Dibandingkan dengan sosok calon presiden pilihan publik lainnya, hasil survei menunjukkan bahwa peluang Prabowo Subianto menguasai panggung politik kepresidenan relatif paling besar. Begitu pula penetrasi politiknya, sepanjang tiga kali bertarung dalam pemilu terbukti jangkauan pemilih yang berhasil dikuasainya semakin meluas.
Namun, peluang besar yang masih terjaga tersebut masih belum menjadi jaminan kemenangan dalam Pemilu 2024. Dikatakan demikian lantaran dinamika persaingan pada pemilu mendatang masih samar terprediksi. Kehadiran sosok-sosok calon presiden pilihan masyarakat yang lebih muda generasinya, seperti Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, Ridwan Kamil, dan tokoh-tokoh pilihan lain, menjadi ancaman riil. Hasil survei yang terpublikasikan menunjukkan, kendati hingga saat ini Prabowo dalam posisi teratas selisih dukungan dengan para penantangnya tidak terlalu besar. Peluang perubahan masih sangat mungkin terjadi (grafik 1).
Pada sisi lain, dinamika preferensi publik terhadap sosok calon presiden selama ini masih terbilang stagnan. Hingga jelang tiga tahun Pemilu Presiden 2024, misalnya, belum juga tampak terbaca sosok dengan peningkatan preferensi yang signifikan. Belum tampak pula wajah-wajah baru pilihan masyarakat yang kemunculannya terbilang fenomenal sehingga menjadikan pola persaingan semakin kompetitif. Situasi semacam ini semakin mengaburkan prediksi peluang keunggulan setiap calon.
Padahal, becermin pada pemilu presiden periode sebelumnya, dinamika persaingan dan gerak perubahan dari masing-masing calon presiden cepat terproyeksikan. Pada pemilu 2014, misalnya, kehadiran Joko Widodo, pendatang baru yang merintis karier politik dari panggung kepemimpinan daerah, mampu membuat semarak peta persaingan. Saat itu, preferensi publik terhadap Jokowi meningkat secara konsisten. Hingga kurun waktu dua tahun sebelum Pemilu Presiden 2014, prediksi kemenangannya mulai tergambarkan.
Kali ini, bagi Prabowo, stagnasi penguasaan pemilih yang dialaminya menjadi suatu persoalan tersendiri. Sejatinya, guna mengamankan posisi keunggulannya, tidak ada jalan lain yang harus dilakukan selain meningkatkan basis dukungan. Mengacu pada prestasinya dalam Pemilu 2019, setidaknya ia harus menjaga loyalitas dukungan dari 68,6 juta pemilih (44,5 persen).
Tidak cukup sampai di situ, guna melampaui ambang batas minimal kemenangan pemilu (lebih dari separuh dari jumlah pemilih), ia juga harus menambah banyak dukungan. Paling tidak terdapat dua jalan yang dilakukan, yaitu berharap pada tambahan dukungan dari pemilih pemula dan dari hasil perubahan pilihan yang pada pemilu sebelumnya tidak memilih Prabowo.
Dengan menarik dukungan politik dari para pemilih pemula, kalangan yang baru pertama kali mengikuti pemilu, sebenarnya potensial. Hasil berbagai survei opini publik yang dilakukan sejak Pemilu 2018 kerap mengonfirmasikan bahwa para pemilih mula cenderung menjatuhkan pilihan pada Prabowo. Hingga saat ini, para pemilih pemula masih punya kecenderungan sama. Hanya saja, berharap dari penambahan dukungan para pemilih mula ini tampaknya masih belum menjaminkan kemenangan.
Merujuk pada kondisi pemilu lalu, misalnya, hanya sekitar lima juta (2,5 persen) jumlah pemilih pemula. Proporsi tersebut, ditambah jumlah pemilih yang terkuasai sebelumnya, masih belum menjaminkan kemenangan di atas 50 persen sebagaimana yang disyaratkan dalam pemilu presiden.
Itulah mengapa langkah paling realistis dalam memperluas dukungan hanya dapat dilakukan dengan merebut simpati dukungan dari para pemilih yang pada pemilu sebelumnya tidak memilih Prabowo. Artinya, perluasan dukungan hanya bisa ia dapatkan jika terdapat penambahan dukungan dari para pemilih Jokowi.
Pertanyaannya, seberapa besar peluang keberhasilannya? Tampaknya inilah kalkulasi politik paling problematik bagi Prabowo.
Kesediaannya untuk bermitra dan mengakhiri persaingan politik dengan Jokowi pasca-Pemilu 2019 memang tergolong langkah strategis. Setidaknya, dengan strategi tersebut, panggung politik Prabowo tetap terjaga. Sejalan dengan penunjukan Prabowo sebagai Menteri Pertahanan, akumulasi modal politiknya masih berlanjut. Selain itu, yang juga penting, keputusan tersebut dapat saja membuat faktor ”Jokowi”, yang terepresentasikan dalam para pendukung Jokowi, potensial berpaling pada dirinya dalam pemilu mendatang.
Hanya saja, kalkulasi dukungan tidak sesederhana itu. Bagaimanapun, persaingan sengit dalam dua pemilu terakhir sudah sedemikian rupa membelah masyarakat secara diametral, baik dari sisi demografi maupun identitas sosial. Dalam kondisi keterpilahan seperti itu, bagaimana mungkin perubahan sikap dukungan dapat terjadi secara natural dalam tuntutan waktu yang relatif tidak lagi lama. Sebuah situasi yang serba dilematis.
Merujuk pada hasil pemilu presiden dan hasil berbagai survei preferensi publik, tergambarkan peta penguasaan pemilih Prabowo yang semakin tersegmentasi dan cenderung terkonsentrasi. Dalam sebaran wilayah dukungan, misalnya, persaingan dalam dua pemilu presiden terbukti semakin mengonsentrasikan derajat dukungan calon presiden pada setiap wilayah. Kemenangan dominan Prabowo di Aceh, Sumbar, Jawa Barat, dan NTB, berbalas dengan penguasaan dominan Jokowi di NTT, Papua, Sulut, dan Bali, menjadi bukti keterpilahan wilayah berbasis identitas.
Hal yang mirip jika ditelusuri dari latar belakang pemilihnya, kecenderungan eksklusivitas pemilih Prabowo pun belum berubah. Dengan membandingkan hasil survei yang dilakukan sejak tahun 2019 dan survei terbaru di tahun 2021, yang cenderung tetap yang sekaligus menunjukkan belum adanya pergerakan ataupun perluasan dukungan. Pemilih Prabowo, misalnya, masih terkonsentrasi pada kalangan laki-laki. Ia kurang banyak didukung oleh kalangan perempuan.
Dari sisi usia, kecenderungan berusia muda dan terlebih pada kalangan yang berusia di bawah 23 tahun ataupun mereka yang terkategorikan sebagai pemilih mula, menjadi kelebihan bagi Prabowo. Kondisi demikian tampak konsisten sejak survei menjelang Pemilu 2019 lalu hingga saat ini.
Konsentrasi mencolok lainnya adalah dari sisi identitas keagamaan. Hasil survei menunjukkan konsistensi dukungan kepada Prabowo berasal dari kalangan beragama Islam, khususnya mereka yang mengaku berafiliasi di luar Nahdlatul Ulama. Sementara, dari sisi afiliasi partai politik, selain terkonsentrasi pada para pemilih Gerindra, Prabowo juga banyak didukung oleh para pemilih PKS, PAN, Golkar, dan Demokrat.
Basis identitas pendukung Prabowo yang cenderung eksklusif dan masih terpelihara itu dalam beberapa hal tampak berbeda dengan karakteristik pendukung Jokowi (Grafik 2). Pada umumnya, pendukung Jokowi lebih banyak berasal dari kalangan perempuan. Dari sisi usia, tersebar cukup merata. Dari sisi pendidikan dan kelompok ekonominya tergolong kalangan bawah. Identitas keagamaan para pendukung Jokowi pun relatif merata pada setiap kalangan beragama dan cenderung terdistribusi layaknya proporsi agama secara nasional.
Pembeda mencolok lainnya tampak dari sisi pilihan partai politik. Pendukung Jokowi terkonsentrasi pada para pemilih PDI P. Teramat minim dukungan terhadap Prabowo dari para pemilih partai ini.
Beberapa perbedaan latar belakang pendukung yang cukup signifikan tersebut menjadi ciri khas dari pendukung Jokowi dan Prabowo yang hingga kini belum tercairkan. Dengan konfigurasi kekuatan seperti itu dan dihadapkan pada realitas masih sedemikian besarnya jumlah pendukung Jokowi, penguasaan ceruk dukungan yang kental dengan faktor ”Jokowi” inilah strategi penambahan dukungan harus dilakukan.
Akan tetapi, berstrategi semacam ini pun tidak serta merta berjalan mulus tanpa halangan. Pasalnya, di saat yang sama pun Prabowo potensial ditinggalkan para pendukung lama yang tidak lagi merasa sejalan dengan keputusannya mendekat pada para pemilih Jokowi. Kalkulasi matang diperlukan Prabowo dalam mengatasi persoalan yang serba dilematik ini. (Bestian Nainggolan/Litbang Kompas)