Mutasi virus SARS-CoV-2 penyebab Covid-19 terus terjadi. Selain vaksinasi, menjaga imunitas tubuh dan proteksi melalui protokol kesehatan penting dilakukan untuk mengatasi penyebaran penyakit ini.
Oleh
YOESEP BUDIANTO
·5 menit baca
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Tenaga kesehatan usai disuntik vaksin Covid-19 di Puskesmas Pekayon Jaya, Kota Bekasi, Jawa Barat, Jumat (15/1/2021). Vaksinasi Covid-19 mulai dilakukan secara bertahap kepada seluruh tenaga kesehatan di 34 provinsi di seluruh Indonesia.
Virus SARS-CoV-2 yang terus bermutasi menyebarkan ancaman meluasnya pandemi Covid-19. Selain peningkatan kasus penularan, mutasi virus juga dapat mengancam efikasi vaksin. Masih bermutasinya virus memberikan gambaran berbahayanya penyakit ini.
Dua varian baru virus SARS-CoV-2 ditemukan di Inggris dan Afrika Selatan pada Desember 2020. Pemerintah Inggris melaporkan kepada Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tentang penemuan varian baru virus pada 14 Desember 2020. Konsentrasi kasus infeksi karena varian baru tersebut berada di Inggris, dilanjutkan Denmark, Amerika Serikat, dan Belanda.
Varian baru virus yang dikenal dengan VUI202012/01 ini kini telah ditemukan setidaknya di 35 negara. Virus baru ini memiliki daya penularan yang lebih kuat. Dalam satu bulan, sebanyak 47 negara telah melaporkan kasus penularan hasil mutasi virus SARS-CoV-2 ini.
Kawasan Asia yang telah melaporkan adanya varian baru tersebut antara lain Jepang dan Singapura. Kawasan Oseania, Australia dan Selandia Baru, juga telah melaporkan kasus yang sama. Meski belum ada laporan dari Indonesia, bukan tidak mungkin varian itu telah masuk ke Tanah Air, tetapi belum terdeteksi.
Varian baru lainnya, 501Y.V2, dari Afrika Selatan dilaporkan pada 10 Desember 2020. Varian itu telah menyebar ke 12 negara, mulai dari Afrika Selatan, Inggris, Botswana, Perancis, hingga Jepang dan Korea Selatan.
Bukan kali ini saja terjadi varian virus penyebab Covid-19 ini. Sebelumnya, mutasi virus SARS-CoV-2 terjadi pada akhir Februari 2020 saat virus itu berpindah dari Asia Timur menuju daratan Eropa. Varian itu memiliki cakupan mulai dari China, Turki, hingga Australia. Memasuki April 2020, varian baru virus telah berganti, berbeda dengan struktur awal di Wuhan, China.
Implikasi mutasi virus yang berlangsung masif adalah mengubah metode pemeriksaan yang saat ini telah digunakan, seperti tes cepat antigen dan antibodi, serta dapat membuat ulang vaksin khusus virus itu. Apabila situasi makin tak terkendali, dunia akan kembali ke masa awal pandemi dan harus melakukan pembatasan besar-besaran.
Virus yang bermutasi akan menghasilkan varian baru dengan spesifikasi yang berbeda dengan sebelumnya.
Virus yang bermutasi akan menghasilkan varian baru dengan spesifikasi yang berbeda dengan sebelumnya. Spesifikasi yang dimaksud adalah susunan material organik di dalam virus, yaitu protein penyusunnya. Protein yang menyusun susunan virus atau dikenal dengan spike sangat penting dalam menentukan bagaimana virus tersebut menginfeksi sel manusia.
Perubahan materi genetik virus berpengaruh pada sifat virus, mulai dari penularan yang bisa saja menyebar jauh lebih mudah hingga tingkat keparahan gejala yang muncul. Kondisi tersebut tergantung dari besarnya perubahan virus tersebut dan terjadi berulang setiap kali replikasi virus terjadi di dalam tubuh manusia.
Metode tes
Mutasi virus memang harus dipantau, mengingat potensi diubahnya metode atau reagen pemeriksaan virus. Setidaknya ada tiga jenis pemeriksaan yang digunakan saat ini, yaitu tes cepat antibodi, tes cepat antigen, dan tes usap dengan metode reaksi rantai polimerase (PCR).
Melihat cara kerja responsnya, tes cepat antibodi cenderung akan lebih stabil karena target deteksinya adalah respons tubuh terhadap virus yang ditunjukkan melalui munculnya antibodi di dalam darah.
Sementara tes cepat antigen dan tes usap PCR berpotensi diubah apabila virus bermutasi secara masif. Sebab, target deteksi yang diambil adalah materi genetik (DNA dan RNA) atau protein spesifik dari virus SARS-CoV-2. Materi genetik atau protein spesifik ini dapat berubah setiap kali virus menginfeksi dan mereplikasi dirinya di dalam sel inang (tubuh manusia).
Kondisi serupa bisa terjadi untuk vaksin meskipun secara umum dibutuhkan sebuah fase mutasi yang mengubah hampir seluruh materi genetik atau protein spesifik di permukaan virus. Vaksin akan membantu tubuh untuk membentuk sel pengingat virus SARS-CoV-2 di dalam tubuh manusia melalui bahan dasar pembuatan vaksin yang memang disesuaikan dengan karakter virus.
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Warga melintas di depan RS Veteran Patmasuri di Desa Panggungharjo, Sewon, Bantul, DI Yogyakarta, Rabu (13/1/2021). Rumah sakit itu disiapkan untuk tempat merawat pasien penderita Covid-19 tanpa gejala serta bergejala ringan hingga sedang.
Virus yang masuk ke jalur pernapasan akan menempel pada sebuah reseptor di dalam sel. Susunan protein di permukaan sel virus tersebut yang akan menginjeksi materi genetiknya ke dalam sel tubuh manusia dan mulai mereplikasi diri. Di sinilah peran vaksin untuk bisa memberi informasi sebelumnya ke tubuh tentang keberadaan virus tersebut.
Apabila virus telah bermutasi, ada beberapa susunan protein spesifik di permukaan virus yang benar-benar berbeda dengan sebelumnya, termasuk komponen yang digunakan untuk membuat vaksin. Oleh sebab itu, penelitian tentang mutasi virus melalui urutan lengkap genomnya menjadi metode efektif mengiring perkembangan virus SARS-CoV-2.
Proses mutasi virus menjadi varian baru bukanlah hal baru.
Proses mutasi virus menjadi varian baru bukanlah hal baru. Virus akan melakukan penyesuaian terhadap sel-sel manusia yang diinfeksi. Artinya, setiap kali virus tersebut menginfeksi manusia akan mengalami perubahan, menyesuaikan karakter RNA dari setiap individu di berbagai tempat di dunia.
Proses mutasi akan terus berjalan seiring dengan intervensi imunologi yang dilakukan untuk menghentikan infeksi. Vaksinasi bisa saja menjadi solusi, tetapi ledakan mutasi virus dapat saja terjadi sehingga sangat mungkin vaksin harus diteliti ulang untuk menyesuaikan karakter baru virus SARS-CoV-2.
Vaksin virus
Pengembangan vaksin dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai faktor, termasuk kesadaran bahwa virus memiliki kemampuan berubah dari waktu ke waktu. Secara virologi, SARS-CoV-2 adalah bagian dari kelompok besar virus korona di dunia sehingga banyaknya variasi lonjakan protein telah diamati.
Vaksin dikembangkan agar antibodi yang muncul di dalam tubuh manusia mampu mengenali dan merespons banyak jenis mutasi. Namun, penelitian harus tetap berlanjut mengingat potensi perubahan besar vaksin bisa saja terjadi.
Calon vaksin Covid-19 telah berkembang pesat. Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), ada 236 calon vaksin hingga 12 Januari 2021. Sebanyak 60 persen dari jumlah itu dikembangkan dosis dua kali suntik dengan jeda mulai 14 hari hingga 28 hari.
Virus SARS-CoV-2 yang merebak saat ini termasuk jenis baru sehingga penelitian terhadap respons tubuh manusia dan pembentukan antibodi perlu dilakukan secara berkala. Tubuh membutuhkan dosis vaksin yang cukup untuk memperkuat kekebalan tubuh.
KOMPAS/RIZA FATHONI
Sebanyak 21 orang dari pejabat Pemprov dan tokoh menerima suntikan vaksin Sinovac di Pendopo Gedung Balai Kota Provinsi DKI Jakarta, Jumat (15/1/2021).
Vaksinasi yang dilakukan lebih dari satu kali bertujuan mendorong tubuh menghasilkan antibodi yang mampu bertahan lama sehingga dapat melindungi diri dari infeksi di masa mendatang. Antibodi terhadap virus SARS-CoV-2 dapat saja hilang dengan cepat, tergantung dari kondisi fisik tubuh manusia.
Kondisi tersebut menjelaskan bahwa vaksinasi untuk virus SARS-CoV-2 perlu didukung kepatuhan individu terhadap protokol kesehatan. Apalagi belum semua individu akan mendapatkan vaksinasi dalam waktu dekat. Karena itu, tujuan untuk mencapai kekebalan komunitas masih lama.
Infeksi berulang sangat mungkin terjadi, bahkan terhadap orang yang telah divaksin. Imunitas tubuh yang terjaga dan proteksi melalui protokol kesehatan menjadi faktor penting. Antibodi di dalam tubuh manusia juga masih terus dipantau, bahkan pascavaksinasi. (LITBANG KOMPAS)