Memetakan Permasalahan HIV dan AIDS di Indonesia
Pencegahan penularan HIV dan AIDS yang dapat berujung pada kematian di Indonesia dapat dilakukan dengan adanya keterbukaan dari masyarakat.
Pencegahan penularan HIV/AIDS bukan hanya menjadi agenda penting bagi Indonesia, melainkan dunia. Langkah pencegahan dapat dimulai dari menelusuri faktor-faktor risiko penularan. Berangkat dari pemetaan itulah, upaya menghilangkan diskriminasi terhadap orang dengan HIV juga turut menjadi agenda besar yang masih harus terus diperjuangkan.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengklaim bahwa jumlah kematian akibat human immunodeficiency virus (HIV) telah menurun sebesar 64 persen di seluruh dunia. Sejak 1990, HIV telah merenggut 33 juta nyawa penduduk dunia sejauh ini. Khusus pada 2020 tercatat 680.000 orang meninggal akibat HIV.
HIV merupakan virus yang menyebabkan acquired immuno deficiency syndrome (AIDS), kumpulan gejala berkurangnya kemampuan pertahanan diri dalam tubuh seseorang. Orang yang telah terinfeksi HIV disebut dengan orang dengan HIV.
Kondisi terkini, dilaporkan terdapat 37,7 juta orang hidup dengan HIV hingga akhir 2020, dengan catatan penambahan jumlah orang yang terinfeksi pada tahun yang sama sebesar 1,5 juta orang. Dari 37,7 juta orang yang terinfeksi HIV, 26 juta orang di antaranya adalah orang dewasa berusia 15 tahun ke atas. Sementara sisanya sebesar 1,7 juta yang terinfeksi HIV adalah anak-anak.
Dari seluruh wilayah di dunia, Afrika masih menjadi ”rumah” bagi HIV dengan jumlah pengidap HIV terbanyak, sejumlah 27,5 juta orang. Di urutan kedua, di Amerika dan Asia Tenggara masih-masing terdapat 3,7 orang terinfeksi HIV. Sementara paling sedikit, 420.000 orang terinfeksi HIV berada di region Timur Tengah.
Adapun WHO melaporkan, penularan HIV secara global paling banyak diakibatkan oleh hubungan seksual antara sesama lelaki, yakni 23 persen. Penularan tertinggi kedua diakibatkan oleh faktor berganti-ganti pasangan hubungan intim yang dialami oleh pekerja seksual dan pasangan yang salah satunya telah terinfeksi HIV.
Mengerucut ke Indonesia, melihat banyaknya populasi orang terinfeksi HIV di Asia Tenggara mengharuskan Indonesia untuk lebih waspada terhadap penyebaran dan penularan virus ini. Berbasiskan data 2018, WHO menyebutkan bahwa tingkat penularan HIV di Indonesia menurun sejak 2010 hingga 2018. Sebaliknya, tingkat kematian akibat HIV dan AIDS justru meningkat dari tahun ke tahun.
Penurunan angka penularan HIV memberikan gambaran kemajuan penanganan HIV di Tanah Air. Dalam pengamatan WHO, Indonesia telah melakukan kemajuan besar dalam fase pencegahan, yaitu melalui peningkatan angka pemeriksaan HIV. Deteksi dini ini membuat upaya penanganan dan pengobatan dapat dilakukan sedini mungkin.
Namun, upaya pencegahan tersebut masih harus diikuti langkah pengobatan untuk mencegah tren peningkatan kematian akibat HIV. Data Kementerian Kesehatan pada Maret 2021 menyebutkan, dari kasus HIV yang ditemukan, tidak semuanya rutin dan pernah mengikuti pengobatan. Hanya 144.632 dari 269.289 orang dengan HIV yang mengikuti pengobatan antiretroviral.
Secara khusus, WHO menyoroti adanya tren peningkatan penularan di Indonesia yang disebabkan oleh hubungan seksual sesama jenis di antara lelaki. Di Indonesia, Kementerian Kesehatan menyebut istilah ini sebagai hubungan lelaki suka lelaki atau LSL. WHO menyebutkan bahwa di Asia dan Pasifik, penyebaran HIV akibat hubungan LSL menyumbang hampir sepertiga infeksi baru pada 2019.
Untuk menyelidiki faktor ini, WHO bekerja sama dengan Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak-anak (Unicef) dan Kementerian Kesehatan mengadakan penelitian berbasis survei di Bandung, Jawa Barat, pada akhir 2018 hingga awal 2019. Dalam penelitian ini, WHO melakukan wawancara mendalam terhadap empat pasangan sesama lelaki yang telah terinfeksi HIV serta melakukan diskusi dengan komunitas penyintas HIV dan AIDS.
Tanpa bermaksud mempromosikan hubungan sesama jenis di Indonesia, WHO secara hati-hati menarik kesimpulan pada aspek lingkungan yang mendorong perilaku berisiko tersebut. Maksudnya, lingkungan masyarakat di Indonesia masih rentan memberikan stigma, diskriminasi, dan eksklusivitas terhadap orang-orang, khususnya laki-laki, yang tertarik terhadap sesama jenisnya. Diskriminasi ini akhirnya mendorong para LSL untuk melakukan hubungan secara terselubung atau tersembunyi.
Dengan situasi ini, di satu sisi para LSL enggan mengakses layanan kesehatan untuk secara rutin memeriksakan kondisi kesehatannya. Di lain sisi, layanan kesehatan pun mengalami kesulitan untuk menjangkau para LSL yang rentan terhadap penularan HIV karena populasi ini tertutup. WHO turut memberikan gambaran konteks bahwa praktik hukum dan norma masyarakat Indonesia masih kurang ramah terhadap komunitas LGBT.
Kesimpulan dari WHO, pencegahan penularan HIV dan AIDS yang dapat berujung pada kematian di Indonesia dapat dilakukan dengan adanya keterbukaan dari masyarakat. Keterbukaan ini terkait dengan orang-orang yang memiliki preferensi ketertarikan seksual dengan sesama jenisnya, baik laki-laki maupun perempuan. Hal ini terutama membutuhkan peran generasi muda karena faktanya kelompok LSL muda menjadi pendorong meningkatnya epidemi HIV di Indonesia.
Faktor penularan
Impian Indonesia untuk bebas AIDS pada 2030 nanti tampaknya masih perlu menempuh jalan yang sangat panjang. Sebab, hingga 2020, Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan mencatat terdapat 41.987 orang yang terinfeksi HIV. Dari jumlah tersebut, 20,6 persen atau 8.639 orang hidup berdampingan dengan AIDS.
Jika dibandingkan dengan 2019, jumlah orang yang terinfeksi HIV memang menurun cukup banyak, yakni selisih 8.000 orang. Namun, penurunan ini tidak terjadi di segmen orang dengan AIDS karena jumlahnya bertambah hingga lebih dari 1.500 orang dalam jarak setahun. Artinya, pencegahan HIV di Indonesia sudah mengalami peningkatan, tapi belum diimbangi dengan penanganan AIDS di kalangan orang dengan HIV.
Poin penting yang patut disyukuri, dalam kurun sepuluh tahun terakhir sejak 2011, tren angka kematian akibat AIDS secara nasional mengalami penurunan. Tingkat kematian ini diartikan sebagai persentase jumlah kematian dibandingkan dengan jumlah kasus dalam suatu penyakit tertentu. Untuk HIV dan AIDS di Indonesia, angka kematian bergerak menurun dari 4,14 persen di 2011 hingga menjadi 0,59 persen pada 2020.
Persentase kematian akibat AIDS tertinggi sebelumnya dialami Indonesia pada 2000 dengan angka sebesar 21,38 persen, lalu menurun pada tahun-tahun berikutnya. Pada 2004, angka kematian ini naik kembali hingga menyentuh angka 13,21 persen. Dalam laporan ini, Kemenkes mengklaim bahwa upaya pengobatan AIDS di Indonesia telah berhasil menekan angka kematian akibat AIDS hingga sejauh ini.
Sementara itu, dari segi lokasi, Jawa Timur dan Jawa Barat merupakan dua provinsi di mana ditemukan orang dengan HIV terbanyak pada 2020. Kemenkes mendata, sebanyak 7.157 orang dengan HIV berada di Jawa Timur, sedangkan di Jawa Barat terdapat 5.666 orang dengan HIV.
Uniknya, pada 2020, pengidap AIDS terbanyak justru ditemukan di Papua dan Jawa Tengah. Masing-masing terdapat 1.629 pengidap AIDS di Papua dan 1.387 pengidap AIDS di Jawa Tengah. Bisa dikatakan, berdasarkan data ini, Pulau Jawa menjadi daerah rawan penularan HIV dan AIDS yang harus diberi perhatian lebih oleh dinas terkait.
Sedikit berbeda dengan tren dunia, orang dengan HIV di Indonesia mayoritas adalah laki-laki. Jika data global menunjukkan bahwa pengidap HIV lebih banyak perempuan (51 persen), di Indonesia laki-laki pengidap HIV mencapai persentase 67 persen. Hal yang sama juga terjadi pada laki-laki pengidap AIDS yang persentasenya sebesar 68 persen dari keseluruhan pengidap AIDS di Indonesia.
WHO menyoroti adanya tren peningkatan penularan di Indonesia yang disebabkan oleh hubungan seksual lelaki dengan sesama jenisnya.
Hal yang perlu ditindaklanjuti dari laporan Kemenkes ialah faktor risiko penyebab kasus HIV di Indonesia pada 2020. Disebutkan, pada lebih dari setengah pengidap HIV di Indonesia tidak diketahui penyebab penularannya. Sementara penyebab lainnya adalah hubungan seksual sesama jenis (22,2 persen), hubungan seksual lain jenis (16,5 persen), penggunaan jarum suntik atau narkoba (0,5 persen), dan lainnya (8,2 persen).
Jika dikaitkan dengan penelitian WHO, Unicef, dan Kemenkes pada 2019, ada benang merah yang dapat ditarik. Pertama, tingkat penularan HIV dari hubungan seksual sesama jenis, khususnya LSL, menjadi faktor penularan yang harus diberi perhatian lebih. Kedua, besar kemungkinan mayoritas pengidap enggan menyatakan penyebab dirinya tertular karena masih terbentur stigma di masyarakat, terutama kaitannya dengan hubungan seksual sesama jenis.
Maka, rekomendasi selanjutnya ialah Kemenkes serta dinas terkait perlu menyusun strategi untuk menjemput bola atau proaktif memberikan pelayanan kesehatan kepada kelompok penyuka sesama jenis di Indonesia. Pelayanan kesehatan ini juga termasuk edukasi terus-menerus agar kelompok ini pada akhirnya berani terbuka pada persoalan kesehatan, khususnya menyadari risiko penularan HIV di lingkup mereka.
Anak muda
Secara khusus, praktik seks bebas di kalangan muda merupakan agenda jangka panjang dan ranah pembinaan yang harus terus-menerus digaungkan oleh pemerintah. Sebab, berdasarkan data 2020, AIDS paling banyak disebabkan oleh hubungan seksual lain jenis. Dari data terakhir pula, pengidap AIDS terbanyak berasal di kalangan usia 20-29 tahun, sebanyak 31 persen, dan 30-39 tahun, sebanyak 33 persen.
Dengan praktik seks bebas yang cenderung bergonta-ganti pasangan, anak muda rentan tertular HIV, yang berisiko juga pada AIDS. Di sinilah peran keluarga dan masyarakat menjadi pemain kunci dalam melakukan kontrol sosial terhadap generasi muda. Karena bagaimanapun, hubungan seksual dengan pasangan yang sah adalah hal yang paling aman untuk menjaga kesehatan fisik dan mental.
Baca juga : Pandemi Mengaburkan Jejak Virus HIV
Mengingat masih tingginya tingkat penularan HIV dan AIDS di Indonesia, Kemenkes tidak dapat bekerja sendirian. Kasus HIV dan AIDS yang banyak terjadi di kalangan muda menjadi fakta pendorong bahwa dibutuhkan peran serta masyarakat untuk aktif melakukan edukasi serta mencegah penularan HIV dan AIDS.
Selain itu, masyarakat juga perlu bersikap terbuka terhadap keberadaan kelompok orang yang memiliki preferensi seksual terhadap sesama jenis. Harapannya, kelompok ini tidak lagi menutup diri secara berlebihan sehingga melakukan tindakan yang justru mendorong penularan HIV terhadap sesamanya. Akhirnya, di balik harapan Indonesia terbebas dari HIV dan AIDS, perlu diakui bahwa Indonesia masih perlu menempuh jalan panjang dengan segala bentuk penanganan yang adaptif saat ini. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Ujian bagi Program HIV/AIDS