Limpahan suara dari pemilih Jokowi menjadi berkah bagi sejumlah tokoh, baik yang selama ini dekat dengan figur Jokowi maupun yang dianggap ”berseberangan” dengan figur presiden tersebut.
Oleh
Bambang Setiawan
·4 menit baca
Belum kokohnya popularitas tokoh dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan membuat Jokowi masih menjadi figur sentral dari simpatisan partai berlambang banteng ini.
Bagaimana kalau nama Jokowi dihilangkan dari peta pertarungan? Ternyata, suaranya tak otomatis hanya mengalir ke kader PDI-P, tetapi terdispersi ke banyak calon. Lalu, siapa yang mendapat limpahan terbanyak dan siapa yang lonjakan suaranya jadi paling tinggi?
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Tidak bisa dicalonkannya lagi Jokowi dalam pemilu mendatang berimbas pada perubahan konstelasi dukungan pemilih. Hampir semua tokoh, yang sudah muncul dalam survei-survei penjajakan menuju Pilpres 2024, mendapat limpahan suara.
Meskipun yang terbanyak adalah mereka yang kemudian menjadi tidak tahu lagi harus ke mana suaranya diberikan, sejumlah tokoh meraup keuntungan yang besar dari situasi ini. Tidak hanya kepada tokoh-tokoh PDI-P dan mitra koalisi Jokowi di pemerintahan, absennya Jokowi juga berimbas pada mengalirnya dukungan ke tokoh-tokoh yang selama ini dipandang sebagai rival.
Prabowo Subianto menjadi sosok dengan limpahan suara terbanyak dari simpatisan Jokowi, dengan penambahan suara sebesar 4,9 persen. Jika tadinya 16,4 persen, menjadi 21,3 persen dengan absennya nama Jokowi. Sosok kedua adalah Ganjar Pranowo. Gubernur Jawa Tengah ini mendapat limpahan suara 2,8 persen, dari semula 7,3 persen menjadi 10,1 persen.
Tokoh-tokoh lainnya, meskipun penambahan suaranya sedikit, kalau dilihat dari persentase kenaikan elektabilitasnya ternyata mengalami eskalasi yang cukup drastis.
Ahok (Basuki Tjahaja Purnama) menjadi sosok yang mengalami peningkatan suara dukungan paling tinggi dibanding tokoh-tokoh lainnya. Suaranya mengalami persentase kenaikan sebesar 58,6 persen, tertinggi dibandingkan tokoh-tokoh lain. Bahkan, persentase kenaikan Ahok mengalahkan Prabowo Subianto yang 30,1 persen dan Ganjar Pranowo yang 38,4 persen.
Dengan tambahan suara sebesar 1,8 persen, ranking Ahok berubah dari semula di urutan ke delapan menjadi keempat, menempatkan posisinya di atas Sandiaga Uno, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), dan Ridwan Kamil.
Yang juga naik drastis adalah sosok Risma (Tri Rismaharini). Persentase kenaikan Menteri Sosial ini mencapai 49,3 persen. Padahal, survei ini dilakukan sebelum terjadinya polemik antara Risma dengan Bupati Alor Amon Djobo terkait bantuan bencana. Jika survei dilakukan setelahnya, besar kemungkinan suara untuk Risma mengalami kenaikan.
Risma termasuk sosok yang dalam sejumlah survei kerap disebut, namun suaranya naik turun. Dalam survei Litbang Kompas Januari 2021 elektabilitasnya mencapai 5,2 persen, tetapi kemudian turun menjadi 2,4 persen pada bulan April 2021.
Hal ini mengindikasikan bahwa Risma merupakan figur yang dapat memainkan peran dalam politik, dan sangat mungkin masuk dalam ramuan pasangan kandidat, terlebih jika strategi menarik pemilih perempuan dilakukan.
Imbas ke Anies
Pemilih Jokowi juga mengalirkan dukungan ke Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta yang selama ini diposisikan sebagai lawan politik tokoh-tokoh PDI-P. Pemilih Jokowi yang kemudian menjatuhkan pilihan ke Anies sebesar 1,7 persen.
Hal ini berimbas meningkatkan suara Anies, dari 10 persen menjadi 11,7 persen. Persentase kenaikan Anies yang hanya 16,7 persen memang terbilang kecil, tetapi cukup untuk mempertahankan posisinya di ranking dua setelah Prabowo.
Suara pemilih Jokowi juga mengalir ke Sandiaga Uno, dengan limpahan sebesar 1,1 persen. Kondisi ini menjadikan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif tersebut mengalami kenaikan dari 3,7 persen menjadi 4,8 persen.
Sebagai figur yang berada di posisi papan tengah, Sandiaga Uno sangat mungkin untuk digandeng sebagai calon wakil presiden. Terlebih, ia didukung oleh Partai Gerindra yang perolehan suaranya kedua terbesar (12,57 persen) setelah PDI-P (19,33 persen).
Selain itu, suara dari pemilih Jokowi juga mengalir ke AHY. Ketua Umum Partai Demokrat ini mendapat limpahan suara sebesar 1,1 persen, meningkatkan suaranya dari 3,3 persen menjadi 4,4 persen.
Sikap independen dari partai yang saat Pemilu 2019 lalu memperoleh suara 7,77 persen ini dapat menjadi keuntungan bagi AHY untuk lebih bebas menentukan arah koalisinya.
Melawan kultus
Dengan komposisi yang terbentuk tanpa kehadiran sosok Jokowi, posisi Prabowo Subianto menjadi yang terkuat dari semua tokoh yang diperkirakan akan meramaikan Pemilu 2024. Kekuatan elektabilitasnya dua kali lipat dari saingan terdekatnya, Anies Baswedan maupun Ganjar Pranowo.
Dengan modal sosial yang terbentuk dari tiga kali berlaga dalam pemilu, Prabowo menjadi kian terkultuskan untuk selalu berada di papan atas pertarungan. Calon-calon lain harus bekerja keras melawan sosok simbolik yang telah kokoh terbentuk.
Sanggupkah Prabowo mewujudkan kultus menjadi realitas keterpilihan? Saat ini tampaknya terlalu riskan untuk mengatakan bahwa kristalisasi kekuatan yang melekat padanya ekuivalen dengan kemenangan dalam pemilu, karena masih terdapat 79,7 persen suara yang begitu cair. Dinamika dalam politik selama tiga tahun ke depan masih sangat mungkin mengubah konstelasi kekuatan dukungan.
Kepiawaian tokoh dalam meramu momentum dan membentuk imaji kemandirian menjadi modal utama pembentukan dukungan dari kalangan yang lebih luas.
Jika ini dilakukan oleh tokoh-tokoh potensial lainnya, bukan tidak mungkin jelajah liar pemilih akan terpateri pada sosok alternatif. Terlebih, jika mereka mampu memberi ornamen baru pada dimensi kepemimpinan. (LITBANG KOMPAS)