Bagaimana Peraturan Hukum Pidana di Hindia Belanda?
Kedatangan bangsa Eropa berabad-abad silam memberikan perubahan tatanan hukum di wilayah Nusantara. Persoalan kejahatan dan pelanggaran mulai diatur oleh konsep hukum yang dibawa dari tanah Eropa.
Kedatangan bangsa Eropa berabad-abad silam turut memberikan suatu perubahan dalam tatanan hukum di wilayah Kepulauan Nusantara. Secara perlahan, persoalan kejahatan dan pelanggaran mulai diatur oleh konsep hukum yang dibawa dari tanah Eropa.
Posisi Indonesia yang terletak sebagai wilayah penghasil rempah-rempah tak hanya memberikan konsekuensi pada persoalan ekonomi dan politik semata. Kedatangan Belanda yang awalnya bertujuan untuk berdagang di bawah bendera Kongsi Dagang Hindia Timur Belanda (Vereenigde Oostindische Compagnie/VOC) juga melahirkan dampak bagi Indonesia pada bidang hukum.
Sebelum kehadiran bangsa Eropa, wilayah Kepulauan Nusantara telah mengenal konsep hukum untuk mengatur kehidupan masyarakat guna menciptakan tertib sosial. Hal ini salah satunya tergambar dalam kitab hukum Kutaramanawadharmacastra di Era Kerajaan Majapahit yang mengatur berbagai hal tentang kejahatan dan pelanggaran yang sesuai dengan kondisi zaman saat itu.
Secara perlahan, konsep hukum pidana yang lebih luas mulai digunakan seiring banyaknya orang-orang Eropa dan Asia yang berdatangan ke wilayah Kepulauan Nusantara. Awalnya, konsep hukum yang digunakan adalah hukum kapal atau scheepsrecht. Konsep hukum ini hanya berlaku bagi kapal-kapal milik kongsi dagang Hindia Belanda.
Seiring dengan pesatnya perkembangan perdagangan, VOC membuat beragam aturan tambahan untuk pribumi dan golongan Eropa, khususnya terkait perdagangan. Aturan ini diterapkan bersamaan sejumlah hak yang diberikan oleh pemerintah Hindia Belanda kepada VOC untuk melakukan monopoli perdagangan.
Setelah VOC bangkrut pada tahun 1799, aspek hukum tetap menjadi perhatian pemerintah kolonial. Kebijakan terkait peraturan hukum, khususnya hukum pidana, lahir seiring penerapan politik segregasi. Artinya, ada pemisahan peraturan yang dibuat untuk orang-orang Eropa, Asia, dan penduduk pribumi.
Menurut catatan R Soesilo dalam buku Kitab Undang-undang Hukum Pidana (1976), ada dua kitab hukum pidana yang ditetapkan pada medio akhir abad ke-19. Keduanya terdiri dari empat bagian yang berlaku secara terpisah untuk golongan Eropa dan pribumi-timur asing.
Bagian pertama dan kedua adalah kitab hukum pidana yang terbit pada 10 Februari 1866 tentang aspek kejahatan dan 15 Juni 1872 mengenai persoalan pelanggaran. Kedua aturan ini dibuat khusus untuk golongan Eropa.
Kitab hukum pidana bagian ketiga dan keempat ditujukan bagi pribumi dan pendatang lainnya dari Asia atau timur asing. Aturan persoalan kejahatan diterbitkan pada 5 Mei 1872, sementara aturan tentang pelanggaran lainnya terbit pada 15 Juni 1872.
Ragam aturan ini akhirnya coba dikodifikasi seiring kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang juga melakukan hal serupa jelang akhir abad ke-19. Proses ini berhasil diselesaikan dan berlaku di Hindia Belanda sejak 1 Januari 1918. Sejak saat itu, wilayah Kepulauan Nusantara, khususnya yang berada di wilayah kekuasaan pemerintah kolonial Hindia Belanda, resmi memiliki satu kitab undang-undang hukum pidana atau Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie.
Dalam kitab ini, terdapat empat jenis hukuman utama, yakni hukuman mati, gevangenisstraf atau hukuman penjara, hechtenis atau hukuman kurungan, dan denda. Selain itu, juga terdapat hukuman tambahan berupa pencabutan hak, perampasan barang, atau hukuman tambahan lainnya yang diumumkan oleh hakim.
Apa saja persoalan yang diatur dalam kitab hukum pidana saat itu?
Baca juga: Hukum Pidana Era Majapahit: Dari Menebang Pohon hingga Korupsi Menteri
Kejahatan
Jika merujuk pada Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie yang pernah diterbitkan oleh Balai Pustaka di Batavia pada tahun 1940, peraturan hukum pidana ini terdiri dari tiga bagian, yakni aturan umum, kejahatan, pelanggaran. Bagian pertama atau aturan umum, khusus mengatur tentang jenis hukuman, pengertian, dan penjelasan umum lainnya terkait peraturan hukum pidana yang diterbitkan.
Pada bagian aturan tentang kejahatan, terdapat 31 bab yang memuat beragam hukuman pidana tentang berbagai tindakan kejahatan. Penghinaan, membuka rahasia, mencuri, menipu, hingga perkelahian satu lawan satu turut diatur dalam kitab hukum pidana ini.
Pada perkelahian satu lawan satu, misalnya, pemerintah kolonial akan memberikan hukuman penjara selama 9 bulan bagi setiap orang yang menghasut orang lain untuk melakukannya. Jika perkelahian ini menimbulkan korban jiwa, maka akan dikenakan pidana penjara maksimal selama 7 tahun.
Membuka rahasia, baik yang terkait jabatan ataupun pekerjaan, juga dikenakan hukuman penjara maksimal selama 9 bulan. Aturan ini juga berlaku jika seorang pekerja menyebarkan rahasia terkait tempat kerja sebelumnya sekalipun ia sudah tidak lagi bekerja di tempat itu.
Persoalan tentang perdagangan budak juga memperoleh perhatian khusus bagi pemerintah kolonial. Siapa pun yang bekerja sebagai nakhoda tetapi mengetahui bahwa di kapal tersebut terdapat perdagangan budak, maka ia dapat dihukum maksimal 12 tahun penjara. Saat itu telah terdapat kesadaran tentang larangan perdagangan budak yang sempat marak terjadi pada masa VOC.
Baca juga: Preman: Dari Pialang Kuasa hingga Tertib Sosial
Pelanggaran
Pada bagian tentang pelanggaran, terdapat sembilan bab yang memuat sejumlah aturan untuk menjadi pedoman bagi kehidupan masyarakat di masa itu. Pelanggaran tentang adat kesopanan, jabatan, pelayaran, hingga pelanggaran tentang kesehatan umum juga turut diatur dalam aturan ini.
Hal menarik dari aturan ini adalah adanya perhatian khusus bagi orang-orang yang menyanyikan nyanyian yang dinilai tidak patut diperdengarkan di depan umum. Bagi yang melanggar, maka harus menjalani hukuman kurungan maksimal 3 hari.
Hukuman serupa juga diberikan kepada setiap orang yang berpidato di tempat umum dengan isi pidato yang dinilai tidak patut untuk disampaikan. Konsep ”patut” yang dimaksud berkaitan dengan kepentingan pemerintah kolonial untuk menciptakan ketertiban di tanah jajahan.
Dalam kitab hukum pidana ini, pemerintah kolonial juga menyelipkan satu pasal tentang pertolongan bagi orang yang membutuhkan. Dalam pasal 531, siapa pun yang melihat orang lain dalam keadaan bahaya dan mampu memberikan pertolongan tetapi tidak memberikan pertolongan yang semestinya, maka akan diberi hukuman kurungan maksimal selama 3 bulan penjara. Hukuman ini diberikan jika orang yang membutuhkan pertolongan tersebut kehilangan nyawa akibat tidak diberi bantuan.
Baca juga: Misi Utama RKUHP: Dekolonialisasi
Ratu dan gubernur jenderal
Selain persoalan yang berkaitan langsung dengan kehidupan sosial, kitab hukum pidana di era Hindia Belanda juga turut mengatur persoalan politik, khususnya yang berkaitan dengan kehidupan ratu Belanda serta gubernur serta wakil gubernur jenderal di tanah jajahan. Dalam aturan ini, pejabat pemerintahan dilindungi dari berbagai bentuk tindakan yang mengancam jabatan politik mereka.
Aturan ini salah satunya terdapat dalam Pasal 105 bagian pertama tentang kejahatan. Perbuatan makar, baik yang dilakukan dengan tujuan untuk membunuh maupun melengserkan gubernur jenderal atau wakil gubernur jenderal, diancam maksimal dengan hukuman mati. Artinya, tindakan apa pun yang dicurigai dapat menjatuhkan posisi gubernur jenderal ataupun wakilnya harus berurusan dengan hukum.
Perlindungan juga diberikan kepada keluarga dari ratu Belanda. Segala tindakan yang dianggap menghina raja ataupun keluarga dari raja diancam hukuman penjara maksimal 5 tahun.
Jika melihat setiap pasal yang diterapkan di masa Hindia Belanda, sebagian di antaranya tampak sengaja dibuat untuk melanggengkan kekuasaan pemerintah kolonial. Meskipun demikian, kehadiran peraturan hukum pidana ini juga menjadi modal bagi pemerintah saat itu untuk menciptakan tertib sosial sesuai semangat yang dibawa para penjajah. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Mengapa Harus Membayar Berita Daring?