Sebanyak 74,8 persen responden jajak pendapat ”Kompas” menilai, langkah politisi memasang baliho politik di tengah pandemi Covid-19 tidak etis. Hampir 70 persen responden menyatakan tak akan terpengaruh iklan politik.
Oleh
Rangga Eka Sakti/Litbang Kompas
·4 menit baca
Pandemi Covid-19 yang setiap hari masih memakan ribuan korban jiwa tak menyurutkan langkah tokoh ataupun partai politik memanaskan mesin menuju Pemilihan Umum 2024. Meski tak ada larangan hukum, secara etis langkah ini dinilai tak pantas oleh publik.
Hasil jajak pendapat Kompas pekan lalu memperlihatkan, sebagian besar responden (74,8 persen) menilai langkah politisi memasang iklan politik saat pemerintah dan masyarakat fokus menangani Covid-19 tidak etis. Penilaian itu tentu wajar sebab publik yang masih berjibaku melawan pandemi justru disuguhi iklan politik yang sama sekali tak berkaitan dengan pandemi. Apalagi, ajang pemilu atau pilkada masih jauh, sekitar 2,5 tahun lagi.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Upaya pemanasan menjelang Pemilu 2024 itu setidaknya terlihat dari maraknya baliho tokoh politik di sudut-sudut kota serta iklan di media massa. Sosiolog Universitas Gadjah Mada Najib Azca menilai, menjamurnya baliho politik di tengah pandemi menggambarkan adanya krisis etika politik. ”Pemasangan baliho justru bisa mengundang antipati karena biaya pemasangan baliho tidak murah. Ini menunjukkan tipisnya sensitivitas etik pada masa pandemi,” ujarnya (Kompas, 13/8/2021).
Respons negatif juga tampak dari isu yang berkembang di media sosial. Publik cenderung memberikan nada sumbang ketimbang menyerap pesan inti dari baliho politisi.
Jajak pendapat juga menangkap, ramainya iklan politik tak lepas dari agenda partai dan tokoh politik untuk mendongkrak popularitas menjelang Pemilu 2024. Setidaknya hal ini disebutkan oleh sepertiga responden yang percaya iklan politik merupakan upaya politisi mengenalkan diri, sebagai modal bertarung pada pemilu. Sepertiga responden lain juga melihat iklan politik tidak hanya menjadi agenda tokoh yang fotonya terpampang, tetapi juga parpol.
Jajak pendapat ini menangkap, sebagian besar responden tak menyadari ”gerak cepat” pemanasan kampanye Pemilu 2024. Tidak sampai sepertiga responden mengetahui sudah ada politisi yang mulai memasang iklan politik.
Meski begitu, bagi mereka yang ”terpapar” iklan politik, kampanye luring dan daring (media sosial) memang cenderung efektif menjadi media penyampai pesan kepada masyarakat. Setidaknya 38 persen responden dalam jajak pendapat Kompas mengetahui kampanye para figur politik melalui media luring, seperti baliho, spanduk, dan poster. Angka itu lebih tinggi dari beberapa kanal lain, seperti media sosial dan iklan di media massa.
Kontraproduktif
Hingga kini setidaknya ada beberapa figur politik yang wajahnya sudah terpampang pada baliho di jalanan. Di antaranya baliho Ketua DPR sekaligus politisi PDI-P, Puan Maharani, yang membawa slogan ”Kepak Sayap Kebhinekaan”, Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto dengan slogan ”Kerja untuk Indonesia-Airlangga Hartarto 2024”, dan Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar dengan narasi ”Padamu Negeri Kami Berbakti”.
Demikian pula di banyak daerah, politisi lokal memasang iklan promosi diri menggunakan baliho. Tujuannya jelas, menanamkan citra sang politisi kepada masyarakat.
Meski secara hukum tak ada larangan berpromosi diri, dilihat dari sisi komunikasi politik, sebenarnya tak cukup banyak keuntungan yang diperoleh. Slogan-slogan politik itu tampaknya bak gayung tak bersambut.
Rendahnya animo masyarakat pada promosi politik itu bisa jadi karena momentum yang dinilai tak tepat. Jajak pendapat memperkuat argumentasi ini. Pertama, sebagian besar responden (61,7 persen) menilai agenda Pemilu 2024 masih lama dan belum waktunya bagi partai atau figur politik untuk berkampanye.
Kesan kurang sensitifnya kampanye politik di tengah pandemi diperparah dengan minimnya peran dan kinerja politisi. Bagi publik, lebih mudah mencari wajah figur-figur politik ketimbang merasakan hasil kerja nyata mereka selama pandemi.
Hal ini tecermin dari hasil jajak pendapat yang menunjukkan separuh lebih responden (56 persen) menyatakan belum ada politisi yang memberi manfaat bagi masyarakat di tengah pandemi. Hanya sedikit responden merasa sudah ada politisi yang memberikan manfaat bagi publik. Meski demikian, sejumlah responden meyakini masih ada politisi yang bisa dilihat kerjanya dalam membantu penanganan pandemi.
Bantuan pandemi
Tak ayal, di tengah masyarakat yang cenderung kurang simpatik, kampanye politik di tengah pandemi pun relatif mandul. Tidak hanya kurang memperhatikan, masyarakat juga cenderung tak tergerak hatinya ketika melihat materi kampanye. Jajak pendapat ini menangkap, tidak ada pengaruh signifikan iklan politik pada pilihan politik. Hampir 70 persen responden mengaku akan tetap memilih pilihannya pada Pemilu 2024 tanpa terpengaruh iklan politik.
Kurang bergairahnya responden terhadap sosok dalam iklan politik juga diperkuat dengan hasil survei periodik Litbang Kompas. Hasil survei Kompas menyebutkan, elektabilitas para tokoh politik yang hadir melalui baliho itu masih berada di papan bawah. Sejumlah lembaga riset lain juga menyebutkan hasil yang lebih kurang sama.
Sebaliknya, hasil survei Kompas dan lembaga riset lain menunjukkan elektabilitas nama-nama tokoh yang jarang tampil melalui baliho dan iklan politik di media massa justru tinggi.
Respons publik yang cenderung negatif atas maraknya iklan politik di jalanan ini semestinya menjadi bahan refleksi bagi para figur dan partai politik yang masih terus berupaya mencari kesempatan ”berkampanye” di saat pandemi. Pada akhirnya, fakta sampai hari ini, yang dibutuhkan publik adalah upaya-upaya konkret dalam mengatasi pandemi beserta dampaknya.
Membantu pemerintah mengatasi pandemi rasanya akan lebih bermakna dibandingkan dengan menyuguhkan slogan-slogan politik. Memberi kesempatan berusaha bagi kalangan paling terdampak pandemi juga tentu akan lebih mengena. Sebab, bagaimanapun tahun ini adalah tahun pandemi, bukan tahun politik.