Pandemi Mengaburkan Jejak Virus HIV
DI tengah pandemi Covid-19, terjadi penurunan laporan layanan tes dan obat HIV di sejumlah negara. Hal ini mengkhawatirkan karena tes HIV merupakan cara untuk mengetahui apakah orang tertular (HIV) atau tidak.
Pandemi Covid-19 menyebabkan gangguan layanan tes dan pengobatan HIV/AIDS yang masih menjadi persoalan serius masyarakat dunia. Masih banyak negara, termasuk Indonesia, belum tuntas mendeteksi penyebaran HIV/AIDS.
Tes HIV menjadi bagian penting dari upaya dunia menghadapi kasus HIV/AIDS. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menegaskan, tes ini merupakan satu-satunya cara untuk mengetahui apakah seseorang tertular (HIV) atau tidak.
Hingga 2019 tercatat sekitar 38 juta penduduk dunia hidup dengan HIV, merujuk data Badan PBB untuk Masalah AIDS (UNAIDS). Sebanyak 81 persen dari mereka menyadari keberadaan HIV di dalam tubuh.
Namun, masih ada 7 juta orang lainnya yang tidak menyadari HIV di tubuh mereka. Data tahun lalu juga memperkirakan ada lebih kurang 1,7 juta kasus infeksi baru HIV.
Sementara itu, layanan tes dan pengobatan HIV menunjukkan kecenderungan menurun di banyak negara. Hal ini tecermin dari laporan WHO dan UNAIDS pada dua periode berbeda.
Pada Juni 2020, publikasi WHO menunjukkan, 127 negara melaporkan adanya gangguan pasokan ARV, obat untuk menekan aktivitas virus HIV. Sebanyak 36 negara di antaranya melaporkan gangguan dalam penyediaan layanan ARV sejak April.
Negara-negara ini memiliki 11,5 juta orang yang menjalani pengobatan terapi antiretroviral (ART). Populasi yang mendapatkan terapi infeksi HIV dengan beberapa obat berbeda tersebut mencapai 45 persen dari total individu yang menjalani ART.
Pada pertengahan Oktober, UNAIDS kembali memublikasikan penurunan laporan layanan tes dan obat HIV di sejumlah negara. Penurunan layanan tes HIV terindikasi dari rasio uji yang dilakukan atas virus ini pada bulan tertentu terhadap bulan Januari sebagai acuannya.
Rasio uji bernilai satu menunjukkan, tes HIV pada bulan bersangkutan sama dengan tes yang dilakukan pada bulan Januari. Artinya, tidak terjadi penurunan layanan tes HIV pada bulan bersangkutan.
Jika rasio bernilai kurang dari satu, tes HIV pada bulan bersangkutan lebih rendah dari tes yang dilakukan pada Januari. Hal ini berarti layanan tes HIV pada bulan bersangkutan menurun dibandingkan dengan Januari sebagai acuannya.
Publikasi UNAIDS menunjukkan, laporan data lengkap layanan tes dan ketersediaan obat HIV hanya tersedia di 17 negara dari total 56 negara yang melaporkan situasi HIV. Laporan organisasi itu juga menunjukkan penurunan terus-menerus pada laporan layanan tes dan obat HIV di semua negara, kecuali Rwanda.
Tidak mudah
Bagi Indonesia, melacak dan mengobati pengidap HIV/AIDS bukan pekerjaan mudah. Sampai akhir tahun 2018, dari perkiraan 640.000 kasus positif, baru 52 persen yang terdeteksi.
Dari jumlah itu pun, baru sekitar 108.000 orang yang mendapatkan obat ARV. Tahun lalu, Indonesia masih mengejar target pengobatan ARV untuk sekitar 258.000 orang (Kompas, 29 Agustus 2019).
Padahal, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui lembaga UNAIDS mencanangkan target program ”90-90-90” sejak tahun 2013. Target yang dimaksud berupa capaian 90 persen populasi yang sadar akan status HIV mereka, menerima ART, dan mendapatkan supresi (pengurangan kemampuan penggandaan) virus.
Pada tingkat global, hingga tahun lalu baru tercapai 81 persen populasi sadar akan status HIV mereka, 67 persen populasi menerima ART, dan 59 persen populasi mendapatkan supresi virus.
Guru Besar Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Zubairi Djoerban menjelaskan, target 90-90-90 tersebut tidak akan berhasil tanpa tes sebanyak mungkin.
Indonesia, menurut Zubairi, seharusnya mencontoh negara lain yang sudah menerapkan tes bagi sebagian besar penduduknya. Salah satu contoh adalah China yang sekitar 70 juta penduduknya rutin melakukan tes setiap tahun.
Indonesia baru mampu menjalankan tes HIV untuk kurang dari 10 persen penduduk hingga saat ini. Setiap tahun, pemerintah menyediakan reagen tes HIV untuk 5 juta-7 juta orang.
Sasarannya ialah ibu hamil, pasangan orang dengan HIV/AIDS (ODHA), dan pengunjung serta pekerja seks komersial. Kelompok sasaran lain ialah mantan atau pengguna narkoba suntik, komunitas homoseksual, waria, penderita infeksi menular seksual, serta pengidap tuberkulosis.
Kesadaran memeriksakan diri untuk status HIV pun relatif masih rendah. Mengacu pada data aplikasi Sistem Informasi HIV-AIDS dan Infeksi Menular Seksual Kementerian Kesehatan, tercatat 10.376 kasus infeksi HIV yang dilaporkan pada Januari-Maret 2017.
Sekitar 70 persen di antaranya termasuk kelompok usia produktif 25-49 tahun dan 17,6 persen usia 20-24 tahun. Data Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan pada Januari-September 2020 juga menunjukkan kondisi yang sama.
Laman Centers for Disease Control and Prevention merekomendasikan bahwa setidaknya warga usia 13-64 tahun menjalani tes HIV. Lebih baik lagi jika tes HIV dilakukan rutin setiap tahun.
Malu dan stigma
Menurut Samsuridjal Djauzi, Guru Besar Tetap Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, masih banyak penduduk yang takut dan malu akan hal ini. Belum lagi masalah masih banyak yang takut atau segan dengan memulai obat ARV.
Video Cerita : Kisah 14 Tahun Hidup Bersama HIV
Padahal, dengan obat ini, diharapkan 90 persen viral load (tes untuk mengukur jumlah virus HIV dalam darah) tak terdeteksi. Artinya, jumlah virus bisa ditekan hingga bisa mengurangi risiko penularan pada pasangan.
Kekhawatiran akan tes itu kini ada solusinya, yaitu tes mandiri. Mulai tahun 2021, ada layanan screening HIV melalui pemeriksaan air liur (saliva) yang bisa dilakukan di rumah atau LSM dengan pengawasan dan arahan petugas kesehatan.
Baca juga : Penanggulangan HIV/AIDS Butuh Terobosan Konkret
Samsuridjal menjelaskan, tes mandiri diharapkan bisa memperluas jangkauan HIV. Sekarang diintensifkan tes bagi pasangan ODHA.
”Sering terjadi, setelah salah seorang positif dan sakit berat, pasangannya yang tertular belum menjalani tes. Kita berharap estimasi ODHA yang sekitar 540.000 orang akan dapat ditemukan dan diobati,” ujarnya.
Masalah lain ialah stigma, diskriminasi terhadap populasi kunci. Hal ini berdampak pada hambatan akan layanan pencegahan, perawatan, dan dukungan bagi yang membutuhkan.
Hal itu terlihat dalam penjelasan tentang Survei Terpadu Biologis dan Perilaku (2015). Hasil survei ini menemukan tingginya tingkat tes HIV yang dilakukan secara terpaksa. Hal itu mengindikasikan rendahnya tingkat penghormatan terhadap hak asasi populasi kunci dalam konteks penanggulangan HIV.
Banyak dari komunitas homoseksual, waria, pengguna narkoba suntik, dan komunitas tertutup lain yang tak mudah mengakses layanan kesehatan karena sikap tidak bersahabat dari tenaga layanan kesehatan. Tidak sedikit juga dari mereka yang merasa dibedakan dan dihakimi.
Kekhawatiran akan diskriminasi banyak dilaporkan oleh populasi kunci dalam survei tersebut. Hal ini pun akhirnya menjadi alasan mengapa mereka memilih tak mengungkap status HIV kepada anggota keluarga, teman, dan/atau pasangan tetapnya.
Baca juga : Kemudahan Layanan Kesehatan di Masa Pandemi
Masalah terkait dengan pemahaman tenaga layanan kesehatan juga pernah dibahas dalam laporan WHO bertajuk ”Kajian Nasional Respons HIV di Bidang Kesehatan RI” tahun 2017. Salah satu yang diungkap dalam laporan tersebut ialah kurangnya pemahaman tenaga kesehatan terhadap muatan konseling yang dianjurkan. Akibatnya, tes HIV menjadi rendah pada kelompok populasi tertentu.
Satu dekade ke depan, dunia menargetkan sasaran penanganan HIV/AIDS yang jauh lebih besar. Sasaran itu disebut ”Three Zero” atau nol kasus untuk target kasus baru HIV, kematian, dan stigma pada tahun 2030. Melihat situasi Indonesia sekarang dan sisa 10 tahun target Three Zero, penanganan HIV/AIDS di negeri ini boleh dibilang masih jauh panggang dari api. (LITBANG KOMPAS)