Mengapa Sinetron Dicaci, tapi Tetap Ada?
Terdapat tiga unsur penilaian terburuk untuk konten sinetron, yaitu memuat unsur kekerasan, cerita yang tidak berelevansi satu sama lain, serta tidak melindungi kepentingan anak-anak dan remaja.
Program serial, seperti sinetron televisi, menjadi suguhan laris di kalangan pemirsa Indonesia. Kendati kerap menjadi bahan protes warganet ke Komisi Penyiaran Indonesia, sinetron tetap saja diproduksi dan menjadi senjata sejumlah stasiun televisi untuk menaikkan rating mereka.
Awal Juni 2021 ini, warganet menyoroti tayangan sinetron Suara Hati Istri yang disiarkan oleh salah satu televisi swasta Indonesia (2/6/2021). Masyarakat membicarakan pemeran tokoh Zahra yang menjadi istri ketiga dari tokoh Pak Tirta. Sinetron Suara Hati Istri sebenarnya sudah ditayangkan sejak 28 Januari 2021 dan kini masuk ke sekuel kedua yang disutradarai oleh Sam Sarumpaet dan Joe Sandjaya.
Permasalahannya, Lea Ciarachel Fourneaux, pemeran tokoh Zahra, masih berusia 15 tahun. Dari sinilah, setidaknya ada tiga permasalahan yang menjadi sorotan warganet kali ini. Ketiganya ialah pernikahan usia anak, poligami, dan paedofilia.
Persoalan pernikahan anak bukan tertuju pada cocok atau tidaknya aktris tersebut memerankan tokoh seorang istri muda atau terkait akting aktris tersebut. Namun, ada pada keputusan sutradara dan tim produksi untuk memilih aktris yang masih berusia anak. Apalagi, ada tayangan yang mengisahkan adegan ”malam pertama” antara tokoh Zahra dan suaminya.
Praktik pernikahan usia anak masih terjadi di sejumlah daerah di Indonesia. Dari faktor sosial dan budaya yang melanggengkan praktik ini, kawin di usia sangat muda adalah hal yang umum dilakukan dan sering kali justru karena dorongan orangtua ataupun budaya masyarakatnya. Adapun dari sisi ekonomi, menikahkan anak dengan orang yang lebih tua dianggap sebagai solusi atas ketidakmampuan orangtua si anak untuk merawatnya atau menyediakan pendidikan yang layak.
Padahal, menurut UU Perkawinan Nomor 16 Tahun 2019 atas perubahan UU No 1/1974, usia pernikahan legal untuk perempuan dan laki-laki adalah 19 tahun. Batas usia anak juga tercantum dalam UU No 35/2014 tentang Perlindungan Anak, bahwa usia anak sampai dengan 18 tahun. Praktik perkawinan usia anak selalu bermuara pada rentetan dampak negatif, khususnya bagi anak perempuan.
Ketika ia menikah, semakin kecil kesempatannya untuk melanjutkan pendidikan. Umumnya, anak perempuan tidak mau melanjutkan sekolah karena tanggung jawab merawat anak atau malu terkait status pernikahannya. Belum lagi, tidak sedikit pula sekolah yang menolak anak perempuan dengan status sudah menikah.
Baca: Apa Untungnya Perkawinan Usia Anak?
Praktik poligami juga menjadi salah satu kritik yang kental lantaran sinetron Suara Hati Istri pada dasarnya berjalan atas konflik pernikahan. Sinetron ini dimulai dengan kisah konflik pasangan suami istri karena sang istri mengetahui bahwa suaminya sudah terlebih dulu menikah siri dengan perempuan lain dan memiliki seorang anak. Konflik berlanjut hingga akhirnya di sekuel kedua ini, tokoh Zahra hadir memerankan istri ketiga dari seorang lelaki yang sebelumnya sudah memiliki dua istri.
Hingga saat ini pun, praktik poligami memang masih menjadi polemik di masyarakat. Di satu sisi, praktik ini mendapat landasan pembenaran dari ajaran agama. Di lain sisi, praktik poligami akan bermasalah ketika dihadapkan pada persoalan kesetaraan jender, prinsip keadilan, dan budaya masyarakat.
Selain dua masalah tersebut, permasalahan paedofilia menjadi hal yang cukup diperhatikan oleh warganet. Paedofilia adalah gangguan seksual berupa dorongan seksual terhadap remaja atau anak-anak di bawah usia 14 tahun dan orang yang mengidap paedofilia disebut paedofil. Dalam cerita sinetron Suara Hati Istri, tokoh Zahra dinilai sebagai anak belia yang dinikahkan secara paksa dan pemeran tokoh suaminya yang berusia 39 tahun.
Tanggung jawab
Semua kritik ini akhirnya bermuara pada petisi berjudul ”Hentikan Siaran ’Suara Hati Istri’ Karena Mempromosikan Pedophilia” di laman change.org. Hingga 3 Juni 2021 malam, petisi ini telah ditandatangani oleh 59.761 orang. Dalam laman petisi ini pula, dituliskan bahwa opera sabun tersebut rentan terhadap interpretasi yang salah bagi para pemirsanya.
Suara masyarakat yang kontra terhadap penayangan sinetron Suara Hati Istri ditujukan kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk dapat menghentikan siarannya. Penghentian siaran tidak hanya dimaksud di stasiun televisi swasta, tetapi juga di kanal Youtube sinetron tersebut.
Hingga sejauh ini, pihak KPI telah memanggil pihak televisi swasta dan berujung pada keputusan digantinya pemeran tokoh Zahra dengan aktris yang berusia di atas 18 tahun untuk episode selanjutnya.
Sebagai tindak lanjut, KPI tengah mengkaji sejumlah potensi pelanggaran yang dilakukan oleh pihak televisi swasta. Hal ini tetap dilakukan meski Wakil Ketua KPI Mulyo Hadi menyatakan bahwa dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 dan SPS) tidak mengatur spesifik tentang anak di bawah umur tak boleh memerankan tokoh dewasa.
Menurut dia, hal yang biasa bagi aktris anak memerankan tokoh dewasa, tapi akan bermasalah jika ada adegan tidak wajar yang diperankan oleh anak di bawah umur.
Berdasarkan laporan Hasil Riset Indeks Kualitas Program Siaran Televisi KPI 2017-2019, penilaian indeks kualitas sinetron selalu berada di bawah standar mutu penyiaran. Penilaian terakhir dalam nilai indeks 2019 periode II (Juni-Agustus), sinetron hanya memperoleh 2,48 poin dari standar KPI 3,00 poin. Untuk sinetron, KPI menyoroti lima stasiun televisi swasta yang menyuguhkan sinetron dan tidak ada satu pun stasiun yang memenuhi standar penilaian KPI.
Selain itu, terdapat tiga (dari sembilan) unsur penilaian terburuk untuk konten sinetron. Ketiganya ialah ”tidak bermuatan kekerasan” (1,89 poin), ”relevansi cerita” (1,98 poin), serta ”melindungi kepentingan anak-anak dan remaja” (2,42 poin). Artinya, konten sinetron cenderung mengandung unsur kekerasan, cerita yang tidak berelevansi satu sama lain, serta tidak melindungi kepentingan anak-anak dan remaja.
Yang mengherankan, ketiga permasalahan ini sebenarnya sudah disorot sejak 2019. Akan tetapi, hingga saat ini rumah produksi film sinetron masih saja dapat menyajikan kisah yang mengindahkan ketiga unsur tersebut. KPI seakan tidak menjalankan fungsi lembaganya sebelum warganet mengangkat isu ini menjadi viral.
Baca juga: Aldebaran, Sang Penguntit Pleiades
Meski demikian, tampaknya keliru jika menuding sinetron Indonesia tidak menyajikan konten yang mendidik. Sebab, pada dasarnya tayangan sinetron bertujuan untuk hiburan (entertainment), bukan untuk mendidik. Salah satu rujukannya dapat dilihat dari standar penilaian yang dibuat oleh KPI.
Dalam sembilan unsur penilaian, tidak ada satu pun unsur pendidikan yang dicantumkan. Kendati ada penilaian terkait nilai-nilai masyarakat, seperti ”kepedulian terhadap orang lain” atau ”menghormati nilai-nilai kesukuan, agama, ras, dan antar golongan”, semuanya tidak serta-merta dapat dikaitkan sebagai fungsi pendidikan, tetapi hanya menyambung pesan moral.
Meski begitu, bukan berarti sinetron dapat menyajikan kisah sembarangan, tetapi harus tetap mengacu pada kaidah Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 dan SPS).
Tetap eksis
Sebutan sinetron atau sinema elektronik pertama kali diberikan oleh tokoh televisi Ishadi SK pada 1985. Sebelumnya, pada Desember 1962, TVRI menjadi stasiun televisi pertama yang menayangkan sinetron dengan judul Sebuah Jendela. Kala itu, tayangan sinetron justru menjadi salah satu andalan TVRI ketika televisi swasta menayangkan film dan program dari luar negeri.
Kiprah sinetron berlanjut dan makin beragam pula tema cerita dan kemasannya. Apalagi, jika melihat jadwal stasiun televisi lokal, tayangan sinetron cukup mengisi slot tayangan pada jam-jam utama tayang (prime time). Tayangan pada jam utama ini berkisar antara pukul 18.00 dan 21.00 WIB.
Perolehan rating share yang tinggi pada tayangan sinetron di atas tentu menguntungkan stasiun televisi yang menayangkannya. Dengan modal itulah, stasiun televisi dapat memikat perusahaan-perusahaan lain untuk menaruh iklan pada jam-jam ditayangkannya sinetron itu. Dengan logika bisnis inilah, secara tidak langsung para penggemar sinetron lokal menjadi unsur penopang hadirnya acara tersebut di layar televisi.
Sebagai contoh, sinetron Ikatan Cinta memperoleh rating 14,8 dan audience share 51,5 persen pada 23 Februari 2021. Capaian ini sekaligus mengantarkan sinetron Ikatan Cinta memecahkan rekor sebagai sinetron dengan peraih rating tertinggi sejak 2005. Bahkan, rekor tersebut kembali dipecahkan dengan capaian audience share 52,6 persen di episode ke-236 pada 13 April 2021.
Program serial yang umumnya bergenre drama memiliki formulasi tersendiri. Inilah yang dapat dijadikan alasan banyaknya penggemar tayangan ini. Setidaknya, formulasi ini sudah dituangkan oleh Jacques Lacan, psikolog analitis Perancis, dalam bukunya, The Mirror Stage As Formative of The Function of The I As Revealed In Psychoanalytic Experience (2014). Di dalamnya, ia membahas mengenai imajinasi, simbol, dan realitas hidup manusia yang sering ditampilkan pada karya seni.
Menurut Lacan, sebuah cerita selalu menampilkan ketiga unsur tersebut dalam melibatkan psikologis manusia. Dalam sebuah film layar lebar, misalnya, ketiga unsur ini juga dimasukkan dalam plot ataupun adegan-adegan di dalamnya. Sinetron pun menampilkan hal yang sama, hanya imajinasi, simbol, dan realitas hidup dikemas dengan durasi yang panjang, berbelit, dan konflik tanpa ujung.
Baca juga: Pengabaian Hak Anak dalam Tayangan Sinetron
Dalam sinetron, unsur imajinasi ditampilkan dengan memasukkan latar (cerita, lokasi, karakter tokoh) yang dekat dengan penonton sekaligus memancing daya imajinasi penonton. Lalu, muncullah konflik yang hadir bersama sifat-sifat alami dari para tokoh untuk memunculkan asosiasi dan menjadi simbol emosi penonton (senang, takut, cemas, marah, dan sebagainya). Terakhir, semua adegan yang terjadi ditampilkan seakan-akan menyerupai kejadian yang terjadi di kehidupan nyata.
Ketiga unsur penting itu ditarik ulur, diputar-putar, dan dikemas sedemikian mungkin agar produksi tetap berjalan. Memang, pada dasarnya tidak ada perbedaan signifikan antara sinetron dan film series (Korea atau Barat) dari segi formula yang disajikan. Hanya saja, sinetron Indonesia cenderung menyajikan konflik yang tidak kunjung usai dengan jumlah episode yang tidak wajar. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Sinetron, antara Dibenci dan Diminati