Varian Virus Baru Covid-19 dan Urgensi Vaksinasi Dunia
Munculnya varian baru virus Covid-19 yang lebih ganas ini mengingatkan bahwa pandemi masih jauh dari akhir. Segala upaya dilakukan demi mempercepat produksi vaksin demi menjamin stok vaksin.
Oleh
Debora Laksmi Indraswari
·4 menit baca
Munculnya varian virus baru Covid-19 mendorong negara-negara untuk meningkatkan protokol kesehatan dan mempercepat vaksinasi. Namun, masih ada kendala yang harus diatasi, yaitu vaksinasi yang lambat dan kekhawatiran akan kemampuan vaksin untuk melawan varian baru dalam jangka waktu panjang.
Lebih setahun dunia dilanda pandemi namun kondisi tak juga membaik. Virus SARS-CoV-2 penyebab pandemi Covid-19 seolah-olah tidak ada habisnya menyerang manusia. Setelah vaksin ditemukan dan mulai disuntikan, varian baru virus tersebut muncul tiba-tiba serta memperparah penularan.
Hingga saat ini setidaknya ada empat jenis varian virus Covid-19 yang menjadi perhatian utama dunia. Keempat itu adalah varian Alpha (B.1.1.7 yang ditemukan di Inggris), Beta (B.1.351 ditemukan di Afrika Selatan), Gamma (P.1 ditemukan di Brazil) dan Delta (B.1.617.2 ditemukan di India).
Di Indonesia, dua di antaranya, yaitu varian Alpha dan Delta banyak ditemukan dalam lonjakan kasus di beberapa daerah. Varian Delta tersebut lebih menular atau menyebabkan penyakit yang lebih parah, melemahkan pengobatan, hingga menghindari respons imun atau gagal didiagnosis dengan tes standar.
Bagi para peneliti, munculnya varian-varian virus baru bukanlah hal mengherankan. Sejak munculnya Covid-19, para peneliti telah memperkirakan mutasi virus ini. Akan tetapi, hal yang tidak terprediksi adalah cepatnya penyebaran varian-varian ini.
Munculnya varian-varian baru ini disebabkan karena banyaknya kasus Covid-19 di berbagai belahan dunia. Setiap kasus baru Covid-19 memberi peluang pada virus untuk bermutasi.
Dapat dibayangkan dengan lebih dari 170 juta kasus Covid-19 di dunia maka sejumlah itu pula peluang virus-virus ini untuk bermutasi. Penyebaran yang tidak terkendali juga turut memicu perkembangan jenis virus baru.
Hal ini mengingatkan bahwa protokol kesehatan menjadi sangat penting untuk mengurangi penularan dan peluang bagi virus untuk berkembang. Selain itu, ini juga mengingatkan pentingnya mempercepat dan meratakan vaksinasi untuk mencapai kekebalan komunitas.
Bantuan vaksin
Sayangnya, hingga saat ini masih banyak negara yang vaksinasinya berjalan lambat. The Economist memprediksi 85 negara belum dapat memberikan vaksinasi menyeluruh hingga 2023.
Sebagian besar negara-negara ini berada di Afrika, Timur Tengah, dan Kepulauan Pasifik. Berdasarkan data hingga 15 Juni 2021, setidaknya terdapat 43 negara yang memberikan vaksin kepada satu hingga dua orang per 100 penduduknya.
Karena itu, Covax yang merupakan organisasi gabungan dari CEPI, Gavi, WHO, dan Unicef untuk mengupayakan produksi dan distribusi vaksin, berupaya mendorong negara-negara kaya untuk berdonasi untuk vaksin. Donasi dapat berupa uang atau vaksin. Hingga 14 Juni 2021, Covax telah mengirimkan 87 juta vaksin kepada 131 negara.
Melihat ketersediaan vaksin yang belum merata, negara-negara G-7 menjanjikan lebih dari 870 juta dosis vaksin tambahan untuk diberikan ke negara-negara yang membutuhkan. Jumlah ini menambah komitmen vaksin yang dijanjikan pada Februari 2021 sehingga menjadi total satu miliar dosis. Separuh dosis diharapkan dapat dikirimkan paling lambat akhir tahun ini.
Hal ini disambut baik oleh dunia terutama sejumlah negara yang kesulitan mendapatkan vaksin. Namun, ada hal yang perlu diperhatikan dalam distribusi vaksin ini. Berdasarkan pengalaman beberapa negara, vaksin yang diterima tidak dapat digunakan karena mendekati tanggal kadaluarsa.
Kejadian ini terjadi di sejumlah negara di Afrika karena tidak dapat mendistribusikan dan menyuntikkan vaksin hasil donasi sebelum tanggal kadaluwarsa. Akibatnya vaksin-vaksin tersebut terpaksa dimusnahkan.
Malawi terpaksa memusnahkan 20.000 vaksin AstraZeneca. Sementara Sudan Selatan memusnahkan 59.000 dosis. Kedua negara ini menerima vaksin dari Uni Afrika. Akan tetapi, keduanya tidak dapat memberikan seluruh dosis itu kepada penduduknya hingga tanggal kadaluwarsa pada 13 April 2021.
Bahkan Republik Demokratik Kongo terpaksa harus mengirimkan sebagian dari 1,7 juta dosis jatah vaksinnya ke Ghana dan Madagaskar. Ini karena vaksin tidak akan dapat disuntikan seluruhnya kepada penduduk sebelum tanggal kadaluwarsa pada 24 Juni 2021.
Permasalahannya adalah vaksin-vaksin yang diberikan untuk negara-negara ini hanya terpaut kurang dari tiga bulan hingga tanggal kadaluwarsa. Memang, vaksin AstraZeneca dapat disimpan hingga enam bulan di lemari pendingin.
Namun, jika sisa waktu penyuntikan vaksin hingga ke tanggal kadaluwarsa hanya sebentar, negara-negara ini tidak mampu memberikan semua dosisnya kepada penduduknya.
Akhirnya vaksin-vaksin ini dibagikan kembali ke negara-negara lain agar dapat segera dimanfaatkan. Ironisnya jika terlambat, vaksin-vaksin ini dimusnahkan.
Tidak hanya itu, negara-negara di Afrika juga kekurangan dana sehingga terpaksa menunda vaksinasi. Meskipun vaksin yang diperoleh dari Covax gratis, ada biaya pengiriman dan operasional vaksinasi yang besar. Bank Dunia memperkirakan selain uang yang dibutuhkan untuk membeli vaksin dibutuhkan tambahan tiga miliar dollar AS untuk operasional vaksinasi.
Permasalahan lain yang menyebabkan lambatnya vaksinasi adalah kurangnya vaksinator, pelatihan tenaga kesehatan yang kurang optimal dan masalah administrasi. Distribusi vaksinasi juga terkendala karena terdapat lokasi-lokasi terpencil yang susah diakses.
Pengembangan vaksin
Di sisi lain, munculnya varian-varian baru virus Covid-19 menuntut dunia untuk menemukan formula vaksin baru. Vaksin-vaksin yang sudah ditemukan dan diberikan kepada masyarakat dikhawatirkan belum optimal untuk melawan ganasnya varian baru.
Sejumlah vaksin seperti Pfizer, Moderna dan AstraZeneca memang menyatakan bahwa dosis penuh vaksinnya mampu melindungi orang dari gejala sakit Covid-19 yang parah. Namun, secara khusus ketiganya menyebutkan vaksinnya sedikit memberikan proteksi dari varian Beta walaupun vaksin dapat tetap mengurangi risiko gejala parah.
Sejumlah perusahaan pun melakukan penelitian lebih lanjut untuk menemukan formula baru demi mengantisipasi penyebaran varian baru. Salah satu yang sudah menunjukkan hasil adalah Moderna.
Moderna pada 5 Mei 2021 mengumumkan keberhasilan vaksinnya melawan varian virus Covid-19 baru dalam percobaannya kepada 40 orang. Moderna menggunakan suntikan tambahan (booster) dan vaksin modifikasi khusus untuk melawan varian virus baru pada orang-orang yang telah selesai divaksin dengan dosis awal.Vaksin modifikasi yang disebut mRNA-1273.351 dirancang untuk memerangi varian Afrika Selatan dan Brasil.
Percobaan ini berhasil membuktikan dosis ketiga dan vaksin modifikasi berhasil meningkatkan respons imun terhadap varian virus Beta dan Gamma. Moderna menyebutkan vaksin ini dapat diproduksi dan didistribusikan tahun ini. Dengan ini, Moderna menjadi perusahaan pertama yang mengumumkan keberhasilan vaksinnya untuk melawan varian baru.
Tidak hanya Moderna, Pfizer juga sudah merencanakan uji coba untuk versi baru vaksinnya yang dapat menangkal varian baru khususnya varian Beta. Hal ini dilakukan dengan memberikan suntikan tambahan dan memperbarui vaksinnya.
Munculnya varian baru virus Covid-19 yang lebih ganas ini mengingatkan bahwa pandemi masih jauh dari akhir. Segala upaya dilakukan demi mempercepat produksi vaksin demi menjamin stok vaksin. Berpacu dengan waktu dan penyebaran virus, para peneliti juga berupaya mengembangkan strategi baru untuk melindungi manusia dari Covid-19 untuk jangka waktu panjang.
Yang tidak dapat ditinggalkan adalah perhatian terhadap negara-negara dan daerah-daerah yang rentan tertinggal vaksinasi. Dukungan dan kerja sama penuh diperlukan bagi daerah-daerah ini dengan menyediakan vaksin yang jauh dari waktu kadaluwarsa. Selain itu, perlu dukungan dana serta fasilitas untuk proses vaksinasi. Sebab, tidak ada wilayah yang aman sampai semua orang terlindungi. (LITBANG KOMPAS)