Bumi Semakin Panas, Ratusan Ribu Hektar Hutan Dilalap Api
Aktivitas industri terbukti telah meracuni atmosfer dengan zat yang merusak. Alam mulai sesak dengan polusi manusia dan mulai sakit. Para saintis menyebutnya dengan efek rumah kaca.
Oleh
Rangga Eka Sakti
·5 menit baca
California sejak dulu menjadi tanah surga bagi banyak warga Amerika Serikat (AS). Cuaca cerah yang nyaris tersedia sepanjang tahun menciptakan suasana hangat yang tak dimiliki oleh daerah lain di belahan AS bagian timur seperti New York dan New Jersey. Bahkan, cuaca yang cerah dan bersahabat ini memudahkan para sineas di masa lampau untuk membuat film menggunakan kamera teknologi lawas yang membutuhkan banyak cahaya dan menjadikan Hollywood sebagai kiblat industri film dunia hingga saat ini.
Sayangnya, nikmat hidup di California harus dibayar mahal oleh para penduduknya. Di balik sinar matahari yang berlimpah dan pantai yang indah, negara bagian ini menjadi salah satu yang paling rentan dihantam bencana alam. Sepanjang sejarah, penduduk California harus bisa berdamai dengan gempa bumi dan kebakaran hutan hebat yang datang sewaktu-waktu.
Meskipun begitu, tak sedikit dari masyarakat California yang bersedia untuk bertahan di tengah ancaman bencana alam. Berdasar hasil jajak pendapat yang dilakukan oleh USC Donsfire dan LA Times di 2015 lalu, 70 persen penduduk California menyatakan tetap memilih untuk tinggal di Los Angeles (LA), kota terpadat di negara bagian California walau terus menghadapi bencana alam, kepadatan yang terus meningkat, serta biaya hidup yang semakin mahal.
Namun, bisa jadi cerita lima tahun lalu berbeda dengan sekarang. Kini, tinggal di California bak bertaruh nyawa bagi para penduduknya. Jika dulu bencana alam ialah peristiwa, sesuatu yang kadang-kadang terjadi, saat ini bencana menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Tak hanya semakin sering terjadi, intensitas bencana di negara bagian ini pun menguat. Membuat angka korban dan kerugian yang semakin tinggi tiap tahunnya. Salah satu bencana yang termagnifikasi adalah kebakaran hutan.
Nyatanya, tujuh dari 10 kebakaran hutan terbesar sepanjang sejarah California terjadi dalam rentang 3 tahun terakhir. Bahkan, The Dixie Fire, kebakaran hutan yang tengah berlangsung di sekitar Lassen National Forest, California, menjadi kebakaran hutan terbesar kedua sepanjang sejarah negara bagian tersebut. Meski telah berlangsung lebih dari sebulan, melalap ratusan rumah dan bangunan serta menghanguskan jutaan hektar hutan, api yang berkobar masih jauh dari kata padam. Besarnya api pun kemudian menghasilkan asap tebal yang mencekik udara di Denver dan Salt Lake City yang letaknya ribuan kilometer dari titik kebakaran.
Kebakaran lahan
Musibah kebakaran ini tak terlepas dari bencana lain, yaitu gelombang panas (heat wave). Gelombang panas sendiri ialah fenomena alam di mana suhu di suatu wilayah mengalami peningkatan yang signifikan selama beberapa waktu (setidaknya 3 hari). Bencana yang umumnya datang di musim panas ini kemudian memantik api di hutan-hutan yang dipenuhi daun dan kayu kering yang mudah terbakar. Sayangnya, bencana ini tak hanya terjadi di California saja.
Cerita kebakaran juga ditemukan di belahan bumi lain. Bahkan, bencana kebakaran hutan yang sebelumnya endemik di wilayah dengan cuaca relatif hangat mulai terjadi di negara Eropa yang cenderung lebih dingin.
Di Benua Eropa, setidaknya empat negara tengah dilanda kebakaran yang hebat. Negara ini ialah Yunani, Turki, Italia dan Rusia. Dari negara-negara tersebut, Yunani menjadi salah satu negara yang mengalami dampak paling parah. Kebakaran yang telah melalap lebih dari 57.000 hektar hutan ini telah menyebabkan ribuan orang mengungsi dan belasan lainnya luka-luka.
Dengan skala kerusakan sebesar ini, bencana kebakaran Yunani di 2021 menjadi yang terburuk selama lebih dari dua dekade terakhir. Jika dibandingkan, dalam periode waktu yang sama sekitar 10 hari, rata-rata area yang terbakar saat bencana kebakaran hutan terjadi selama 2008 hingga 2020 ialah 1.700 hektar. Artinya, kebakaran hutan yang saat ini masih berlangsung lebih besar nyaris 50 kali lipat dibandingkan bencana serupa di waktu sebelumnya.
Kerusakan parah juga dirasakan oleh warga Sisilia dan Sardinia di Italia. Akibat bencana kebakaran hutan, lebih dari 10.000 hektar lahan hangus dan memaksa lebih dari 800 orang mengungsi. Sementara itu, meski sempat mengalami bencana kebakaran hutan parah hingga menewaskan delapan orang, situasi di Mulga, Turki, kini telah lebih terkendali akibat hujan lebat yang turun pada akhir minggu lalu.
Namun, dari semua titik kebakaran hutan di dunia, yang paling mencengangkan ialah yang terjadi di Yakutia, Provinsi Sakha di Russia. Selama ini, Sakha dikenal sebagai salah satu tempat terdingin di dunia, di mana temperatur bisa jatuh hingga -50 derajat celsius ketika musin dingin. Di tengah kondisi ekstrem dingin ini, nyatanya serangan heatwave mampu memantik kebakaran yang membahayakan lebih dari 320.000 orang serta berpotensi menyebabkan bencana lebih besar mengingat titik api yang berdekatan dengan fasilitas nuklir Pemerintah Rusia.
Bukti nyata
Apa yang terjadi di Yakutia sudah seharusnya cukup untuk menjadi bahan refleksi dalam melihat perubahan iklim. Secara geografis, Yakutia sebetulnya berjarak tak terlalu jauh dari Laut Arktik yang dihiasi oleh tumpukan es abadi. Artinya, bisa jadi kini tak lagi ada tempat yang benar-benar aman untuk dihuni manusia.
Kekacauan yang dapat disaksikan kini ialah buah dari dosa generasional manusia yang semenjak dulu tak hentinya merusak alam. Aktivitas ekonomi, utamanya pasca-revolusi industri, terbukti telah meracuni atmosfer dengan zat yang sebegitu merusaknya. Alam yang mulai sesak dengan polusi manusia ini pun sakit, para saintis menyebutnya dengan efek rumah kaca dan perubahan iklim.
Data dari Badan Meteorologi Inggris menunjukkan bahwa perubahan iklim berpengaruh pada peningkatan frekuensi terjadinya kejadian gelombang panas. Studi mereka menyatakan bahwa kemungkinan Inggris mengalami heatwave selama musim panas pada 2018 ialah sebesar 10 persen. Angka ini lebih besar 30 kali lipat dibandingkan dengan di masa sebelum revolusi industri karena konsentrasi karbon dioksida di atmosfer di masa kini jauh lebih tinggi ketimbang saat itu.
Semoga saja, apa yang beberapa tahun ke belakang tengah diupayakan, seperti Perjanjian Paris, bisa segera memberikan dampak. Pasalnya, tanpa adanya perubahan yang signifikan, dapat dipastikan bahwa kabar buruk akan semakin sering terdengar. Tak hanya suhu ekstrem saat musim panas, suhu ekstrem pun juga akan semakin kerap terjadi di musim dingin yang menyebabkan kerusakan tak kalah hebat. Belum lagi, bencana terkait perubahan iklim juga datang dalam bentuk lain seperti hujan ekstrem, kenaikan tinggi air laut serta topan yang mungkin tak terhitung lagi banyaknya. (RANGGA EKA SAKTI/LITBANG KOMPAS)