kondisi saat ini tentu kontraproduktif terhadap upaya pencapaian kekebalan komunitas, sebab semakin besar peluang terjadi infeksi dan kematian penduduk.
Dalam konsep kekebalan komunitas, upaya pencegahan penularan virus perlu diimbangi dengan program vaksinasi, khususnya kelompok-kelompok rentan. Apabila diketahui tingkat keparahan infeksi di tingkat komunitas, percepatan vaksinasi yang diimbangi protokol kesehatan publik dapat membantu menekan penyebaran virus.
Meski demikian, seiring dengan proses vaksinasi yang terus berjalan, Pemerintah Indonesia tetap perlu untuk lebih serius untuk memperbaiki pemeriksaan dan pelacakan. Karena tanpa diiringi kebijakan pencegaha, program vaksinasi belum tentu dapat mengimbangi laju penularan Covid-19 yang masif.
Perkuat vaksinasi
Dari aspek vaksinasi, ada tiga parameter yang menjadi ukuran untuk melihat keberhasilan pembentukan kekebalan komunitas, yaitu efektivitas vaksin, jangkauan vaksin, dan lama sistem imunitas terhadap Covid-19 bertahan di dalam tubuh.
Indonesia telah menyediakan setidaknya enam jenis vaksin, yaitu Sinovac, Sinopharm, Moderna, AstraZeneca, Pfizer, dan Novavax. Semua jenis vaksin tersebut telah mendapatkan ijin edar dari WHO dan BPOM Indonesia.
Efikasi vaksin telah diuji dan memenuhi standar kesehatan, termasuk mampu melawan infeksi virus korona. Namun, desain vaksin Covid-19 bukan untuk mencegah infeksi secara total, melainkan efektif untuk melindungi dari gejala berat dan kematian.
Efektivitas vaksin juga diklaim mampu menghadapi infeksi varian baru dari SARS-CoV-2, seperti varian Delta. Catatan pentingnya adalah pembentukan antibodi akan maksimal pada periode dua minggu setelah vaksinasi.
Selain kualitas vaksin, jangkauan ke berbagai daerah perlu ditingkatkan agar makin banyak individu yang mendapatkan vaksin. Indonesia menghadapi permasalahan cukup serius dalam pemerataan distribusi vaksin, sehingga banyak daerah dengan persentase penduduk belum tervaksin lebih dari 80 persen.
Ketimpangan stok vaksin terlihat di sejumlah daerah, seperti Jakarta yang mendapat jatah vaksin tertinggi sehingga capaian vaksinasi dosis kedua hampir mencapai 70 persen. Sementara Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur dengan stok vaksin yang tinggi, namun capaian vaksin kedua kurang dari 20 persen.
Tak hanya dari sisi pemerataan, kelompok rentan yang meliputi lansia dan tenaga kesehatan juga banyak yang lebih tervaksin, khususnya daerah di luar Jawa dan Bali. Ketimpangan distribusi dan diabaikannya kelompok rentan menyebabkan sulitnya terbentuk kekebalan komunitas.
Vaksinasi harus dilakukan merata ke minimal 70 persen populasi, agar kelompok rentan yang tidak bisa menerima vaksin terlindungi sebab telah muncul antibodi virus di dalam tubuh. Oleh sebab itu, saat akses vaksin ke kelompok rentan terganggu, maka laju infeksi tidak terbendung dan berpotensi memperparah situasi pandemi.
Pemerintah Indonesia harus bergegas melakukan perbaikan penanganan pandemi, khususnya meningkatkan capaian dan pemerataan vaksinasi. Hal ini perlu dilakukan mengingat situasi pandemi sangatlah tidak menentu, karena bisa saja muncul varian baru yang lebih infeksius.
Baca juga: Mengawal Distribusi dan Stok Vaksin Nasional
Berbagai persoalan vaksinasi seperti ketersediaaan stok, distribusi, akses, dan penyelewengan seperti vaksin booster untuk kelompok non-nakes, harus segera diselesaikan. Peningkatan dan pemerataan program vaksinasi Covid-19 membuka peluang semakin cepat terbentuknya kekebalan komunitas di Indonesia.
Vaksinasi masif menjadi langkah yang diharapkan dapat mengendalian pandemi korona melalui pembentukan kekebalan komunitas diiringi dengan kebijakan pelacakan dan penerapan dispilin kesehatan oleh seluruh elemen masyarakat. (LITBANG KOMPAS)