Belajar dari Prestasi China, Jepang, dan Korea Selatan di Olimpiade
Prestasi yang diraih China, Jepang, dan Korea Selatan di Olimpiade tidak datang seketika. Butuh semangat besar dan proses panjang untuk meraih prestasi dunia.
Di luar dominasi Amerika Serikat dan negara-negara Eropa, atlet-atlet dari China, Jepang, dan Korea Selatan menunjukkan prestasi dan mampu bersaing di ajang Olimpiade. Prestasi itu sekaligus menggambarkan ekspansi tiga raksasa Asia di kancah dunia.
Tiga negeri kuat Asia, yaitu China, Jepang, dan Korsel, kembali bersaing dengan negara-negara dari berbagai benua di Olimpiade Tokyo 2020 tahun ini. Butuh fokus tinggi untuk menghadapi persaingan terutama dengan AS dan negara-negara Eropa.
Untuk memenangi persaingan, data dari laman Komite Olimpiade Internasional menunjukkan, negara-negara maju peraih prestasi Olimpiade mengirim atlet dalam jumlah besar. Kontingen China membawa 425 atletnya, terbanyak keempat setelah Amerika Serikat (645 atlet), tuan rumah Jepang (619 atlet), dan Australia (491 atlet).
Keseriusan empat negara tersebut untuk bersaing di Olimpiade Tokyo 2020 dengan mengirim kontingen jumbo juga diikuti negara-negara yang selama ini dikenal sebagai langganan peraih medali terbanyak di Olimpiade.
Kontingen Jerman membawa 422 atlet, Perancis mengirim 400 atlet, Inggris Raya menyertakan 392 atlet, dan Rusia yang kali ini menggunakan nama Tim Komite Olimpiade Rusia (ROC) sebanyak 343 atlet. Dari wilayah Asia, selain Jepang dan China, ada pula Korea Selatan yang berlaga dengan 238 atletnya.
Besarnya atlet yang dikirim China menunjukkan ambisi negara itu untuk merebut sebanyak mungkin medali di Olimpiade 2020. Hal itu tampaknya tidak sia-sia, terbukti hingga 4 Agustus 2021 pukul 23.00 WIB, China sudah mengumpulkan 32 medali emas dan memimpin perolehan jumlah medali. Perolehan atlet China mengungguli AS, Jepang, Australia, Inggris Raya, ROC, dan Jerman.
China memiliki sejarah cukup panjang prestasi medali di Olimpiade. Sejak Olimpiade Sydney 2000, China selalu masuk deretan tiga besar negara yang meraih medali terbanyak. Puncak keberhasilan China diraih saat menjadi tuan rumah Olimpiade Beijing 2008 dengan menjadi juara umum.
Kiprah China meraup medali membuatnya juga masuk dalam deretan 10 besar negara teratas pengumpul medali terbanyak sepanjang penyelenggaraan Olimpiade. China sudah mengumpulkan 546 medali. Rinciannya, 224 medali emas, 167 medali perak, dan 155 medali perunggu.
Prestasi China masih di bawah AS, Uni Soviet, Inggris Raya, Perancis, Jerman, dan Italia. Namun istimewanya, capaian prestasi China tersebut diperoleh ”hanya” dari 10 kali keikutsertaannya di Olimpiade. Sedangkan capaian AS, Inggris Raya, Perancis, dan Italia diperoleh setelah mengikuti 27 hingga 28 kali ajang Olimpiade.
China sebenarnya tidak unggul di semua cabang olahraga Olimpiade. Pundi-pundi medali China bertumpu pada tujuh cabang olahraga, yaitu loncat indah, senam, menembak, angkat besi, tenis meja, renang, dan bulu tangkis. Medali yang paling banyak disumbangkan oleh atlet-atlet China berasal dari cabang olahraga loncat indah. Sepanjang 1984-2016 atlet loncat indah China telah meraih 69 medali dengan 40 keping di antaranya adalah medali emas.
Jepang dan Korsel
Di luar China, dua kekuatan lain yang muncul dari wilayah Asia adalah Jepang dan Korea Selatan. Hingga 3 Agustus 2021, kedua negara tersebut masuk dalam 10 besar peringkat sementara peraih medali terbanyak. Jika prestasi itu dapat dipertahankan hingga akhir Olimpiade Tokyo 2020 ini, berarti Jepang dan Korsel akan mengulangi sukses di Olimpiade Rio de Janeiro 2016.
Saat itu, Jepang berada di peringkat keenam dengan meraih 12 medali emas, 8 medali perak, dan 21 medali perunggu. Prestasi Jepang di 2016 tersebut mengungguli Perancis, Italia, dan Australia. Walau tidak secemerlang China, masuknya Jepang di 10 besar negara pengumpul medali terbanyak menjadi bukti kekuatan olahraga Jepang yang tidak bisa dianggap remeh.
Sejak Olimpiade Athena 2004, perburuan medali Jepang mulai masuk radar top ten. Kala itu Jepang secara mengejutkan berada di peringkat lima dengan meraih 16 medali emas. Padahal di dua Olimpiade sebelumnya, posisi Jepang masih di peringkat 15 besar. Di Olimpiade Atlanta 1996, Jepang berada di peringkat ke-23 dan di Olimpiade Sydney 2000 di peringkat ke-15.
Sebagaimana Jepang, Korsel juga mulai berkibar sejak Olimpiade Athena 2004. Atlet-atlet Korsel yang saat itu berhasil meraih 9 medali emas berada di peringkat sembilan. Prestasi yang diraih sejak 2004 tersebut dapat terus dipertahankan hingga Olimpiade 2016. Ini artinya, Korsel selalu masuk daftar 10 besar negara terbanyak peraih medali di empat ajang terakhir Olimpiade.
Tampilnya prestasi China, Jepang, dan Korsel di ajang Olimpiade tidak dapat dilepaskan dari kekuatan ketiga negara di wilayah Asia. Jejak kekuatan ini bertumpu pada dua fondasi, yaitu sistem pembinaan olahraga yang dibuktikan dengan lintasan prestasi di ajang kejuaraan dunia serta ditopang kemampuan ekonomi yang terus berkembang.
Level Asia
Hegemoni China, Jepang, dan Korsel di level Asia terlihat dari prestasi mereka di kejuaraan olahraga negara-negara Asia, yaitu Asian Games. Pada Asian Games 2018, ketiga negara membuktikan dominasinya di Asia dengan meraih medali terbanyak.
Prestasi ketiga negara ini juga dominan sejak Asian Games 1951-2014. China tampil sebagai pengumpul medali terbanyak dengan 2.976 medali, disusul Jepang dengan 2.858 medali, dan Korsel yang telah mengumpulkan 2.048 medali.
Capaian China sebagai juara Asia semakin terlihat setelah tampil sebagai juara umum dalam 10 kali penyelenggaraan terakhir Asian Games, sejak Asian Games 1982 hingga Asian Games 2018. China menggusur dominasi Jepang sebagai jawara Asian Games yang digenggam sejak 1951-1978.
Baca juga: Menjaga Asa Kebangkitan Jepang di Olimpiade Tokyo 2020
Data juara-juara Asian Games tersebut sekaligus memberikan gambaran bahwa hanya kedua negara tersebut yang pernah menjadi juara di Asian Games. Kondisi ini juga memperlihatkan bahwa prestasi di ajang Olimpiade tidak secara otomatis diperoleh oleh China, Jepang, dan Korsel, tetapi melalui tahapan pencapaian yang dilalui di ajang kejuaraan di tingkat regional.
Kondisi ini menggambarkan bahwa pencapaian prestasi di event olahraga terbesar dunia ini membutuhkan persiapan, pelatihan, kompetisi, uji coba, serta pertandingan yang rutin dan berjenjang untuk membentuk mental juara. Dalam jangka panjang, manajemen olahraga ini juga membutuhkan skema pembinaan dan regenerasi atlet untuk dapat mempertahankan prestasinya.
Dalam konteks lompatan dunia, China, Jepang, dan Korsel sudah menerapkan strategi tersebut di ajang Asian Games. Tidak heran, jika ketiganya mampu bersaing di level dunia bukan lagi mewakili nama negara saja, tapi sekaligus mewakili identitas Asia.
Belajar pengalaman
Capaian tersebut juga seiring sejalan dengan kemajuan yang dicapai ketiga negara di bidang ekonomi. China, Jepang, dan Korsel dikenal sebagai negara-negara yang memiliki perekonomian maju. Data Bank Dunia pada 2020 menunjukkan nilai gross domestic product atau PDB China mencapai 14,7 triliun dollar AS, sedangkan Jepang sebesar 5,06 triliun dollar AS dan Korsel sebanyak 1,63 triliun dollar AS.
Dengan PDB tersebut, ketiga negara termasuk dalam jajaran negara elite di dunia. Nilai PDB China dan Jepang berada di peringkat dua dan tiga dunia. Posisi China dan Jepang berada di bawah Amerika Serikat yang memiliki PDB sebesar 20,93 dollar AS.
Saat ini, China bersama Jepang dan Korsel dapat dikatakan telah menjadi negara utama di Asia bahkan dunia. Dunia bisa melihat keberhasilan Jepang yang bangkit setelah Perang Dunia II. Melalui pembangunan industri dan pendidikan, Jepang tampil sebagai kekuatan ekonomi dunia sejak dekade 1960-an.
Merujuk catatan Britannica, salah satu transformasi Jepang dilakukan melalui kebijakan industri baru melalui Kementerian Perdagangan dan Industri (MITI) pada 1959. Kebijakan ini merancang struktur ekonomi Jepang lebih berkonsentrasi pada produk-produk berkualitas tinggi dan berteknologi tinggi untuk memenuhi konsumsi domestik dan global.
Selain Jepang, dunia juga bisa becermin pada China yang berhasil meningkatkan kemampuan ekonominya. Pembaharuan ekonomi dan kebijaksanaan pintu terbuka yang dirintis oleh Deng Xiaoping sejak 1978 telah mendorong pertumbuhan ekonomi China semakin pesat (Kompas 5/3/1997). China mulai tampil bersaing dengan Jepang di wilayah Asia.
Pengalaman lain dialami Korsel yang mampu bangkit setelah Perang Korea pada 1953. Hingga 1982, kondisi ekonomi Korsel tidak baik dari pada Indonesia yang sama-sama sedang berusaha menata perekonomian setelah melewati masa pergolakan politik.
Produk domestik bruto Korsel saat itu sebesar 78,35 miliar dollar AS, sedangkan PDB Indonesia 90,15 miliar dollar AS. Namun sejak 1983, PDB Korsel mulai melewati Indonesia dan semakin melejit meninggalkan Indonesia. Pada 2020, PDB Korsel mencapai 1,63 triliun dollar AS , sedangkan Indonesia 1,05 triliun dollar AS.
Tekad besar
Tekad bangsa China, Jepang, dan Korsel bukan hanya berhasil menata kemajuan dari sisi ekonomi, melainkan juga berbagai bidang, termasuk olahraga. Kemajuan ketiga negara tersebut juga diikuti ekspansi prestasi dengan menjadi tuan rumah Olimpiade dan masuk peringkat atas perolehan medali di Olimpiade.
Memang, kemapanan suatu negara dalam bidang ekonomi belum tentu menjadi jaminan prestasi olahraga suatu negara. Banyak ditemukan negara-negara kaya yang belum banyak meraup medali di Olimpiade. Banyak juga atlet-atlet di negara-negara berkembang yang justru berprestasi, seperti di bidang maraton yang banyak dimenangkan atlet dari Afrika.
China, Jepang, dan Korsel bukan hanya membangun ekonomi, melainkan juga mempersiapkan pengembangan kualitas sumber daya manusianya. Demikian pula dengan investasi prestasi olahraga yang dipupuk melalui jalur pembinaan sejak dini.
Di China, Deng Xiaoping tidak hanya menyerukan reformasi ekonomi tapi juga memasukkan olahraga sebagai komponen dari empat pilar modernisasi. Dalam waktu 15 tahun, China membangun 620.000 gimnasium dan stadion di seluruh penjuru negeri. Sebagian besar terbuka untuk umum tanpa dipungut bayaran (Kompas/19/12/2006). Saat menjuarai Asian Games XIII, Cina memiliki tidak kurang 230 sekolah olahraga yang menjadi penyuplai atlet bertaraf dunia.
Jepang juga melakukan pembinaan jangka panjang. Dalam cabang judo, misalnya, kurikulum judo sudah diperkenalkan sejak tingkat dasar. Pelajar berbakat kemudian diarahkan mendapat pelatihan khusus dan dibawa bertanding ke tingkat dunia.
Spirit kemajuan di berbagai bidang dapat menjadi pemantik semangat berprestasi di bidang lain, seperti olahraga. Seiring kemajuan ekonomi, negara-negara Asia juga dapat membuat tonggak baru menjadi tuan rumah Olimpiade yang selama ini didominasi negara-negara mapan di AS, Eropa, Australia.
Belum semua negara bisa menjadi tuan rumah, karena butuh dana yang besar untuk menyelenggarakan Olimpiade. Dengan dukungan kemapanan ekonomi, Jepang bisa menyelenggarakan Olimpiade Tokyo 1964. Disusul Olimpiade Seoul 1988 di Korsel, Olimpiade Beijing 2008 di China, dan saat ini Olimpiade Tokyo 2020 di Jepang.
Baca juga: Mengapa Negara-negara Berlomba Menjadi Tuan Rumah Olimpiade?
Kemajuan yang diraih Jepang dan Korsel ditempuh setelah mengalami keterpurukan. Mereka mampu mentransformasi kondisi terpuruk tersebut menjadi kesatuan tekad yang besar untuk membuktikan diri sebagai bangsa yang besar di level dunia.
Hingga saat ini semangat itu terus dipelihara oleh generasi penerus dengan tetap membuktikan sebagai yang disegani di kancah ekonomi dan olahraga. Belajar dari sejarah ketiga negara di atas, kemajuan bangsa dapat diperjuangkan dengan tekad bersama. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Kisah Sukses Negara Maju di Olimpiade