Kudus dan Jejak Penyakit di Masa Lampau
Rekam jejak historis membawa Kudus menjelma sebagai daerah terpadat di Provinsi Jawa Tengah. Kondisi ini sekaligus bermuara pada persoalan sosial di wilayah itu, termasuk di bidang kesehatan.
Sejak berabad-abad silam, Kudus telah memainkan peran penting dalam hal penyebaran agama, geliat ekonomi, dan politik. Posisi Kudus yang terletak pada jalur strategis Anyer-Panarukan turut menambah nilai jual wilayah ini untuk menarik para pendatang.
Rekam jejak historis ini membawa Kudus menjelma sebagai daerah terpadat di Provinsi Jawa Tengah. Kondisi ini sekaligus bermuara pada persoalan sosial di wilayah itu, termasuk di bidang kesehatan.
Dalam diorama sejarah Indonesia, Kudus adalah salah satu wilayah penting yang berperan dalam berbagai aspek. Jauh sebelum daerah ini dikenal dengan kreteknya, Kudus telah menjelma sebagai salah satu pusat peradaban di Pulau Jawa.
Catatan tentang peradaban ini salah satunya terekam dalam Masjid Menara Kudus yang telah dikenal sejak abad ke-16 Masehi. Dengan arsitektur hasil perpaduan Hindu, Jawa, dan Islam, hal ini mengindikasikan bahwa Kudus telah menjelma sebagai salah satu wilayah penting dalam penyebaran agama di masa lampau.
Selain itu, akulturasi budaya ini juga membuktikan bahwa Kudus telah banyak dikunjungi oleh para pendatang, khususnya terkait penyebaran agama yang juga bersisian dengan kegiatan dagang.
Pentingnya wilayah Kudus juga tergambar dari pembangunan jalan raya pos era kepemimpinan Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels pada awal abad ke-19 Masehi. Jalan yang membentang dari Anyer hingga Panarukan ini melalui wilayah Kudus yang saat itu juga telah menjadi kota dagang.
Sejak saat itu, Kudus kian ramai dan banyak didatangi, baik oleh penduduk di Pulau Jawa, luar Jawa, maupun luar wilayah kepulauan Nusantara. Sebagai perbandingan, jika pada tahun 1861 wilayah Kabupaten Kudus dihuni oleh 90.000 penduduk, jumlah ini meningkat hingga tiga kali lipat pada tahun 1915 menjadi 278.00 penduduk.
Secara perlahan, Kudus juga mulai dikenal sebagai pusat geliat ekonomi di utara Jawa bagian tengah, terutama setelah berkembangnya industri kretek sejak medio kedua abad ke-19. Wilayah ini menjelma sebagai sentra industri kretek dan memancing pendatang lainnya, seperti keturunan Tionghoa dan Timur Tengah, untuk membuka usaha serupa di Kudus.
Perkembangan ini semakin mengukuhkan posisi Kudus dalam geliat ekonomi di Pulau Jawa pada masa lampau. Wilayah ini bahkan terus menunjukkan eksistensinya dalam geliat gerakan sosial-politik, seperti gerakan menentang penjajah, hingga gerakan dukungan pada organisasi keagamaan.
Baca juga: Kudus, Kretek, dan Gerakan Sosial
Persoalan kesehatan
Dengan jejak sejarah ini, wajar bila Kudus berkembang pesat dan menjadi wilayah tujuan para pendatang dengan berbagai latar belakang. Selain memiliki catatan sejarah yang kuat dalam hal penyebaran agama, wilayah ini juga memiliki magnet yang kuat dari sisi ekonomi.
Pada masa kemerdekaan, jejak sejarah yang dimiliki oleh Kudus tak hanya menjadi magnet bagi pendatang untuk menetap, tetapi juga wisatawan untuk melakukan wisata religi. Walakin, layaknya daerah lainnya yang juga memiliki magnet ekonomi dan mengundang kedatangan masyarakat luar.
Kudus juga dihadapi oleh suatu persoalan sosial, terutama di bidang kesehatan dan kebersihan lingkungan. Daerah ini sering kali harus berhadapan dengan rangkaian penyakit yang menjangkit masyarakat secara luas, seperti kolera, kusta, demam berdarah, hingga muntaber.
Pada Mei 1971, misalnya, Kudus berhadapan dengan penyebaran penyakit kolera. Menurut catatan arsip harian Kompas, sebanyak 10 orang meninggal akibat penyakit infeksi usus kecil ini.
Saat itu, Kudus bersama daerah Bangkalan di Madura menjadi sorotan nasional karena banyaknya masyarakat yang terjangkit penyakit kolera. Kondisi ini mirip dengan situasi saat ini saat Kudus dan Bangkalan juga menjadi sorotan karena kenaikan kasus Covid-19.
Kolera adalah penyakit yang biasa menyebar pada lingkungan dengan sanitasi dan kebersihan yang buruk. Bakteri penyebab penyakit ini dapat menyebar melalui feses dan ditularkan melalui makanan dan minuman. Munculnya penyakit ini mengindikasikan adanya persoalan kebersihan lingkungan di tengah denyut wilayah Kudus saat itu.
Kudus kembali harus berhadapan dengan persoalan kesehatan pada tahun 1979. Selama sekitar satu bulan sejak pertengahan Januari hingga pertengahan Februari, terdapat 112 orang di daerah Kudus yang menderita muntaber dan empat orang di antaranya meninggal.
Keterbatasan petugas kesehatan saat itu menyebabkan keterlambatan pemerintah dalam menanggulangi muntaber. Hingga satu bulan setelah penyakit tersebut diderita oleh banyak orang, Dinas Kesehatan Kabupaten Kudus belum berhasil menemukan secara pasti penyebab penyebaran muntaber di wilayah ini (Kompas, 18 Februari 1979).
Kondisi ini mengisyaratkan bahwa kebersihan lingkungan menjadi persoalan pelik di tengah kepadatan penduduk dan geliat ekonomi di wilayah ini pada masa silam. Pemberitaan nasional pun beberapa kali menyoroti wilayah Kudus yang sering kali harus berhadapan dengan penyebaran sejumlah penyakit.
Penyakit lainnya yang sering kali dihadapi oleh Kudus adalah demam berdarah. Pada Januari-Oktober 1993, misalnya, sebanyak 108 penduduk di Kudus terjangkit demam berdarah. Kondisi serupa juga kembali terjadi pada tahun 1999 (131 orang) dan tahun 2000 (241 orang). Program terkait kebersihan lingkungan menjadi perhatian utama pemerintah daerah Kudus saat itu untuk menekan jumlah penderita demam berdarah.
Selain demam berdarah, pada tahun 2000 Kudus juga pernah berhadapan dengan banyaknya penduduk yang menderita kusta atau lepra. Pada Mei 2000, sekitar 400 orang penduduk di Kudus dinyatakan terjangkit kusta. Kondisi ini juga menyita perhatian Dinas Kesehatan Kudus yang saat itu juga tengah fokus menanggulangi demam berdarah.
Tiga tahun setelahnya, giliran chikungunya yang mengancam warga Kudus. Hingga Februari 2003, telah terdapat 138 kasus warga yang terjangkit chikungunya. Penyakit ini menyebar melalui gigitan nyamuk yang dapat menyebabkan lumpuh sementara. Dari 478 penderita di wilayah Kudus, Klaten, Jepara, dan Tegal, beberapa di antaranya saat itu dilaporkan mengalami kelumpuhan sementara.
Faktor lingkungan pekerjaan juga menjadi persoalan kesehatan tersendiri bagi masyarakat di Kudus. Perkembangan industri kretek yang begitu masif di masa lampau dan terus eksis hingga kini memberikan dampak kesehatan yang cukup serius bagi masyarakat, khususnya yang bekerja sebagai buruh pabrik rokok.
Menurut catatan Balai Kesehatan Karyawan Rokok Kudus yang dirilis Januari 2004, infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) menjadi penyakit utama yang menerpa para buruh pabrik rokok di Kudus. Kesimpulan ini diketahui berdasarkan monitoring bulanan dan evaluasi tahunan selama sepuluh tahun.
Baca juga: Kasus di Kudus Terus Melonjak, Tenaga Kesehatan Ikut Terpapar
Covid-19
Saat ini, Kudus kembali dihadapi oleh persoalan kesehatan. Usai liburan Idul Fitri, lonjakan kasus Covid-19 terjadi di wilayah ini. Menurut catatan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah hingga 9 Juni 2021, Kudus menjadi daerah dengan jumlah kasus Covid-19 tertinggi ketiga dibandingkan kabupaten dan kota lainnya.
Kasus positif dan kasus meninggal karena Covid-19 ditemukan pada seluruh kecamatan di Kudus. Kondisi ini tidak terlepas dari kegiatan selama libur Idul Fitri, seperti ziarah kubur, tradisi kupatan, hingga mengendurnya protokol kesehatan karena vaksinasi yang telah dilakukan pada sejumlah warga.
Selain faktor libur Idul Fitri, Kudus yang menjadi kabupaten terpadat di Jawa Tengah juga turut menambah risiko meluasnya penularan Covid-19 di wilayah ini. Menurut catatan Badan Pusat Statistik, densitas penduduk di Kudus mencapai 1.997 orang per kilometer persegi (km2), lebih padat dibandingkan kabupaten lainnya, seperti Sukoharjo (1.855/km2), Banyumas (1.330/km2), dan Pekalongan (1.157/km2),
Catatan sejarah panjang tentang jejak penyakit di Kudus tentu dapat menjadi cermin bagi wilayah ini untuk penanggulangan persoalan kesehatan di masa yang akan datang. Posisi kudus sebagai kabupaten terpadat di Jawa Tengah, ditambah dengan serangkaian potensi yang dapat menarik orang luar untuk datang ke wilayah ini, harus diiringi oleh langkah antisipasi penyebaran setiap penyakit. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Mengapa Harus Membayar Berita Daring?