Pembenahan integritas masih menjadi pekerjaan rumah yang harus dibereskan kejaksaan. Menyongsong Hari Bhakti Adhyaksa Ke-61 pada 22 Juli, publik berharap pada reformasi di tubuh lembaga ini dapat berjalan tuntas.
Oleh
Eren Marsyukrilla
·4 menit baca
”Integritas dan profesionalitas jaksa adalah keharusan. Pengawasan dan penegakan disiplin internal harus terus diperkuat. Kejaksaan harus bersih, Kejaksaan harus dapat menjadi role model penegak hukum yang profesional dan berintegritas.”
Demikian pesan yang disampaikan Presiden Joko Widodo dalam sambutannya secara virtual pada Rapat Kerja Kejaksaan RI pada akhir tahun 2020. Amanat Presiden sangat jelas bahwa kiprah Korps Adhiyaksa itu sangat penting dalam mengemban tanggung jawab mewujudkan kepastian hukum Indonesia.
Namun, realitas menunjukkan hal berbeda. Pertengahan Juni 2021, publik kembali diingatkan pada persoalan integritas yang melibatkan bekas jaksa Pinangki Sirna Malasari. Hal ini terjadi setelah ada ”diskon” masa hukuman Pinangki menjadi hanya 4 tahun oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.
Padahal, dalam persidangan 8 Februari 2021, majelis hakim pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menjatuhkan vonis 10 tahun penjara ditambah denda Rp 600 juta subsider 6 bulan kurungan bagi Pinangki. Majelis hakim menyatakan, terdakwa telah terbukti melakukan beberapa tindak pidana, yaitu menerima suap 500.000 dollar AS, melakukan pencucian uang, dan pemufakatan jahat terkait dengan perkara Joko S Tjandra.
Jaksa penuntut umum (JPU) menyatakan tidak mengajukan kasasi terhadap putusan pengadilan tinggi yang memangkas hukuman Pinangki. Dalam keterangannya, JPU menilai putusan majelis hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta telah sesuai dengan tuntutan sehingga tak terdapat lagi alasan untuk mengajukan kasasi.
Perkara Pinangki tentu sangat mencoreng wajah penegakan hukum, khususnya di lingkungan kejaksaan. Lihat saja kegelisahan publik yang tecermin dari petisi daring Change.org yang diprakarsai Indonesia Corruption Watch dengan judul ”Hukuman Pinangki DIPOTONG 6 Tahun”. Petisi ini sampai akhir Juni setidaknya ditandatangani 17.385 pengguna internet. Petisi ini juga mendorong kejaksaan mengajukan kasasi atas putusan banding yang dinilai mencederai rasa keadilan masyarakat tersebut.
Citra lembaga
Persoalan integritas pada kerja-kerja penegakan hukum memang sensitif memengaruhi kepercayaan publik. Dalam hal ini, benar amanat yang disampaikan Presiden bahwa kiprah kejaksaan sangat menentukan perwajahan penegakan hukum di Indonesia yang dapat memberikan kepastian hukum di hadapan masyarakat. Hal itulah yang menyebabkan dalam kondisi apa pun lembaga ini tetap harus berkomitmen menunjukkan tajinya dalam penegakan hukum di Indonesia.
Keterlibatan oknum kejaksaan dalam pusaran kasus korupsi menjadi peringatan keras untuk reformasi kelembagaan secara menyeluruh agar lebih berintegritas dan memulihkan kepercayaan masyarakat. Tingkat kepercayaan publik terhadap lembaga kejaksaan, sebagaimana yang terekam dari hasil Survei Nasional Kompas pada April 2021, citra positif kejaksaan berada di angka 74,2 persen. Capaian itu tentu tak begitu mengecewakan di tengah ramainya polemik di ruang penegakan hukum saat ini.
Namun, hal ini belum sangat memuaskan dibandingkan dengan lembaga penegak hukum lainnya. Hasil survei citra positif lembaga kepolisian mencapai 78,7 persen. Begitu pula dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dinilai bercitra positif oleh 76 persen responden, serta Mahkamah Konstitusi yang diapresiasi 75,9 persen responden. Kejaksaan hanya mengungguli Mahkamah Agung yang mendapat penilaian baik dari 73,5 persen responden survei.
Meskipun begitu, capaian citra positif kejaksaan tahun ini juga patut diapresiasi. Setidaknya hal ini jadi capaian terbesar lembaga ini dalam upaya membangun kepercayaan publik dalam tujuh tahun terakhir.
Perbaikan Kinerja
Meningkatnya kepercayaan publik merupakan dampak baik dari berbagai pembenahan yang dilakukan kejaksaan. Bagi kejaksaan, bukan perkara mudah untuk membangun citra baik di mata masyarakat, terlebih ranah kerja-kerja penegakan hukum yang dilakukan tak langsung bersentuhan dengan masyarakat selayaknya kepolisian ataupun KPK.
Dalam laporan kinerja kejaksaan, sepanjang tahun 2020, keuangan negara yang diselamatkan Kejaksaan Agung dan jajarannya di seluruh Indonesia mencapai Rp 19,2 triliun. Keberhasilan itu juga berkontribusi pada penerimaan negara bukan pajak (PNBB) tak kurang dari Rp 346,1 miliar.
Termasuk pula andil kejaksaan dalam penanganan pandemi Covid-19. Kejaksaan melakukan pendampingan hukum keperdataan pengadaan barang dan jasa dalam keadaan darurat dan refocusing anggaran senilai Rp 38,7 triliun. Selain itu, kejaksaan juga terlibat dalam pendampingan kebijakan Pemulihan Ekonomi Nasional dengan total anggaran Rp 68,2 triliun.
Harus diakui pula, di tengah sandungan persoalan integritas oleh sejumlah jaksa, kejaksaan selama setahun ke belakang cukup banyak membuat gebrakan penegakan hukum. Misalnya, pengungkapan kasus korupsi di sejumlah lembaga yang selama ini sulit tersentuh hukum, seperti kasus yang membelit asuransi Jiwasraya dan Asabri.
Kinerja penegakan hukum oleh kejaksaan, khususnya terkait korupsi, tetap harus ditingkatkan. Dalam lima tahun terakhir, tren penindakan kasus itu di kejaksaan berkurang, dengan capaian tak lagi menyentuh 300-an kasus yang ditangani.
Meskipun demikian, dari penindakan kasus korupsi tahun 2020, nilai kerugian negara yang dapat diselamatkan Rp 17,5 triliun. Jumlah ini menunjukkan, kasus-kasus yang kini ditangani kejaksaan menyasar pada korupsi kelas kakap dengan nilai fantastis.
Pada akhirnya, kinerja dan capaian positif kejaksaan dan semua lembaga terkait itulah yang dapat memenuhi harapan publik terhadap perbaikan wajah penegakan hukum di negeri ini. Hukum yang bersih dan berkeadilan hanya bisa terwujud dengan integritas para aparatur penegak hukumnya. (LITBANG KOMPAS)