Mengapa Taruhan Identik dengan Kaum Pria?
Saling bertaruh atau berjudi sering kali melekat pada sosok pria, mulai dari sabung ayam hingga judi daring. Pertaruhan tidak melulu seputar uang, tetapi persoalan maskulinitas.
”Ayo, tebak skor akhir pertandingan Inggris lawan Jerman!
”Boleh, pegang 0-2 ya buat Portugal… Pasang 200 ribu nih.”
”Siap… tebakanku hasilnya 2-1, Inggris menang! Deal ya, 200 ribu, hehehe.”
”Oke…”
Ajakan semacam itu belakangan muncul di aplikasi pesan entah di grup atau pesan personal, seiring berlangsungnya kompetisi sepak bola Piala Eropa 2020 di pertengahan Juni 2021 ini. Meski tidak sama persis, muatannya sama: mengajak tebak-tebakan hasil akhir dan mempertaruhkan sesuatu. Para ”petarung” ini biasanya mempertaruhkan uang berapa pun nominalnya, tergantung isi kantong, peluang ketepatan prediksi skor, dan tentu saja faktor keberuntungan.
Uniknya, kegemaran bertaruh atau berjudi ini umumnya digemari kaum pria, salah satu buktinya dapat dilihat melalui pemberitaan harian Kompas (14/8/2018). Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Cilacap menangkap 51 tersangka kasus perjudian selama sebulan di wilayah Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Jajaran kepolisian menyita barang bukti berupa ratusan juta rupiah hasil judi togel, dadu, dan kartu remi.
Begitu juga dengan temuan polisi di daerah Percut Sei Tuan, Medan, Sumatera Utara, pada Januari 2021. Atas laporan warga, Polsek Percut Sei Tuan menggerebek lokasi perjudian di Selambo, Medan. Polisi menangkap dua pria yang diduga berperan sebagai operator arena judi dan menyita minuman keras serta barang bukti kertas judi.
Dua kasus di atas menggambarkan pola kejadian yang sering terjadi dalam tindakan pengungkapan kasus perjudian oleh pihak kepolisian. Polanya, para penjudi ini memiliki bandar yang menempati lokasi tersembunyi dan umumnya kaum pria. Sebenarnya beberapa kasus juga menemukan bandar judi adalah seorang wanita, tetapi hal ini jarang terjadi.
Stereotip penjudi umumnya dilakukan pria turut dilanggengkan melalui industri film. Sebut saja tiga seri film God of Gamblers (1989, 1990, dan 1991), Casino (1995), dan Mississippi Grind (2015), yang tokoh utamanya adalah seorang pria dan berakhir dengan kesuksesan karena menang judi. Namun, benarkah stereotip ini juga berlaku umum di Indonesia?
Maskulin
Untuk menjawabnya, dapat ditelusuri garis sejarah perjudian yang ditarik dari ”kebiasaan sabung ayam” yang terjadi di beberapa daerah, terutama di Bali. Bukti historis ini dapat ditemukan dalam karya tulisan Clifford Geertz yang berjudul Deep Play: Notes on the Balinese Cockfighting. Dalam tulisan itu, Geertz bercerita bahwa ketika ia dan istrinya berkunjung ke Bali pada April 1958, mereka menyaksikan puluhan orang sedang berkumpul.
Ternyata, puluhan orang itu tengah menyaksikan sabung ayam dan seketika kabur berserakan ketika seseorang berteriak memberi tahu kedatangan polisi ke sana. Dalam karya ini, Geertz tidak secara eksplisit membahas perjudian, tetapi membahas sabung ayam atau tajen (dalam bahasa Bali) dalam sudut pandang antropologis.
Geertz menganalisis bahwa sejatinya tajen adalah simbol maskulinitas. Dalam arena sabung ayam, yang terlihat bertarung adalah ayam. Namun, lebih jauh lagi, ayam-ayam tersebut merupakan perwakilan dari kaum pria di Bali.
Bagi masyarakat Bali, tajen atau adu ayam sudah menjadi bagian dari tradisi dalam budaya Bali yang dipraktikkan sejak abad ke-10. Tajen merupakan bagian dari upacara ritual keagamaan Tabuh Rah, yakni pengusiran roh jahat melalui pengorbanan hewan, yaitu menuangkan (menabuh) darah ayam jantan yang kalah dalam sabung ayam. Pada dasarnya, tajen diadakan dalam perayaan besar atau upacara adat.
Dalam upacara Tabuh Rah, masyarakat memasang taji (tajen) atau benda tajam di kaki salah satu ayam jantan yang diadu. Adapun ayam lain yang menjadi lawannya hanya dipasangkan sebilah bambu atau kayu di kakinya. Pertarungan ayam dalam ritual itu disebut ”Perang Seta” dan tujuannya agar ada ayam yang mati sehingga darahnya membasahi tanah (bumi).
Darah itu lalu dicampur dengan tiga macam cairan berwarna, yakni warna putih dari tuak, warna kuning dari arak, dan warna hitam dari berem. Percampuran ini sebagai simbol pengingat agar umat manusia menjaga keseimbangan antara bhuwana alit (manusia) dengan bhuwana agung (semesta). Adu ayam ini bukan satu-satunya cara untuk menabuh darah, cara lainnya orang dapat pula langsung menyembelih ayam untuk menabuh darah ke tanah.
Hal ini berbeda bagi raja-raja di Bali yang dapat menggelar adu ayam tanpa tujuan sakral dan itulah hak istimewa mereka. Adu ayam dilakukan demi kesenangan pribadi dan menjadi simbol kebesaran raja. Kebiasaan ini menular kepada rakyat, bahkan bukan hanya di Bali saja. Bukti-bukti literatur sejarah menyebutkan bahwa sabung ayam juga dilakukan di wilayah Pulau Jawa hingga Sumatera.
Di mata penegak hukum, tajen erat kaitannya dengan praktik judi yang melanggar hukum ataupun nilai dalam masyarakat. Praktik tajen telah melenceng jauh dari rangkaian upacara dan kesucian nilainya. Apalagi, dalam arena sabung ayam kerap ditemukan relasi transaksional di kalangan pemain dan penonton, mulai dari uang hingga istri dari orang yang berjudi, seperti yang dikisahkan kembali dalam salah satu cerpen karya Faisal Baraas (1971).
Berpijak pada sejarah sabung ayam yang mewakilkan praktik perjudian di masa lalu, aktor yang terlibat umumnya laki-laki. Salah satu faktornya ialah budaya patriaki yang kala itu dianut kuat dalam struktur budaya masyarakat. Uniknya, sabung ayam ini terus langgeng hingga kini dan memiliki komunitas nasional dengan nama Paguyuban Penggemar Ayam Jago Indonesia (Papaji).
Judi luar negeri
Di luar negeri, judi dan taruhan dalam berbagai bentuknya masih dilegalkan oleh pemerintahan setempat. Sebab, pemerintah dapat memungut pajak yang cukup besar dari pihak penyelenggara judi hingga hadiah yang diterima oleh para pemenang. Bahkan, di Inggris terdapat Komisi Perjudian Nasional (The Gambling Commission) yang memayungi kegiatan berjudi dan menyediakan aturan serta perlindungan hukum bagi penyelenggara dan pemain.
Menariknya, berdasarkan hasil rilis survei kepada 4.007 responden dari komunitas judi di Inggris, ditemukan bahwa perbedaan jender tidak ada kaitannya dengan kegiatan judi. Proporsi responden yang aktif berjudi dalam setahun terakhir justru sedikit lebih banyak diisi kaum perempuan. Sebesar 52,2 persen responden adalah perempuan, sedangkan laki-laki sebanyak 47,8 persen.
Dari segi usia, para penjudi ini paling banyak berusia di atas 65 tahun, yakni sebesar 23,6 persen atau lebih besar dari kelompok usia lainnya. Kegiatan berjudi memang sudah setara hobi yang berguna untuk mengisi waktu luang. Maka, tidak heran para penggemarnya lebih banyak berasal dari kelompok usia yang sudah pensiun atau memiliki usaha sendiri, alias sudah mapan.
Karena kegiatan judi difasilitasi, ada beragam jenis kegiatan yang diselenggarakan oleh lembaga judi dan diikuti penggemarnya berdasarkan minat serta hadiah yang ditawarkan. Dalam survei ini, setengah dari responden (50,9 persen) mengikuti judi berupa lotere nasional, yakni undian berhadiah jutaan dollar yang jumlah pesertanya berskala nasional. Adapun lainnya masih memilih jenis taruhan yang lebih kecil lingkupnya, seperti menggunakan mesin lotere daring dan luring, serta taruhan untuk hasil pertandingan olahraga.
Namun, jangan dikira bahwa dilegalkannya judi ini juga memberikan rasa aman bagi kehidupan masyarakat sehari-hari. Sebanyak 41,4 responden setuju bahwa kegiatan judi ini sebenarnya erat kaitannya dengan kriminalitas di negara mereka, entah dapat memicu aksi kriminal atau judi itu sendiri pada dasarnya sebuah pelanggaran hukum. Sementara itu, ada 43 persen responden yang merasa judi atau taruhan tidak ada kaitannya dengan tindakan kriminal.
Keterbelahan opini publik di Inggris mengenai kaitan judi dan tindak kriminal dapat mengindikasikan bahwa sebenarnya kegiatan ini memiliki dua nilai dalam masyarakat. Di satu sisi, judi dimaknai sebagai hobi, kegiatan untuk bersosialisasi, hingga menjadi mata pencarian bagi pelakunya. Di sisi lain, ada kekhawatiran bahwa tindakan kriminal, misalnya perampokan atau pencurian dapat dilakukan oleh orang yang kalah berjudi.
Kembali ke persoalan awal, meskipun persoalan jender tidak lagi signifikan, kegiatan judi yang erat diasosiasikan oleh kaum laki-laki memang sudah dikaji sejak lama. Dalam jurnal penelitian yang ditulis oleh Gloria Wong dan peneliti lainnya dari Departemen Psikologi Universitas California ditemukan bahwa kaum pria memang lebih impulsif dalam judi atau taruhan.
Dengan pendekatan klinis dan konseling, ditemukan bahwa para pria, terutama di tahap dewasa awal, lebih menyukai tantangan dibandingkan perempuan sehingga judi pada dasarnya selalu menarik. Dalam uji klinis, ditemukan bahwa perilaku impulsif dan adiktif cenderung lebih mudah dialami oleh kaum pria karena menimbulkan sensasi dari pengalaman yang kompleks.
Sebab, dalam judi atau taruhan, ada pertimbangan serta kalkulasi yang kompleks sebelum menjatuhkan pilihan dan inilah yang memicu sensasi, termasuk kemenangan dan kekalahan.
Temuan lainnya, pria yang sebenarnya tidak pernah berjudi dapat menjadi penjudi yang aktif karena pengaruh pergaulannya. Contohnya, ketika menonton pertandingan bola bersama, ada yang memulai untuk menggelar taruhan, sementara yang tidak mau ikut bertaruh akan dipandang sebagai pengecut. Maka, atas dorongan kelompok pergaulannya, akhirnya semua ikut bertaruh dan kegiatan semacam ini dapat menjadi suatu kebiasaan tiap menonton pertandingan bola bersama.
Tetap menarik
Legalitas perjudian di Indonesia, tepatnya di Jakarta, memang sempat terjadi di pemerintahan Gubernur Ali Sadikin. Ada beberapa tempat judi yang terkenal, yaitu kasino, taruhan pacuan anjing (canidrome) di Senayan, pacuan kuda di Pulomas, serta taruhan olahraga hailai (yang sebetulnya berasal dari bahasa Basque di Spanyol, jai alai) di Hailai, Ancol.
Dilegalkannya perjudian saat itu karena tipisnya dana segar bagi pembangunan Ibu Kota sehingga mengandalkan pajak-pajak dari perjudian untuk menambah pundi Ibu Kota.
Baca Juga: Judi, antara Legal dan Ilegal
Kini, perjudian sudah dilarang secara hukum dalam Pasal 303 Ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Aturan ini merujuk pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Starfrecht) Staatsblad Nomor 732 Tahun 1915. Dari ketentuan KUHP tersebut dapat dilihat bahwa, dalam permainan judi, terdapat unsur keuntungan yang bergantung pada peruntungan atau kemahiran pemain.
Bagaimanapun juga, judi atau taruhan seakan sulit dihilangkan dalam berbagai bentuknya. Judi tidak lagi berada di tempat-tempat seperti pub, diskotik, ataupun pacuan kuda. Dalam remang-remang warung kopi, situs judi daring, dan aplikasi perpesanan di telepon genggam, judi tetap menarik bagi para penguji peruntungan. (LITBANG KOMPAS)
Baca Juga: Dari Kencan hingga Judi Daring