Kurir Memikul Beban Belanja Daring
Peningkatan jumlah pengiriman barang membuka peluang bagi perusahaan jasa pengiriman dan kurir. Sayangnya, nasib para kurir yang berada di garis depan kerap diabaikan.
Kebiasaan masyarakat menggunakan aplikasi belanja daring tumbuh pesat di tengah pandemi Covid-19. Hal ini makin memajukan ekosistem keuangan dan perdagangan digital di Indonesia. Di balik itu semua, ada kontribusi para kurir yang turut memikul beban pertumbuhan ekonomi digital.
Pesatnya pertumbuhan nilai bisnis daring di Indonesia salah satunya terekam dari data transaksi ritel e-dagang yang dicatat lembaga CEIC. Jika pada 2014 nilai bisnis e-dagang baru sebesar 1,9 miliar dollar AS, jumlahnya terus meningkat menjadi 7,1 miliar dollar AS pada 2017 dan 10,4 miliar dollar AS pada 2019. Di masa pandemi naik signifikan menjadi 12,3 miliar dollar AS (2020).
Tren meningkatnya kebiasaan publik untuk belanja daring sudah terlihat sejak tahun lalu, ketika pandemi Covid-19 melanda dan pembatasan sosial diberlakukan. Berkaca pada hasil jajak pendapat Kompas setahun lalu (16-23 Mei 2020), ditemukan bahwa adanya peningkatan pada pengeluaran uang oleh publik untuk membeli produk atau jasa setelah kebijakan pembatasan sosial diberlakukan.
Peningkatan belanja daring terlihat dari responden yang mulai mencoba belanja barang elektronik atau kebutuhan sehari-hari secara daring. Sebanyak 31,5 persen responden membeli smart TV, laptop, ataupun gawai baru serta mengeluarkan uang untuk memasang jaringan baru internet. Terdapat juga 16,3 persen responden yang berbelanja kebutuhan sehari-hari secara daring.
Hal ini sejalan dengan laporan survei McKinsey & Company pada April 2020 berjudul Implication of Covid-19 for Retail and Consumer Goods in Indonesia. Hasilnya, terdapat 36 persen responden menyatakan bakal lebih banyak menggunakan aplikasi untuk membeli barang kebutuhan sehari-hari. Selain itu, 40 persen responden menyatakan akan memanfaatkan e-dagang.
Kebiasaan berbelanja kebutuhan sehari-hari ini rupanya terus berlanjut meski beberapa bulan kemarin pusat-pusat perbelanjaan dan toko fisik mulai didatangi konsumen. Survei selanjutnya pada November 2020 menyatakan, 9 dari 10 orang Indonesia telah mencoba perilaku belanja baru, yaitu lewat daring. Maka, tidak salah menilai bahwa tren belanja kebutuhan pokok secara daring diperkirakan akan langgeng.
Kegiatan belanja daring yang meningkat ini tentunya akan mendorong kuantitas jumlah pengiriman barang atau logistik. Pada 2018, McKinsey & Company turut memproyeksikan pertumbuhan ini. Diprediksi, pada periode 2017-2022, jumlah pengiriman barang bakal tumbuh enam kali lipat hingga 1,6 miliar barang per tahun.
Bisnis logistik
Ada sejumlah faktor penunjang bagi pesatnya perkembangan lokapasar (marketplace) dan jasa pengiriman di Indonesia saat ini. Keduanya ialah kemudahan mendirikan usaha di kategori perdagangan dan kinerja serta infrastruktur pengiriman logistik.
Berdasarkan laporan Logistik Performance Index 2018 dari Bank Dunia, Indonesia berada di urutan ke-46 dari 160 negara. Secara lebih spesifik, Indonesia ada di peringkat ke-44 untuk kompetensi logistik dan ke-54 dalam hal infrastruktur. Sementara dalam Indeks Kemudahan Berusaha 2020 yang juga dirilis Bank Dunia, Indonesia bahkan menempati peringkat ke-116 dari 190 negara untuk kategori perdagangan lintas batas.
Menyikapi hal tersebut, pemerintah tampaknya terdorong untuk menata kembali ekosistem logistik nasional sejak 2020. Menteri Keuangan Sri Mulyani saat Konferensi Pers Bersama Ekosistem Logistik Nasional secara virtual menyatakan bahwa pemerintah akan melakukan pembentukan National Logistic Ecosystem yang diharapkan akan bisa menurunkan biaya logistik 23,5 persen dari produk domestik bruto (PDB) akan bisa ditekan menjadi 17 persen.
Bersamaan dengan ini, perusahaan lokapasar dan jasa pengiriman akan makin diuntungkan jika ada perbaikan signifikan di sistem perbaikan logistik nasional. Sebab, pengiriman barang akan makin cepat, murah, dan aman. Apalagi saat ini pengiriman pesanan tidak lagi hanya berasal dari kota-kota besar, tetapi juga dari daerah-daerah yang terpencil.
Ada dua model pengiriman logistik yang saat ini berlaku, yakni hub and spoke dan point-to-point. Model hub and spoke memiliki bentuk mirip ban kendaraan. Di sini, barang-barang pesanan konsumen dari sejumlah daerah dikumpulkan di sebuah gudang atau hub yang terletak dekat dengan lokasi pengiriman.
Selanjutnya, para kurir mengambil barang-barang tersebut dan mengantarkannya ke tempat penerima yang ada di sekitar hub. Rute antaran para kurir itulah yang seakan membentuk spoke atau jari-jari di ban kendaraan.
Baca juga: Memaki Kurir COD, Buntut Konsumen Gagal Paham
Sedangkan model point-to-point kurir harus mengambil barang di tempat penjual dan langsung mengantarkannya ke tempat penerima. Sesuai namanya, skema ini mengharuskan kurir bergerak dari satu poin ke poin lainnya sesuai pesanan dengan rute antaran tak terduga. Tidak jarang, pengiriman dengan model ini juga dibatasi oleh perhitungan jam.
Penerapan pengiriman model hub and spoke dapat terlihat di sejumlah lokapasar yang bekerja sama dengan jasa pengiriman yang menyediakan layanan kargo dan memiliki durasi pengiriman yang bervariasi. Mulai dari sampai di tempat tujuan keesokan harinya hingga 14 hari. Sedangkan pengiriman model point-to-point biasanya menggunakan jasa pengiriman ojek daring.
Beban kurir
Peningkatan jumlah pengiriman barang atau niaga akan membuka peluang bagi perusahaan jasa pengiriman dan para pekerja di dalamnya. Jika proyeksi McKinsey & Company terealisasi, diperkirakan dari sektor niaga atau pengiriman daring secara langsung dan tidak langsung akan menyokong 26 juta tenaga kerja pada 2022 atau sekitar 20 persen dari total tenaga kerja di Indonesia. Para tenaga kerja yang disokong ini termasuk para kurir pengendara motor yang lalu lalang melayani pesanan konsumen.
Sayangnya, perhatian pemerintah selama ini hanya tertuju pada pengembangan perusahaan-perusahaan penyedia layanan pasar daring. Platform jasa pengiriman juga menuai apresiasi yang sama. Misalnya, laporan dari Center for Strategic and International Studies (CSIS) yang menjelaskan besarnya kontribusi Gojek dan Grab pada perekonomian Indonesia.
Sedangkan di balik itu semua, nasib para kurir yang berada di garis depan kerap diabaikan. Misalnya, soal regulasi yang mengandalkan istilah ”sistem kemitraan” perlu dievaluasi kembali karena faktanya perusahaan dapat sewaktu-waktu menurunkan tarif dan insentif secara sepihak. Padahal, para kurir ini menanggung beban citra perusahaan yang mempekerjakannya sekaligus beban kemajuan ekonomi digital.
Hanya saja, nasib para kurir ini kurang diperhatikan oleh pemerintah ataupun perusahaan lokapasar dan jasa pengiriman tempatnya bekerja. Pangkal masalahnya, para pengemudi dan kurir daring tidak masuk dalam cakupan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan karena mereka berstatus mitra, bukan karyawan.
Sistem kemitraan yang diusung perusahaan jasa pengiriman mengacu pada definisi kemitraan yang ada dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Disebutkan, kemitraan yang terjalin mesti berlandaskan pada prinsip ”saling memerlukan, memercayai, memperkuat, dan menguntungkan”.
Lagi pula, belum ada regulasi yang mengatur skema perhitungan tarif minimum bagi para kurir online. Dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 12 Tahun 2019, yang diatur hanyalah formula perhitungan biaya jasa untuk mitra pengemudi yang mengangkut penumpang, bukan barang.
Begitu juga dalam Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 1 Tahun 2012 pun menyebutkan bahwa besaran tarif dan standar layanan pos komersial tidak diatur pemerintah. Oleh karena itu, perusahaan bisa dengan leluasa mengatur kebijakan tarif bagi para kurir daring tanpa khawatir melanggar hukum. Termasuk pula memberhentikan kemitraan secara sepihak dengan alasan efisiensi perusahaan.
Kesejahteraan
Selain persoalan upah yang layak bagi para kurir, keselamatan para kurir selama bekerja juga merupakan hal mutlak yang perlu diperhatikan oleh perusahaan dan pemerintah. Sudah sering terlihat di jalan raya, para kurir terpaksa mengangkut muatan berlebih atau berukuran terlalu besar. Belum lagi, sistem cash on demand (COD) yang belakangan menjadi pembicaraan warganet di media sosial.
Secara garis besar, itulah situasi pekerja di tengah era ekonomi gig, kondisi pasar yang banyak diisi oleh pekerja lepas atau pekerja kontrak independen. Para kurir daring ini ialah salah satu di antara pekerja informal yang turut mendorong ekonomi gig di Indonesia. Ironisnya, para pekerja ini harus menanggung segala risiko pekerjaan di atas pijakan hukum yang rapuh.
Baca juga: Insentif Dipangkas, Mitra Kurir Butuh Jaminan Kerja Layak
Di satu sisi, pemerintah perlu membenahi regulasi demi menjamin kesejahteraan dan terutama keselamatan para kurir. Di sisi lain, perusahaan penyedia layanan pengiriman jangan menggunakan istilah ”kemitraan” sebagai celah untuk menerapkan kebijakan sepihak dan semena-mena. Kesejahteraan para kurir adalah hal penting guna memelihara ekosistem ekonomi digital saat ini. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Jalan Terjal Logistik Selama Pandemi