Baliho Politik Tanda Hilangnya Empati Elite di Tengah Pandemi Covid-19
Pembangunan yang mekanistis akhirnya menyebabkan keringnya nilai-nilai kemanusiaan. Desvian Bandarsyah, Dekan FKIP Universitas Hamka, Jakarta, menyatakan, hal itu terlihat dengan dipasangnya baliho elite saat pandemi.
Oleh
Edna C Pattisina
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembangunan yang mekanistis pada akhirnya menyebabkan keringnya nilai-nilai kemanusiaan. Hal itu justru mengingkari tujuan awal dari kemerdekaan RI, yaitu untuk melawan penjajahan dan menegakkan keadilan.
Desvian Bandarsyah yang merupakan Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pengetahuan Universitas Hamka, Jakarta, dalam diskusi virtual bertajuk ”76 Tahun Kemerdekaan Indonesia dalam Perspektif HAM”, Rabu (18/8/2021), menyatakan, hilangnya nilai-nilai kemanusiaan itu tampak nyata ketika elite partai masih bisa memasang baliho di tengah-tengah pandemi Covid-19.
”Karena tidak ada lagi empati yang bisa melihat kepedihan hidup masyarakat saat ini,” kata Desvian.
Parpol, tambah Desvian, hanya bicara persoalan sempit, kepentingan primordial, dan kepentingan sendirinya. Parpol tidak mengusung isu-isu strategis, seperti ketika Bung Karno menulis Indonesia Menggugat. Sementara itu, pembangunan saat ini dihitung secara mekanis, di mana yang menjadi variabel adalah angka-angka, seperti pertumbuhan, modal asing, inflasi, dan konglomerasi. Justru angka-angka statistik ini menutup empati dari para tokoh dan masyarakat kelas menengah kepada sebagian besar masyarakat yang tidak punya akses dan tidak diakomodasi negara untuk mendapatkan keadilan dan kemakmuran.
Karena tidak ada lagi empati yang bisa melihat kepedihan hidup masyarakat saat ini. (Desvian Bandarsyah, Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pengetahuan Universitas Hamka, Jakarta)
Hilangnya empati masyarakat ini juga digarisbawahi anggota Komnas HAM, Amirrudin Al Rahab. Ia menilai, setelah Indonesia 76 tahun merdeka, empati sesama warga negara menurun. Hal ini menjadi penyebab sulitnya mewujudkan keadilan dan kemakmuran bagi rakyat Indonesia. Hal ini terlihat dari banyaknya kasus pelanggaran HAM yang kini dinilainya bahkan terus meningkat.
”Kita mengurus bangsa-negara tanpa empati yang cukup atau empatinya sangat sedikit kepada mereka yang dirugikan,” kata Amiruddin.
Esensi perjuangan
Andy Yetriyani dari Komnas Perempuan bahkan menyebutkan, angka pengaduan tahun 2020 meningkat 68 persen. Pada tahun ini, pengaduan diperkirakan akan naik lagi hingga 100 persen.
Ita F Nadia, sejarawan menilai, hilangnya empati sama dengan pengkhianatan terhadap esensi perjuangan ketika Indonesia mau merdeka 1945. Cita-cita kemerdekaan dasarnya adalah empati melawan kolonialisme.
Menurut Ita, empati hilang pada titik 30 September 1965. Esensi HAM hilang dalam satu malam. Masalah kemudian berlarut karena kewajiban menjaga memori kolektif tidak dilakukan negara. Padahal, memori kolektif inilah yang membentuk identitas nasional.
Empati hilang pada titik 30 September 1965. Esensi HAM hilang dalam satu malam. (Ita F Nadia, sejarawan)
Sebelumnya, Desvian yang juga dosen sejarah ini juga menyinggung adanya memori kolektif yang hilang. Padahal, pembangunan itu perlu ditempatkan dalam semesta memori kolektif di mana para pendiri bangsa mengorbankan seluruh kehidupannya untuk memastikan Indonesia merdeka. ”Dan, kemerdekaan itu adalah alat untuk menegakkan keadilan,” kata Desvian.
Gustika Jusuf juga menggarisbawahi bahwa negara kian meninggalkan HAM dalam proses-proses pembangunannya. Ia mendaftarkan beberapa implementasi seperti kasus pelanggaran HAM masa lalu yang hingga kini jalan di tempat.
Implementasi UU Pengadilan HAM dinilai tidak berjalan karena tidak ada political will, naiknya para pelaku pelanggaran HAM di jabatan-jabatan publik, kegagalan negara melindungi kebebasan beragama dan kebebasan berekspresi, serta kekerasan terhadap masyarakat sipil dan korupsi di berbagai lini.