Ancaman Tenggelamnya Kota-Kota Pesisir di Indonesia
Penurunan muka tanah dan dampak perubahan iklim membuat tantangan kota-kota pesisir di Indonesia semakin tidak mudah.
Intervensi manusia terhadap alam telah memasuki babak baru, ditandai makin besarnya skala kerusakan yang berdampak pada kehidupan manusia dan kelestarian ekologi. Sejumlah kota pesisir di Indonesia terancam tenggelam karena penurunan tanah dan eksploitasi sumber daya air.
Prediksi kerusakan ekologi makin menguat saat manusia melakukan eksploitasi pemanfaatan sumber daya alam. Secara global, banyak negara telah bersiap untuk menghadapi bencana yang muncul karena rusaknya keseimbangan ekologi. Dalam dokumen The Global Risks Report 2021 menyebutkan bahwa kerusakan lingkungan menjadi ancaman terbesar umat manusia saat ini.
Tak luput, Indonesia juga diperhadapkan dengan risiko besar kejadian bencana, salah satunya adalah penurunan muka tanah di wilayah perkotaan pesisir. Tahun 2018, World Economic Forum mengeluarkan peringatan bahwa DKI Jakarta menjadi kota yang paling cepat tenggelam di dunia.
Belum lama ini, Presiden Amerika Serikat Joe Biden menyinggung tenggelamnya DKI Jakarta dalam kurun waktu relatif cepat. Pidato Biden yang dilakukan di Kantor Direktur Intelijen Nasional AS pada 27 Juli 2021 lalu seakan mengingatkan pemerintah Indonesia dan seluruh elemen di ibukota untuk bersiap dengan skenario terburuk nantinya.
Dalam konteks risiko kebencanaan wilayah pesisir, DKI Jakarta memang menjadi sorotan internasional. Bahkan, rilis World Economic Forum menyebut DKI Jakarta sebagai kota paling cepat tenggelam di seluruh dunia. Tiga faktor utamanya adalah penggunaan air tanah secara berlebih, peningkatan beban tanah karena pembangunan gedung, serta perubahan iklim.
Baca juga: Kota-kota yang Terendam di Masa Depan
Air tanah yang terus diambil tanpa batasan menyebabkan munculnya ruang kosong di lapisan geologi yang menyimpan air, sehingga tanah turun. Hal tersebut diperparah dengan penambahan beban tanah karena pembangunan masif di atas lapisan tanah yang lebih lunak.
Dua kombinasi penyebab tadi belum selesai, sebab ada intaian ancaman kenaikan muka air laut karena perubahan iklim. Laporan terbaru Panel Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC) pada 9 Agustus 2021 menilai bahwa kenaikan suhu Bumi 1,5 derajat Celsius sudah tidak bisa dihentikan, sehingga berbagai kenaikan muka air laut pasti dihadapi banyak negara khususnya di wilayah pesisir.
Banyak penelitian telah dilakukan untuk mengamati pergerakan vertikal tanah di Indonesia, salah satunya dilakukan oleh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan). Menggunakan data penginderaan jauh satelit, pantauan dilakukan dalam lima periode dengan jeda satu tahun, mulai dari 2015 hingga 2020.
Berdasarkan pantauan Lapan selama periode 2015 hingga 2020, laju rata-rata penurunan muka tanah dapat mencapai maksimal 8 centimeter per tahun. Setidaknya ada tiga wilayah yang mengalami penurunan signifikan, yaitu Cilincing, Koja, dan Penjaringan. Ketiganya terletak di wilayah Jakarta Utara.
Wilayah terdampak penurunan tanah tidak hanya berada di DKI Jakarta, melainkan menyebar di beberapa wilayah urban di pesisir utara Pulau Jawa. Lapan juga memantau di Cirebon, Pekalongan, Semarang, dan Surabaya. Hasilnya, wilayah Pekalongan mengalami penurunan paling besar, sekitar 11 sentimeter per tahun di bagian utara.
Apabila didetailkan per wilayah, maka penurunan paling besar di wilayah Cirebon berada di Klangenan, Gunung Jati, dan Kota Cirebon, berkisar antara 0,28-4 centimeter per tahun. Sementara penurunan tanah di Semarang serupa dengan Pekalongan, yaitu berada di pesisir utara, sekitar 0,9-11 centimeter per tahun.
Kondisi berbeda ada di Surabaya, di mana penurunan tanah masif terjadi hampir di seluruh wilayah pesisir, bahkan sampai area Gresik. Konsentrasi wilayah yang berpotensi tenggelam memang berada di pesisir, selain karena penggunaan air tanah berlebih, ada faktor geologis yang tidak bisa ditawar.
Kerugian wilayah yang tergenang tergolong besar, mulai dari hilangnya ruang hidup karena kerusakan ekosistem dan perpindahan penduduk secara paksa ke wilayah lain. Adaptasi kewilayahan perlu dirumuskan oleh banyak daerah, mengingat ancaman ke depan makin besar.
Air tanah
Secara alami, penurunan tanah merupakan fenomena alam yang muncul karena adanya proses kompaksi lapisan sedimen di bawah tanah. Fenomena tersebut sangat lazim terjadi di wilayah perkotaan di pesisir. Secara geologi, material tanah yang menyusun area dekat pantai marupakan tanah lunak yang terus mengalami konsolidasi atau pemampatan.
Area pesisir tergolong bagian muara dalam sistem aliran permukaan atau sungai, sehingga material yang terbawa dan menumpuk bersifat lepas-lepas dan didominasi lumpur atau material yang cukup lunak. Secara geologi, DKI Jakarta dan wilayah kota lain di bagian utara memang tersusun dari deposit aluvial atau lumpur hingga material sedimen lainnya.
Baca juga: Jakarta Tenggelam
Pemampatan atau kompaksi lapisan tanah terjadi karena penambahan beban oleh lapisan atasnya atau pembangunan gedung di area tersebut. Proses kompaksi lapisan tanah dipercepat dengan pengambilan air tanah secara berlebihan, sehingga menyisakan banyak rongga.
Muka tanah yang makin turun berdampak pada munculnya bencana banjir rob yang sangat merugikan. Dampak untuk Jakarta pada 2050, apabila banjir rob mencapai wilayah lebih luas hingga ke pusat kota, maka kerugian ekonomi akan mencapai 200 miliar dollar AS atau setara Rp 2.361 triliun. Tak hanya kerugian ekonomi, sedikitnya 1,5 juta lapangan kerja akan hilang seiring perpindahan paksa masyarakat ke wilayah aman dari banjir.
Serupa dengan Jakarta, secara nasional ada 112 kabupaten dan kota lain di Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, dan Papua yang mengalami banjir rob karena penurunan muka tanah. Salah satu contoh wilayah yang rentan banjir rob adalah Semarang.
Sepanjang periode 2015-2030 banjir rob karena penurunan tanah di Semarang diperkirakan terus meningkat hingga mencapai 18 ribu hektar. Secara keseluruhan, potensi kerugian akibat banjir rob di kota-kota pesisir Indonesia ditaksir mencapai Rp 1.000 triliun.
Mempertimbangkan besarnya kerugian dan celah penanganan penurunan tanah di wilayah perkotaan di pesisir, maka ada tiga poin penting yang dapat dibenahi. Pertama, melakukan pembatasan penyedotan air tanah. Kedua, melakukan zonasi kewilayahan sesuai risiko dan potensinya. Ketiga, bersiap adaptasi dengan perubahan besar karena perubahan iklim.
Segara dibenahi
Tantangan kota-kota pesisir di Indonesia tidak makin mudah. Potensi kerugian kota pesisir yang diakibatkan penurunan tanah sangatlah besar, mulai dari rusaknya ekologi, masyarakat kehilangan rumah dan pekerjaan, hingga pembiayaan mitigasi dan penyelesaian masalah yang membengkak.
Dari sisi pemanfaatan sumber daya air tanah, pemerintah Indonesia telah memiliki sejumlah skenario regulasi, seperti PP Nomor 43/2008 tentang Air Tanah dan Peraturan Menteri ESDM Nomor 31/2018 tentang Pedoman Penetapan Zona Konservasi Air Tanah. Untuk wilayah Jakarta, diberlakukan pajak air tanah hingga 20 persen sesuai Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 38/2017.
Dalam konteks risiko kebencanaan wilayah pesisir, DKI Jakarta menjadi sorotan internasional
Meskipun regulasi pemanfaatan air tanah bertujuan untuk kelestarian sumber daya air, tetapi secara tidak langsung turut mengatur jumlah air yang dapat dimanfaatkan untuk skala domestik dan industri. Penyedotan air yang terkontrol berdampak pada potensi penurunan tanah.
Tidak cukup dari sisi regulasi, pemerintah pusat dan daerah perlu menyiapkan rancangan mitigasi dan penanggulangan secara kewilayahan. Proses tersebut dapat dimulai dari penyusunan peta pemantauan dan evaluasi cekungan air tanah kritis dan risiko bencana penurunan tanah.
Baca juga: Mengurai Penyebab Banjir Besar Jakarta
Untuk jangka panjang, maka harus dilakukan pendekatan tata ruang berbasis kecepatan penurunan tanah, manajemen sumber daya air, hingga pendekatan teknologi ramah lingkungan berteknologi tinggi. Apabila secara regulasi dan upaya mitigasi telah disiapkan, maka perlu dilanjutkan pendekatan sosial.
Dari sisi masyarakat, sosialisasi terhadap bahaya fenomena penurunan tanah perlu dikuatkan, sebab akan bermuara pada relokasi penduduk ke wilayah lain saat terjadi banjir rob parah. Tidak ada kata terlambat dalam penanggulangan fenomena penurunan tanah. Kerja bersama ini dapat dimulai dengan menahan laju penurunan muka tanah disertai komitmen pelaksanaan aturan di lapangan. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Sambutan Joe Biden dan Ancaman Tenggelamnya Jakarta